Monday, December 15, 2003

Ceritera Muhammad Afan, Lie Hong Hua dan Sutopo dari Magelang

Ini kisah manusia biasa, kisah kehidupan klasik yang terjadi setiap hari dimanapun yang sudutnya bernama dunia. Ini jika kisah criminal biasa, kisah pembunuhan pembunuhan, pelanggaran terhadap hukum yang diatur di Kitab Undang Undang Hukup Pidana biasa. Yang menjadi tidak biasa bagiku adalah kisah klasik latar belakang peristiwa itu sendiri. Inilah yang kutangkap dari apa yang kuliat di tivi tadi siang dikamar hotel:
Sucipto; adalah seorang bapak dua anak berumur sekitar empatpuluh delapan tahun. Pengusaha jual beli mobil yang sukses didaerahnya. Hampir semua orang dikota itu mengenalnya. Dunia bisnisnya berbaur dengan dunian lelaki paruh bayanya mengantarkan Sucipto kepada kehidupan kedua diluar kehidupan rumah tangganya; selingkuh, otoriter dan belakangan cenderung anarkis ke istri sendiri yang dulu dipacari dan disayanginya.
Lie Hong Hua; Istri Sucipto 43 tahunan. Ibu rumah tangga biasa, yang punya tanggung jawab kepada anak, suami, rumah dan lingkunganya. Dia tetapkan standard yang tinggi untuk kesempurnaan tanggung jawabnya itu.
Muhamad Afan; Sopir pribadi keluarga itu. Pria lajang berumur sekitar dualapan tahunan, lugu dan berfikir polos saja. Bertampang ganteng dengan kulit kehitaman. Orang baik baik, rajin bekerja dan mengabdi kepada profesinya.

Tiga alam fikiran manusia, berarti tiga sudut pandang yang kalau terjadi senyawa terkadang menyebabkan satu simbiosis yang berbahaya. Inilah yang terjadi kemudian:
Sucipto ketahuan berselingkuh, bahkan pernah tertangkap basah segala oleh istrinya. Afan sang supir pribadi tentu banyak dengan ini, dan bagi Sucipto tentu ini hal yang bisa dimaklumi, sebagai sesama lelaki. Afan yang polos dan tidak tahu rumus humanisme tetapi menghayati dengan nurani dan jalan fikiranyapun menyadari telah terjadi penghianatan didalam tembok rumah tangga majikanya. Lie mengerti betul karakter sopirnya ini, dan setelah pertanyaan pertanyaan yagn dijawab Afan dengan jujur mengenai Sucipto, Lie tidak segan segan untuk bercerita tentang beban bathin yang dikandungnya. Penderitaan bathin seorang perempuan yang dimata Afan sendiri sudah digariskan sebagai mahluk yang lebih rapuh daripada kaumnya sendiri; laki laki. Inilah kunci dari segala rahasia hubungan antara lelaki dan perempuan; bahwa lelaki mengerti betul kerapuhan perempuan sementara perempuan mengerti betul dengan watak seperti apa seorang lelaki baik hati akan menjadi ‘hamba’ atas emosi perempuanya, dengan penderitaan dan keluh kesah yang akan dengan mudah dicerna oleh telinga lelaki manapun. Afan menjadi tokoh sentral yang membuka dua telinga untuk dua jalan fikiran dan dua dunia yang berbeda; menjadi saksi dan pendukung kekejian Sucipto dan sekaligus menjadi ‘teman baik’ bagi Lie, korban kekejian Sucipto, terlibat secara emosi dengan si korban sekaligus terlibat secara fisik pada pelaku. Afan mulai belajar membaca sikap superior sekaligus culasnya Sucipto dengan cara pandang sederhananya, sedangkan simpati pribadinya kepada Lie yang juga dengan cara pandang yang amat sederhana pula berwujud perbedaan dua kepentingan yang berlawanan, meskipun dengan sadar Afan tahu tidak ada kepentingan dirinya sendiri disana, sekaligus dia sadar warna baru yang timbul dari dua dunia yang berbeda tersebut telah memunculkan warna baru bagi dirinya sendiri; sikap campuran dari simpati dan antipati. Simpati mengajarkanya untuk lebih jauh lagi menumbuhkan antipati itu sendiri dalam fikiranya yang dibungkus tubuh gagahnya. Lie merasa tertemani, sebagai dua manusia, sebagai yang teraniaya kepada yang peduli. Maka ketika rencana rencana untuk mencelakakan Sucipto yang lahir dari isi kepala Lie terlontar ke Afan, secara prinsip yang mewakili pribadinya yang sederhana Afan menyetujui niatan Lie. Persetujuan sukarela. (betapa berharganya nilai hidup ketika kesukarelaan itu muncul karena ketulusan hati). Bathinya setuju untuk melenyapkan penderitaan bathin Lie, karena Afan peduli. Lain tidak. Persetujuan bathinya menuntun langkahnya untuk berbuat dengan kesadaranya menghantam belakang kepala Sucipto dengan palu sebanyak tiga kali sampai tewas ketika sedang minta dipijit diruang tamu lantai rumah Sucipto sendiri. Benang merah yang lalu tampak adalah bahwa Afan dengan sadar memahami keculasan hidup, memahami arti si lemah dan si kuat, si kejam dan si tak berdaya. Lalu dengan sadar dibiarkanya nurani sederhananya memilih cara untuk terlibat. Dan nuraninya telah memilih untuk menjadi pahlawan, ksatria penumpas Denawa* seperti dalam ceritera wayang yang memang tidak punya KUHP. Dan kesatria itupun masuk penjara karenanya...
Memang ceritera ini ceritera biasa, bisa terjadi dimana saja dan pada siapa saja tanpa kita bisa membaca.

