Thursday, December 29, 2005

Pemakaman


:Bule’ Sri Lestari
(31 Des 1953 – 28 Des 2005)

Gundukan tanah merah, setengah basah dikepung puluhan peziarah mengantar pergimu. Duka belum lagi pergi dari hati hati yang kehilangan, berjongkok dan merendah pada kedalaman bela sungkawa. Jasad yang semata wayang, telah ditanam, ditabur bunga dan juga doa doa mengiringnya. Tangan menengadah, memohonkan ampun atas dosa dosa. Semua terjemahan kata perpisahan semata.

Hari ini selesai sudah cerita hidupnya. Akan segera hilang ditelan angakasa, ditanam berdesak diantara pendahulu. Ia telah bertahun menahan nanah dalam dirinya, yang tersembunyi dibalik tulang dan kulitnya yang merapuh. Adakah juga air mata tumpah dibawah tanah sana, Bule’?

Sekarang waktunya untuk sendiri, hanya bersama malaikat dan barangkali bidadari. Semua berjalan membelakangi, perlahan menjauh mengusung duka hati pulang, membawa kelegaan kerumah kehidupan.

Selamat jalan, Bule’ Anto'…Selamat menempuh perjalanan lain lagimu, menuju kemanapun hendak engkau tuju…

Tanah Kusir cemetery, 28 Desember 2005

Wednesday, December 28, 2005

Risalah Sunyi


Bau khas sisa hujan masih menyerebak. Sisa ketakjuban atas kejadian alam yang kemudian menggenangi hati dengan rasa melolong lolong, hampa penuh keindahan sendirian, menjadi sang raja dikerajaan bernama sunyi. Menjadi raja atas bukan apa apa, atas bukan siapa siapa, sendiri!!

Sore tadi dikantor.
Mendapati hampir kepala semua orang dikantor sudah berhambur direncana mereka masing masing menyambut akhir minggu di akhir tahun, sebagian lagi natal, semua orang sebegitu sibuknya dengan keriangan masing masing, menunggu jam lima untuk segera berendam ke kehangatan keluarga masing masing. Ya, itu menyadarkan bahwa ketika mereka terbias dikehangatan keluarga masing masing, aku akan tenggelam dikedalaman lautan peradaban dikamar kost. Tidak ada siapa siapa yang tinggal dikedalaman itu. Semua orang dikantor nampaknya sudah terbius dengan atmosphere perayaan. Perayaan atas apa? Zaman yang semakin tua atau hidup yang baru tiba? Apa bedanya juga kalau keduanya sama sama tidak kita kenali? Masa depan dan masalalu, bukan?

Pikiran itu terus berpilin menggubal kemana mana, seperti percakapan antara mencari kesejatian dan sekedar memprotes keadaan. Seperti kedalaman lautan kehidupan, fikiran itu menempatkan aku menjadi selembar bulu elang yang gugur diangkasa dan terbang melayang layang, sementara sang elang dengan kepala diam dan mata buasnya gagah melanglang, sayapnya yang kehilangan satu lembar bulu tetap menjeprak lebar sesekali mengepak anggun menjelajahi ketinggian. Sang bulu tak lagi menjadi bagian dari sayap yang gagah mengaggumkan itu, ia luruh kebumi karena gaya gravitasi dan mengalami proses yang sangat membosankan sesuai kehendak angin dan udara. Sungguh dia tidak berdaya apa apa lagi. Menjadi permainan ketiadaan. Terkadang harus diikutinya jalan kekanan, kekiri, menukik, melambung dan berjumpalitan. Dia tidak berdaya, dan dia nikmati itu menjadi satu maneuver penuh estetika. Indah adanya!

Ketika jam lima betul betul akhirnya datang mengampiri bumi, kantor menjadi makin ramai orang mau pulang. Diluar gedung, gelap pekat menyelimuti rupanya. Dikepala terbayang kamar kost, libur akhir pekan dan warna abu abu yang maha luas. Dan angkasa menjadi kelam, hampir tanpa warna. Tak ada yang terlihat oleh mata, hanya angan yang mampu menerawang menembusi gelap, meraba raba apa bakal terjadinya nanti. Hidup menjadi kotak kotak kubus teka teki masadepan.

