Friday, September 23, 2005

Makelar Mimpi


Aku bukan MD* bukan YT* ataupun RD*. Bukan type ketiganya sekaligus bukan type salah satunya. Bukan. Mereka bisa memanivestasikan sisi kemanusiaan ke sisi apapun yang mereka mau. Tapi aku bukan mereka. Aku ingin menjadi makelar mimpi.

Siapa yang menjual mimpi, tolong beritahukan kepadaku sebab aku punya pembelinya. Semua jenis mimpi akan dihargai amat mahal semau kalimat yang keluar dari mulut. Total transkasi belah semangka, begitulah ‘deal’nya.

Maka para pemimpi menyetor komoditi. Karena aku makelar mimpi, akupun jadi pemimpi. Bermimpi Tuhan tiba tiba menjadi amat pemurah hati, memberi rejeki lewat jual beli mimpi. Empat ratus juta rupiah tiba tiba ditangan, hanya dengan modal mimpi doang!

Untuk informasi, mimpi telah menjadi kemewahan bagi jiwa jiwa yang lelah mencari dan letih berkelahi dengan hidup kenyataan. Dipasar mimpi segalanya bisa terjadi tanpa harus mengejawantahkan diri sebagai anu atau membuat anu. Orang orang kalah menciptakan komunitas mimpi sebagai penghiburan atas ketidak berdayaan, atas kemiskinan yang mencekik leher. Sederhana saja, tanpa referensi ataupun katabelece dari siapapun, hanya perlu telinga dan mulut yang sedikit berbusa. Itu saja.

Inilah makealar mimpi dijagat nyata, dibumi manusia. Memperdagangkan kemustahilan dan terbayar dengan impian; jadi kaya. Tak apa, memang layak si kalah hanya tinggal mimpi. Beruntung malah, sebab sebagian lagi orang telah bangkrut sampai mimpipun tak punya…

La Casa Tikala 106, 22 September 2005
* Tokoh LSM Sulut yang konsisten memperjuangkan hak rakyat Buyat.

Thursday, September 22, 2005

IM3 Corner Manado



Disaksikan rembulan yang malu malu muncul diperadaban bumi, kuhirup anyir pasir lautan dan sayup gelisah lautan pantai Boulevard di teluk Manado. Eksotisme kota ini telah menjadi kemesuman menjijikkan dijiwaku yang sakit. Aku merindukan kamar hotelku yang kosong sunyi ketika dialog meliuk bagaikan puting beliung. Kebisingan kulalui bagaikan mute mode dalam layar TV. Sunyi dihati.

Ah, musik dari loudspeaker itu, bikin aku muak ingin muntah. Musik yang mendengingkan dendam dan menayangkan badut dengan cemoohan atas diri yang terpecundangi. Lampu lampu berbisik tentang kasak kusuk sepanjang pantai, ketika orang orang berpasangan bergandengan berlalu dari hadapan. Entah apa yang diperbuat dalam gelap sana!

Dan dialog kami terus saja berkisar. Dua jam duduk untuk satu gelas teh jeruk nipis hangat, ketika coklat panas tak tersedia. Dinegeri tropis tanah airku sendiri dimana jutaan hektar bidang tanah ditanami kakao, dan aku gagal menikmati coklat panas yang sudah mengepul dikepala. Dan obrolan terus saja berkisar, dan musik terus saja mengalun, bagai palu godam dalam fikiran.

Angin datang dan pergi sesuka hati, kadang kencang kadang sepoi. Mejaku kini penuh gagasan gagasan penutup lubang menganga atas siapa diri. Aku menjadi idealis jalanan paling dominan tiba tiba, bicara tentang Jalan Roda dalam perspektif sederhana. Bicara tentang kota ini dalam ketidak pedulianku yang sesungguhnya.

Tempat ini telah menjadi bedebah dalam diriku. Eksotismenya terterjemahkan menjadi kemesuman menjijikkan dikepalaku. Aku ingin pulang, kekamar hotelku yang senyap menenteramkan…




IM3 Corner Megamas – Manado, 21 Septmber 2005

Tuesday, September 20, 2005

Catatan Ulang Tahun



Rembulan penuh diatas lapangan Tikala, diatas kepalaku dan diatas tubuh tubuh kumuh yang tertidur dibangku beton membeku, berderet disisi tenggara lapangan yang berseberangan dengan deretan penjaja makanan dan minuman rupa rupa. Sepanjang malam memasak dan sepanjang malam pula orang berdatangan membelanjakan uang, memanjakan keinginan normatif; makan.

Bulan purnama menyapa ketika kaki pegalku melintasi lantai beton sisi lapangan. Malam ini telah kuhadiahkan untuk usiaku yang ke 35 sebuah semangat untuk terus mengecap hidup yang kujalani. Konsistensi atas diri, bukan lagi perenungan atas apa yang terjadi. Beginilah sang air menjalani hidup yang mencair, mengalir mengembara menuju ketiadaan. Menghentikan pencarian dan teruslah mengalir mengikuti katahati.

Rembulan penuh diatas lapangan Tikala depan gedung balaikota memantulkan sinar pucatnya. Diatas sana diantara kekosongan maha luas dia sendiri dalam kecantikanya. Seperti mengajakku menimang diri, betapa sendiri dan kosongnya hidupku meski aku bukan rembulan. Tak ada suara apa apa di atas sana, hanya sinar pucat dan sedikit romantisme basi. Aku kesepian, seperti rembulan penuh diatas lapangan Tikala.

Maka kubawa pulang kenyang, kubawa pula kekosongan jiwaku kekamar hotel. Aku letih dan telah berhenti bertanya tentang diri, sebab hanya mengapa dan mengapa saja pertanyaan itu. Menggubal tak tentuan, menggumpal bagaikan karang kejam dalam dada. Akukah kehilangan semangat hingga menjadi begitu istimewa sebagai hadiah ulang tahunku?

Nun jauh dari ribuan mil tempat raga kosongku berada, seseorang telah memanen kebahagiaanku enam bulan lalu untuk dihadiahkan sebagai ulang tahunku. Dihadiahkanya kepadaku keperihan hidup dan kebusukan hingga akhir hayat. Dari 35 sampai tak terhingga, sebab usia hanyalah misteri belaka. “Selamat ulang tahun, semoga abadi kehancuran hatimu” ucapnya tertulis pada selembar daun kenangan….

Maka kuterima jatah hidupku, menjadi catatan kenangan bahwa 35 tahun setelah bunda melahirkanku aku telah menjadi sebuah jiwa yang penyok penyok, menjadi sebuah hati yang hancur lebur sampai mati…kepadamu yang pernah begitu kucintai, hadiah ini kuterimakan dengan senyum kusembunyikan. Sebab, sejak sekarang aku bukanlah lagi aku yang selama 35 tahun belakangan…

Selamat ulang tahun, diri….selamat ulang tahun jiwa yang merana…semoga perihmu abadi, semoga deritamu terbawa mati….


La Casa 106, Tikala – Manado, Selasa, 20 September 2005