* Denawa: visualisasi sosok raksasa jahat dan selalu menjadi musuh ksatria dalam dunia pewayangan.

Balikpapan, 15 Desember 2003

Wednesday, December 03, 2003

Kenangan

Pulang ke kost dengan fikiran kosong dan hati ompong. ‘ceramah’ mami Sita tentang performanceku tetap mencekik otak. Segala hal tentang hidup pribadiku menjadi murung. Anjing keparat memang, karena kenangan buruk masa lalu yang selalu hidup dlam jantungku, terpompa mengkuti aliran darah ke setiap inci tubuhku tetap hidup dalam abadiny, tetap rajin menusuk nusuk kan pisau yang makin karatan, dan tetap seja menjejalkan amarah luar biasa tanpa seorangpun berhak tahu; apalagi ikut merasakan. Anjing keparat juga atas kesombongan diri yang enggan berkompromi dengan masalalu ning, dengan kebusukan yang menempatkanku sebagai jongos yang patut dianggap bodoh dan diperlakukan sebagaimana orang bodoh.
Ketika sendirian di kamar kost, ketika otak sedang letih bekerja dikantor, atau ketika oksigen perlahan kuhirup dan kualirkan keparu paru, ketika itu puolalah perih dan amarahku menggulung gulung dalam kebisuan, dalam hatiku yang maha sunyi, maha hancur dan membusuk. Warisan luka masalalu terlah beranak pinak menjadi ibolis iblis baru , membuat kampung dan membentuk peradaban baru bagi pribadiku; membentuk pribadiku menjadi pincang dan ganjil.

Monday, November 17, 2003

Malam Terbelah Dua

Ingatan,
Tumbuh menumbuhi hati dengan kenangan- dengan penjuru cinta yang kupertanyakan sendirian –
Orang orang,
Wajahnya berloncatan memburu kasihku (atau iba??) berebut merajang – rajang nuraniku yang memekik sakit, karam dilautan wabah sesal, dan waktu tak hanya seperti udara dalam balon, ia mengalir berputar menembusi pintu dan jendeal labirin (atau mungkin berjalan seratus triliun dari kelambatan – siap tahu?!)