Melangkah keluar pintu lobby sesudah kantor terasa sepi, gerimis menciumi kepala dan muka dengan manja, sepatu kets hitam melangkah tenang menjejaki gerimis, menatap keatas dan terkesima oleh sebentuk pelangi, warnanya kabur melengkung ragu diatas graha simatupang yang menjulang. Pelangi itu…warnanya hambar ditikami mendung. Cerita nenek dulu, pelangi adalah kluwung jembatan bagi para bidadari dan putri kayangan turun ke bumi, mandi di telaga suci pilihan para dewa. Lalu dimanakah turunya bidadari2 itu? dimanakah telaga suci itu? Adakah bidadari berhati tuan putri yang turun kebumi dan menjadi penghuni? Ah, aku ingat cerita tentang Nawangwulan dan Joko Tarub. Legenda jawa yang akhirnya melahirkan ‘dogma’ jawa bahwa pantang bagi laki laki untuk membuka tutup dandang menanak nasi sang istri. Haihhhh…dunia demikian tuanya ternyata….!

Kaki kecilku melangkah tenang meninggalkan bayangan tentang kehidupan keluarga, dimana hangat terasa karena ada cinta yang saling mengikat jiwa jiwa penghuninya, karena berisi hati yang saling menyelimuti dan melindungi, dan menjadi tempat dimana segala urusan dunia berpulang. Dalam belaian gerimis, menuju kamar kost dunia angan angan, dunia kedalaman lautan hati. Bikini bottom tanpa Sponge Bob!! Didasar kedalaman dimana hanya berteman putri duyung yang kesepian dan nyai roro kidul yang cantik jelita. Dunia dongeng semata!

Tentang sebuah negeri bikini bottom yang maha luas dan sunyi. Berisi lembah lembah yang luas penuh harapan, berisi jurang jurang curam yang mengerikan, berisi hutan belantara penuh kemisterian, namun semuanya teduh dan indah. Hawanya sejuk dan menyamankan, menandakan memang seluruh negeri adalah istana bagi kesunyian itu sendiri.

Keindahan sunyi, sebetulnya tercipta secara alami oleh ketidak berdayaan melawan, improvisasi dari keadaan yang buruk menyedihkan menjadi cantik dan menyenangkan. Kemudian menjadi warna dunia yang terasa bagi jiwa. Aku jadi menyukai hening dan teduhnya. Ruang privacy yang luas bagaikan rimba . Demikianlah diri berusaha menempatkan dengan layaknya pasrah kepada kondisi bernama kesendirian itu.

Episode Kepasrahan


Ada rasa tiba-tiba tergantung hampa di dasar hati saat hentakan kisah terbaik datang dari sebuah jiwa yang terabaikan. Senyuman manis dan doa gembira yang di paksakan di persembahkan untuk meramaikan suasana jiwa pengharapan. Sebuah kecupan sinis mendarat lembut dan belati kenyataan menikam sopan di relung lubuk yg terdalam. Kesadaran yang terlambat datangnya (atau sengaja di tahan lajunya) bahwa ini semua metamorfosa dimana kenyataan sebenarnya disembunyikan untuk menghidupkan logika.

Ah..logika , sudah lama dia pingsan berkepanjangan(sebetulnya paling pantas kalau dibilang mati tapi sebuah jiwa yang lain meyakinkan bahwa logikaku hanya pingsan dan menunggu 'waktu' untuk sadar) sejak beberapa waktu yang lalu, ketika lembaran berharga menjadi penentu pergaulan nista. Begitu besar keinginan untuk terus bermimpi dan bermain dengan kealpaan jiwa yang terlonjak-lonjak mengharapkan perhatian. Jiwa yang pongah dan selalu menengadah ke atas mempermanis dosa yang di abadikan sebagai kejadian hidup yang patut di pecundangi . Belum ada sengatan lebah pengingat yang bisa mencubit hati yang melamun.

