Thursday, March 23, 2006

Pertemuan terakhir

(Tertulis sebagai perenungan atas pertemuan terakhir ditubir jurang)

Menterjemahkan kata perpisahan dari hati yang gemetar tecabik perihnya, fikiran menjadi sarat oleh slide demi slide pertemuan yang selalu berjudul sama “ pertemuan terakhir”. Betapa telah begitu banyak kejadian kehilangan makna sekeras apapun otak dan bathin mengais sisa sisa nyamannya.

Peretemuan terakhir kesekian, berisi tangis semalaman di bilik terpisah dengan dinding berlapis lapis kepantasan logika. Tangisan yang menterjemahkan lolongan hati remuk, yang hanya menghasilkan kebisuan sampai perpisahan yang sebenarnya datang bersama matahari yang selalu saja tersenyum menghibur bumi, menyisakan tanya menyelip diantara kecemasan hati :
“ akankah kita bertemu lagi?”

Mengenang pertemuan terakhir, adalah membenturkan pundi harapan kepada karang tajam kenyataan; ambyar dan berharap akan datang cemburu dari pemandangan yang disuguhkan. Ah, rupanya cemburupun terelalu mahal untuk sekedar menjadi perhiasan negatifisme diri. Tak pantas hanya untuk sekedar dimiliki oleh penonton yang menyaksikan kejadian demi kejadian menyerempet eksistensi.

Merangkai lagi simpul simpul rasa pada pertemuan terakhir, diri terdampar pada ketidak tahu dirian yang dipaksakan. Menganggap kehidupan berjalan sekehendak takdir buatan dan tak sadar, linglung jadi figuran ditengah taman bunga penuh nyenyanyian; mirip dengan apa yang pernah terciptakan. Sayang diri telah kehilangan hak kepemilikan, meskipun hanya sekedar pengakuan dari dalam dan diam diam.

Ah, betapa banyak kata perpisahan terucapkan, tanpa satupun terfahami betul maknanya; hanya bunuh diri yang kesekian…

Gempol, ketika hujan tak berhenti menangisi kegelapan sang malam 060223