Telah kutelan kenistaan kemudain banmgga, pinvcang jadi pahlawan sampai kebanmggaanku memancung sendiri kebanggan yang lain. Aku terpenjara di kandan besar kecurangan yang mencurangi kecuarangan lain lagi. Tindih menindih bagai angan angan belaka.

“pernah kuleburkan darah, daging dan cinta birahi denganmu, arjunaku, dank aku hanya ingin darah , daging dan cinta birahiku kembali menjadi hakku. Engakau telah merampasnya dengan keji. Brengsek!”
ucap debu dari utara yang sengaja engaku kirim lewat akhir musim kemarau…

…berhenti, jangan lagi dorong aku ke pojokan, wahai kebaikan nurani…

“ Tidak cukupkah aku menjadi budak menebus khlafku ketika kau ingkari punyamu, mengabdi pada penghianatanmu jua”
Ucap titik gerimis dari timur yang luruh di daun talas hatiku…

… enyah kau kemunafikan, bawa pergi kesombongan yagn membangun tugu bernama rasa malu…

Tuhan ijinkan aku,
Membelah malam menjdai dua dengan pedang akal pemberianMu.
Biar kubagi pada dua hati yang berkelahi sengit dalam hatiku.
Ampunkan aku dari murka-Mu.

Gang Bambu, 17 November 2003

Saturday, November 15, 2003

Monyet di Planet Aneh

Maka akupun sepakat untuk datang ke acara buka puasa ex-shields di camoe camoe café panglima polim meskipun aku sendiri nggak puasa. Yang penting semangat kebersamaan.Semu.
Dan inilah aku, celingukan diantra 20an orang yang memang sempat kukenal di shields dulu, tetapi aku menjadi monyet ditengah arena kegembiraan dan hysteria. Aku menjadi monyet diplanet aneh!
Dua jam buatku seperti tersesat dikomunitas aneh, aku lebih banyak membaca mimik mimick yang berada disekitarku, dan berharap ada dikamar kostku dengan buku pinjaman yang tengah kubaca, tenggelam dalam ceritanya.
Ah, komunitas Jakarta, aku bukan salah satu dari mereka ternyata!
Bahkan tetet pun begitu menyakitkan sikapnya. Tidak ada jabat tangan ataupun sapaan salam. Hysteria menenggelamkanya dan menjadikanku sebagai debu, luruh dikaki bangku restoran.
Aku menyesal telah meyakini diri bahwa aku sebangku dengan mereka, bahkan aku seoksigen dunia dengan mereka.
Bukan, bukan untukku dunia dan pribadi pribadi itu.

Thursday, October 30, 2003

Dibalik Dinding Kaca

Dibalik dinding kaca satu dunia tersimpan
sembunyi
engkau pasti tak melihatnya
sebab memang tak pernah kau jenguk sisi sepi hidupku,
kecuali ketokohan yang kau sempurnakan
Dunia di balik dinding kacaku perlahan menindasku
justru oleh kehadiranmu,
perlahan menjadi ketakutan atas pribadiku yang kerdil.

Sepotong sepotong kisah terangkai diam diam
ingin kupadamkan perlahan.

Jakarta, 30 Oktober 2003

Wednesday, October 15, 2003

Si Miskin dan Trantib

Di Jakarta, ‘orang orang miskin’ digusur, bersikeras dan berakhir bentrok dibeberapa tempat. Orang orang berebut simpati mendatangi, mengecam aksi pemerintah DKI dan berlagak jadi malaikat. Intinya sama, rebut simpati untuk kelompoknya. Orang orang yang digusur itu memang tidak seharusnya ada disana, liar dan sikap Trantib DKI pun buatku adalah penegakan hukum. Aku sendiri setuju penegakan hukum dengan ekses apapun. Mereka bukan korban tapi pelaku buatku. Maju terus Trantib, tegakkan keadilan sekecil dan seberat apapun!