Ah...lagi-lagi soal hati, lagi-lagi soal jiwa, beruntun soal nurani. Kapan bisa tulisan ini dialihkan menjadi sebuah berita universal ? Berita tentang hidup orang lain,tentang hajat orang banyak, terbitan empati yang tulus kepada sesama dan bukan merumpikan tentang hati yang sudah hilang warna merahnya.

Ya..ini bukan tulisan , ini percakapan batin yang rusak, penuh dengan kuasa atas kebohongan yang tertanam rapi, harum bangkai dan terlaknatkan yang terbaca oleh manusia pemikir. Lebih dari seribu kali dicoba untuk menghalalkan pikiran kalau kebohongan hanyalah kejujuran yang tertunda tapi tetap terharamkan oleh olengan simpati dan rasa kesenasiban. Dan yang terpenting, karena saat kebohongan bermain peran, justru kejujuran dengan setia menontonnya berakting bahkan terkadang sebagai pemeran pembantu di layar hidup.

....
Dan lara masih bergemuruh nyaring di lubuk kosong merompong, tidak ada sedikit pun keinginan untuk pemenuhan hati yg stabil. hal yang paling salut adalah dia bisa menempatkan diri sebagai sebuah tiang sanggahan kepedihan,sebagai wadah penampung...dan sebagai terompet kematian rasa bersalah...

Mungkin ini saatnya untuk bercermin, memoles diri dengan kepasrahan dan tawakkal, memuluskan kulit wajah dari cacian duniawi, membungkus erat kekecewaan dengan keikhlasan batiniah. Tutup episode kuasa atas kebohongan dengan pembinasaan karakter surgawi dunia.

Thursday, December 22, 2005

Mimpi Buruk


(Seperti terbagi kepada seorang teman hati)
Pagi ini, angkasa hati berisi Batara Kala (dalam legenda jawa dikenal sebagai visualisasi dari angkara murka, berbentuk raksasa dan bisa melakukan segalanya). Dia datang dari mimpi buruk berderet panjang semalam tadi, ketika kenangan yang menempel dipunggung menampilkan lagi slide kelukaan tanpa bisa mempengaruhinya dengan keinginan.
Pagi ini api menyambar dada, menghanguskan semua harapan dan kemapanan yang selama ini menjadi senjata.

Mimpi tadi malam, terasa seperti ratusan malam sebelumnya yang melulu berisi perkelahian, darah dan tangis. Entah oleh apa, entah dari sudut mana merasakanya, tapi ia ada didalam sana, rapi tersembunyi menjadi mutan penguasa satu ruang hati yang amat tersembunyi, dipagari oleh kepurapuraan logika.Semalam aku melihat tubuhku yang digoda olah batara kala, dipecundangi dengan semena mena. Hidup kesayangan dirusakkan tanpa hati, dan ditertawakan dengan bengis. Aku harus melawan sampai pada titik ketika senyum menghilang dari peredaran. Aku melawan sekuat kuatnya melawan, mengejar sekuat kuatnya berlari, sekedar untuk menyampaikan pesan bahwa dia tidak punya hak untuk menghancurkan apa yang aku cintai; hidup ini. Melewati lembah dan gunung, menuruni jurang jurang yang curam, perkelahian itu melelahkan hati, melemahkan syaraf. Dan aku terus berkelahi sampai akhirnya dia terkapar tak berdaya kecuali menunggu belas kasihan.Aku bisa lihat, punggungku yang terluka, menganga lebar oleh perkelahian itu. Darah merah muda masih bergelimang disana, perihnya tak terasa tertindih oleh letih yang panjang. Aku harus berhenti disana, membawanya kerumah sakit untuk si batara kala dan merawatnya dengan sebaik baiknya perawatan. Luka dipunggung aku lupakan, letih dibadan aku abaikan, semua hambar terasa.Lalu datang seorang bernama Simun itu, yang entah dari belahan bumi mana aku kenal, datang hanya untuk berkoar koar untuk berteriak teriak bahwa aku keji seperti iblis, bahwa aku bengis melebihi setan. Dia mabuk, bau alcohol menyembur dari mulutnya yang jarang dibersihkan. Kata katanya kotor menjijikkan, menyemburkan sumpah serapah dan kesombongan. Semua menghujatku. Tak ada lainya.
Lalu semua orang pergi, tinggal aku sendirian saja diruangan itu. Si sakit sudah membaik, sudah bisa tertawa dan buang air sendiri, menyantap makanannya sendiri. Aku temukan kehidupan yang aku cintai ambrol, kehilangan warna dan rasa. Aku begitu sendiri memunguti serpihan kebaanggan yang aku bangun selama bertahun, dengan darah menggenang dan mata berkunang kunang. Kepedihan memenjara hati, kekecewaan menindih perasaan dalam mimpi itu. Luka itu menjadi kentara dari sudut pemandanganku karena terletak diatas bekas luka yang tertutup dengan kulit baru. Antara marah, kesal, kecewa dan sedih, aku menangis mengasihani diri.

