Wednesday, February 08, 2006

Kesetiaan Pak Ubung

Lelaki bertubuh kecil berusia sekitar 58 tahun itu tampak menyempil diantara kedua angkringnya, memikul dagangan keliling kampung diseputar Gempol – Cipayung. Pakaianya lusuh, berpeci lusuh dengan kulitnya coklat gelap. Angkring uniknya tak kalah menarik perhatian, dengan daging ayam dalam rangkaian tusukan disatu sisi dan perapian dari arang batok kelapa disisi lainya. Jaraknya antara kedua angkring itu demikian sempit sampai hanya cukup untuk badannya yang mungil. Lampu minyak terbuat dari gelas diisi minyak kelapa dan diberi sumbu sebagai nyala menempel disalah satu angkringya. Pikulan angkringnya begitu unik, dari batang bamboo yang melengkung tempat dimana beban diletakkan dipundaknya yang mulai renta.

Namanya pak Ubung, lelaki dari Cirebon yang sudah berjualan keliling kampung sejak belum ada angkot di daerah Cipayung sekitar tahun 1985. Sejak 21 satu tahun yang lalu sudah setia menyusuri kampung dengan daganganya dan dengan angkring yang sama pula. Tenaganya makin susut, usianya tak makin menjadi muda tapi semangatnya tetap yang dulu, yang ia punya pada 1985. Jam lima sore keluar dari kontrakan, lalu menjajakan daganganya hanya sampai nanti sekitar jam 12 malam, ketika waktunya orang untuk tidur beristirahat. Duaratus limapuluh tusuk sate paling tidak mampu terjual jika hari baik, yang berarti 250 x 600 rupiah = 150.000 rupiah dikantonginya.

Keramahan dan senyumnya menjadi penyejuk setiap pembelinya, ceritanya yang renyah mengalir tentang pengalamanya, tentang keluarganya dikampungnya di Cirebon, bukan keinginan maupun keluhan keluhan yang dipertontonkan kepada pembelinya. Kesetiaanya pada profesi mengilhami rasa rendah bagi siapapun yang sempat berpapasan dengannya, dan bagiku kesetiaanya pada keluarganya di Cirebon menjadi tauladan tersendiri yang patut kukagumi, dan mungkin kuagungkan. Dialah lelaki yang sesungguhnya, dengan postur mungil tergerus usia, dengan cita cita dan kesahajaaan yang luar biasa.

Ketika gelap menyekap malam, pak Ubung dengan langkah pendek pendeknya setia menyusri jalanan, gang demi gang dengan daganganya; sate ayam tanpa lontong maupun nasi. Sate ayam Cirebon. Pak Ubung bahkan menembus gerimis dan juga melewati hujan ketika memang Tuhan menganugerahkan hujan ke muka bumi. Peci dekilnya setia melindungi kepala yang ditumbuhi rambutnya yang ubanan dari tetesan air dinigin, sekaligus menjadi icon bagi pak Ubung penjual sate Cirebon.

Obrolan dengan pak Ubung sore tadi, menjadi tauladan bagi nurani betapa hidup begitu berharganya untuk disyukuri dan dijalani, betapa pemurahnya Tuhan dangan segala anugerah maupun karunianya kepada kehidupan. Menjadi pak Ubung barangkali menjadi manusia yang bersyukur, menjalani hidup dengan kesahajaan dan sukacita, setia pada profesi, setia pada tanggung jawab keluarga dan setia kepada tanggung jawab sebagai lelaki, sebagai manusia.

Gempol, 060208