Kosong

gelisah, kosong, angan menenelanjangi sesal, menjejalkan kejang pada mimpi. Aku ingin waktu segera menghanyutkanku ke peluk malam dimana tak kujumpai gelisah menikam.
Suara suara tanya jadi hambar dikepala, sebab tak ada jawab yang keluar dari hati. Pagi tadi kusulut api dari kediaman waktu, sekedar mengingatkan waktu Aku sendiri asing pada nyanyian dari seberang kaca jendela..

Kusangka kota ini berisi tentram, rupanya kemanjaan yang takut takut dipertahankan sementara gemuruhnya menjejalkan sunyi yang menjerit jerit mentertawai usia yang merapuh…

Saturday, October 11, 2003

Balada Perempuan Malam

:Ria
Petir jaman mendamparkanku pada lampu lampu malam bersama jutaan lagu yang terperdengarkan mengikuti apapun kata hati (ataukah hati yang dibuat buat mengikuti segala nyenyanyian?)
Ia mencoba menjadi tiang tanpa akar menentang ombak yang terus berputar seperti jarum arloji. Kontradiksi hidup tak lagi punya makna sebab hidup hanyalah sekedar hidup, sekedar berbirahian...

Telah kuretas temali layarku ucapmu pada senja kesekian,
Kubiarkan nuraniku mengarungi laut tanpa tuju, aku tak lagi dahaga meski kerongkonganku terbakar keinginan normatif
Dan setiap lekuk tubuhmu, juga suara yang mendayu dayu palsu atau bau ketiakmu memabukkan setiap lelaki yang membiarkan kau sandarakan kepala dan harapan liar hari ini dipundaknya.

Pada saatnya engkau berjalan sendiri,
Berucap syukur karena badai tak merobohkan bentengmu, bahkan mengikisnyapun tidak kecuali buah kenangan yang hanya kau pendam sendirian hingga membusuk dalam peraman perasaanmu...


BPN, 11 Oct 03

Sesal

Bahkan senyum diwajahmupun tak kukenali lagi
Bahkan rasa yang kucaripun tak kuingat lagi meski kudapatai tanpa kurasai
Matematika hidup tak lagi hidup oleh sang pencari

Sebungkus kenang kenangan hambar mengendap diam diam
Tinggal sesal karena malam melulu berisi birahi; dan busuk bau sampah kota
Dari manakah datang penghuni penghuni bumi yang selalu bersembunyi
Yang hanya memperdengarkan tawa sebagai undangan?

Sesalku bagai serpihan gambut dipantai Lamaru
Dan kepribadianku adalah bangkai ubur ubur yang menghias tajam terumbu
Sungguh tak kutemukan kesadaran dari darah yang menetes dari kaki kiriku yang tertoreh waktu,
Sebab hidup hanya menunggu arti mimpi, mengekang keinginan dan berontak kepada kenyataan

(sebongkah hati meratap ratap dari jauh, menggema gema didalam kalbu sunyiku)

Balikpapan, 11 Oktober 2003

Thursday, October 09, 2003

Jongos


19 orang tenaga kerja wanita yang bekerja jadi jongos di Kuwait dipulangkan karena ketidak adilah yang mereka terima dinegeri impian. Sebagian mereka dianiaya, dipenjara, diperkosa tanpa rasa manusia. Mereka hanya ingin bekerja, mencari uang, mengharap gaji bulanan dan pulang kekeluarga mereka di kampung dengan uang cukup. Itulah typical kehidupan jongos, manusia bernurani dan bermartabat yang bahkan menurut pandanganku terkadang lebih bermartabat daripada pemegang kuasa atau yang merasa menguasai mereka atau orang orang dengan tipe seperti itu. Aku tahu persis kehidupan jongos, aku tau persis bagaimana rasanya jadi jongos, menjadi orang sisa sisa dengan martabat sisa sisa.

Indonesiaku menangis keras, sesak dada oleh beratnya beban duka dan ketidak adilan dunia yang harus dialami.