Mata masih basah dan nafas terengah engah. Matahari mencemooh dari sudut jendela. Mengumpulkan nyawa yang tercecer berantakan, bergegas kekamar mandi dan menyiram seluruh tubuh berharap sekam dalam dada yang disusupi bara perlahan memadam, lalu lenyap. Tetapi asapnya tetap saja menyesakkan dada, menyisakan amarah meletup letup tanpa alamat. Dan hari berjalan seperti biasanya….lalulang manusia semakin menyumbat kepala.Sungguh aku mencari pemahaman, dimana menyesali mimpi adalah kemewahan yang sia sia belaka…
Kantor, menjelang makan siang 21 Desember 2005

Nasehat dari hati


Mimpi burukmu...Adalah hari yang sedang tidak bersahabat saat ini mungkin. Menggoda hati yang sedang tidur nyenyak pagi ini meski mimpi panjang yang mengerikan semalam menyeruak keluar dari perasaan yang ikut tidur pagi ini. Dan badai, apa pun namanya juga ikutan tergiur oleh alunan hari yang sumbang. Bukankah ini pernah terjadi sebelumnya ? entah dalam bentuk seperti apa, tapi pasti pernah menjumpai dan bertegur sapa dengan jiwa.

Ini "hanya" soal waktu, yang bersekutu kuat dengan hari. Dua keajaiban Tuhan ( tidak bisa dilihat, hanya bisa dirasakan dan diikuti) yang bisa memporak porandakan atau bahkan merapikan jiwa seorang makhlukNya yang paling disempurnakan. Ada teka teki sanubari yang sedang diberikan untuk di pecahkan. Kalau memang begitu, lakukanlah yang terbaik demi sebuah jawaban sempurna, ikutkan logika dan jiwa sebagai tim suksesnya. Rumah hati sedang menunggu pajangan yang terbaik.

Kehadiran sebuah raga adalah bentuk konfirmasi fisik atas hati yang bergelayut manja , memastikan bahwa informasi hati benar adanya . Sebuah usapan lembut di atas rambut rambut kecil tajam, mengelabui sinar kepahitan di mata, dan melipat gandakan menjadi seribu sentuhan kebaikan penyayangnya yang mengharapkan bila suatu saat raga tak lagi kuat untuk menopang kepala yang terkulai lemah , masih ada kupu kupu yang bersedia membantu mengangkatnya.

Wednesday, December 14, 2005

Tafsir Senja


(sekedar catatan kepada seorang teman yang mencemaskan kematian)

Menafsirkan senja seperti halnya mengeja sebuah kemungkinan yang menganga bernama masadepan. Tak terlihat, penuh rahasia. Seperti juga malam yang turun dengan kegelapanya ketika matahari beranjak pergi bersembunyi diperut bumi. Senja akan tetap lewat, malam akan tetap datang dan semua siklus kehidupan akan terus berjalan dalam tracknya masing masing.