Crime Driver Banyuglugur

Kecelakaan bus di Banyu Glugur situbondo yang diekspos tv membuatku mau nggak mau berduka. Mungkin aku tak pernah bertemu dengan mereka apalagi mengenalnya, tetapi ke 54 orang korban yang kesemuanya tewas terbakar. 51 orang siswi SMK Yapemda , dan empat laki laki yang juga guru dan pemandu mereka terpanggang dalam bus yang terbakar. Ekspresi duka menyayat yang jujur yang ditampilkan di tv sepertinya mau tak mau mengajak seluruh isi bumi menangisi tragedy itu.
Ada yang agak menggelitikku, ketika media mengekspos pernyataan pejabat direktur Lalulintas Babinkam Mabes POLRI Brigjend Pol Ananto Boedhiardjo berjanji dalam 1x24 jam akan sanggup menentukan tersangkanya. Untuk pemahamanku yang dangkal dan awam tentu menggelitik karena pendapatku, opini public akan membacanya sebagai ajang pencarian si bersalah, ya si tersangka dimaksud, kemudian dihubungkan dengan 54 nyawa yang gosong dalam bus, maka si bersalahlah yang menyebabkan duka mendalam dan penderitaan bathin anggota keluarga dan jutaan simpatisan ke 54 korban. Si bersalahpun tanpa dicap maupun divonis oleh orang ramai tentu sudah akan sangat tertekan mungkin bisa saja gila kalau memang super ego yang dimilikinya kuat. Kecelakaan lalulintas, korban mati puluhan, terjadi dimedan yang memang rawan dan dengan rambu rambu (marka) jalan yang jelas, toh tetap saja kecelakaan. Menurutku, mental, attitude ‘human’ nya lah yang lebih layak jadi tersangka. Ketaatan pada peraturan, ketaatan pada ketentuan, perhitungan matematis (teknis mengemudi), pemahaman akan akibat akibat negative dari negligence serta pola hidup yang berdisiplin dan teratur akan sangat banyak membantu menghindari dan mengurangi korban mati sia sia seperti di situbondo. Yang terjadi sekarang dalam pandanganku adalah kecelakaan lalulintas ini akan menjadi semacam delik pidana (mungkin karena timbul korban?), menetapkan tersangka seperti penjahat jalanan yang melecehkan marka jalan. Ya aku setuju kalau begitu!!!

Friday, June 20, 2003

Catatan Ulang Tahun Untuk Istri

Jam 00.19, Jum’at 20 Juni 2003 sekarang. Aku dikamar staff house Balairajaku, bersama kehidupan didalam otakku yang berputar putar seperti butiran debu terbawa badai.
Seharusnyakah ini menjadi sesuatu yang menyedihkan ? Karena aku tidak berada disampingmu untuk sekedar membisikkan kata selamat ulang tahun.
Ah aku harap tidak demikian, sebab aku yakin didalam benakmu pasti kamu selalu simpan bahwa aku teramat mencintai dan menyayangimu untuk sekedar lupa hari ulang tahunmu. Hanya mungkin kekasihku, gelembung dunia yang menceraikan jasad kita yang menghalangi kata yang seharusnya kamu dengar lembut halus ditelingamu. Ah, paling tidak telinga hatimu pasti mendengar ucapan itu lewat angin kemarau yang kutiup pulang baru saja.

Barangkali tak ada sesuatupun yang pantas untuk kujadikan bingkisan ulang tahunmu kali ini seperti halnya tahun tahun sebelumnya. Kecuali kabar bahwa aku tak pernah kesepian disini sebab didalam jiwaku kamu dan Tika menghidupkan dan meramaikanya selalu dengan cinta yang selalu terasa lebih dari cinta manapun di dunia.

Selamat ulang tahun kekasih jiwaku,
embun yang luruh diatap rumah kita
mewakili hangat rindu yang kupendam seakan berabad abad lamanya
menawarkan sejuk ke hati mencinta
kenangan manis membalut fikiran
mengantarkan tatapan ke tempatmu berada
diruang istimewa sebelah hatiku…
bayangan manismu setia lumatkan sunyi membuncah
damai mengingat tawamu yang kusimpan diangan angan
kukirim rindu lewat angin subuh hari
kualamatkan ke palung kalbumu ketika engkau terlelap tenteram
sejuta bidadari dari angkasa menyanyi khidmat,
seperti puja puja seribu malaikat dari syurga
yang setia menjadi penjaga tidur malammu


selamat ulang tahun teman hidupku,
selamat ulang tahun cinta hidupku…


Staffhouse Balairaja – Duri, Jumat 20 Juni 2003

Saturday, May 10, 2003

Risalah sunyi

Pada beku telah kupancang tugu peringatan
untuk pejalan pemungut sisa semangat
pada sepi yang menggigit telah kupilih cinta
yang menampakkan keindahan dari balik perih ke perih,
dunia menjadi singgasana yang menobatkanku sebagai raja
atas bukan apa apa
atas bukan siapa siapa
kemewahan yang merasuki setap sisi ruh sunyiku
maha luas dan penuh,
tanpa batas...

semilyar kunang kunang
sejuta kupu kupu mengembara tanpa pencarian
; ‘sekedar menari-nari’
‘Sekedar menikmati hidup’kutanya

Aku melihat bening dari segala bening
disunyiku,
kudengar segala filsafat maha bijak yang tak pernah terajarkan
dan nyenyanyian paling merdu yang tak terlantunkan,
juga puisi terindah yang tak pernah tertuliskan.

Disunyiku, hidup hanyalah aku dan penghayatanku.

Balairaja – Duri, Sabtu 10 Mei 2003

Saturday, March 01, 2003

Tengah Malam Dikotamu

Tengah malam dikotamu,
kuhirup karbondioksida dan aroma kotoran burung layang layang
seperti pernah kujumpai dalam mimpiku,
atau kenanganku?
Aku kelelawar yang terdampar dialam ganjil Pekanbaru,
kelelawar yang kelaparan bentuk,
seperti sang raja yang sedang menghukum diri atas takdir yang dijalani.

Mungkin embun juga turun diatap rumahmu?
Seperti embun yang juga turun didalam fikiranku,
yang memerangi api dendam didadaku.
Sebentar lagi mimpimu usai, jika matahari memanggil manggil
lewat kaca jendela kamarmu,
dan hamparan buah harapan siap untuk kau tuai.
Tersenyumlah seperti seorang kekasih dalam dongeng dongeng cinta cassanova,
riaslah dirimu dengan cahaya kebajikan untuk semua yang datang bertamu dihatimu.

Sebelah ruang kosong dihatiku kini riuh oleh gemuruh,
sejuknya menjadi hangat oleh mimpi dan keletihanku menumpas hari hari panjang. Dikotamu kumuntahkan darah dari dalam dadaku yang terluka,
kualamatkan kesetiap pintu pintu rumah berpagar,
tempat peradaban dan budaya dipenjarakan.
Kota ini menjadi aneh oleh keinginan keinginan yang datang terlambat
sesudah semua lampu kota dipadamkan.
Malam ini kuletakkan semua buah pengalaman dikotamu
aku telanjang dengan kesendirianku
mentertawakan kesombonganku yang menguap musnah hanya oleh sepi.
Malamku yang membatu dingin dan kosong kutatapi saja
sambil mengeja butiran demi butiran waktu lepas dari labirin

dikotamu, tadi sore aku disambut selusin anak anak baru lepas khitan
berbedak debu aspal, rokok ditangan
matanya liar menguliti kemanusiaan taring taringnya kuning dan tajam; aku ingin mengenal mereka, anak anak rimba beton di sudut pasar Kodim yang telah sepi tinggal caci makian mereka mendoa dalam irama zaman yang tak terbaca oleh mereka.

Dikotamu, rindu membuncah sepanjang malam…

Minggu, 1 Maret 2003,Hotel Megara – Pekanbaru pukul 01.33.