Menafsirkan senja seperti juga halnya menghitung jejak perjalanan hari, lalu merenungkannya perlahan menjadikanya catatan hari ini, yang akan menjadi masalalu, menjadi batu fosil tanpa bisa lagi diubah bentuk maupun warnanya. Terkadang menyisakan sesal, menyisakan letih, terkadang juga menyisakan rasa enggan untuk melepaskan sebuah hari berlalu, berharap jarum jam bisa dihentikan dan matahari bisa dibendung lajunya. Senja selalu saja menyuguhkan kontemplasi kecil dalam hati, tentang apa yang telah terlewati hari ini. Tawa, canda, obrolan, kejadian, kesaksian, tangis adalah isi dari catatan bernama pengalaman.

Senja selalu saja menjadi permulaan bagi sebuah kehidupan kedua, berkemas menyongsong datangnya warna hidup hitam setelah seharian berwaran putih. Hitam putih hidup, aturan baku bagi setiap mahluk dan kehidupan alam. Sebagian orang menghitung rugi laba hari ini, sebagian orang akan tergesa menyiapkan segala upacara penghamburan hati, menyiapkan kehidupan pribadi. Mengaktualisasikan diri dalam kehidupan yang bukan melulu berisi tidur, lalu bangun lagi ketika matahari datang lagi menjelajah bumi besok pagi.

Ya, secara umum senja mengantarkan orang untuk memasuki kehidupan pribadi masing masing, bersama kehidupan sosial yang lebih pribadi. Ada juga bagi sebagian orang senja berarti pagi dimana kehidupan baru dimulai, menjadi pelayan bagi kehidupan malam orang orang yang hidup dalam kehidupan pribadi.

Menafsirkan senja, sebenarnya adalah menafsirkan kehidupan secara manusiawi. Senja mengajarkan untuk mengkalkulasi masalalu dan mempersiapkan diri untuk masuk ke masadepan yang misterius. Senja adalah penggambaran dari siklus kehidupan bumi manusia, dimana semua yang berawal pasti menemui akhiran, seperti halnya kelahiran adalah tanda tangan kontrak untuk kematian. Semua berjalan sesuai siklusnya dalam irama dan genre yang sudah ditentukan Tuhan, manusia tinggal menjadi pelaku, dengan rencana dan keputusan, lalu mengikuti konskwensinya dimasa depan yang akan menjadi masa lalu besok besok hari.

Kehadiran senja mengusung kesepian yang indah kehidupan lain lagi dalam satu bundel besar riwayat diri. Menyuguhkan kesadaran, bahwa hidup patutlah disyukuri dengan cara dinikmati. Menempatkan diri dalam antrean panjang umat manusia menuju kematian yang secara random sudah ditentukanNya. Kita tinggal menjalani siklus yang sudah dengan agenda yang disembunyikanNya. Maka teman, jangan cemaskan kematian karena itu pasti datang. Hal biasa dalam kehidupan…

Bagi sedikit orang, melewati senja adalah memasuki labirin angan angan, penuh kemeranaan yang memilukan, sendirian…

Warung Nabiel, senja 13 Desember 2005

Monday, December 12, 2005

Dua ton beban sesudah makan malam


Warung tenda itu begitu meriah dengan pembeli dan aktifitas memasaknya, dengan semua crewnya laki laki, sebagian berlogat jawa bagian barat sekitar Tegal atau Banyumas. Sepuluh meja yang disediakan menampung total sekitar delapan puluh orang dalam dua lajur dipinggir jalan yang seharusnya mungkin menjadi trotoar. Hampir selalu terisi penuh dengan orang orang yang datang makan, berkelompok, juga sekeluarga kadang kadang, bahkan berdua dengan pasanganpun tak terlewatkan. Dan hampir keseluruhannya adalah etnis tionghoa. Bahasa cina (entah mandarin entah hokian karena kedua duanya aku tak menguasai) terdengar disana sini disela gemuruh suara kompor pompa dan masakan didalam kwali penggorengan. Semua sibuk melayani, seperti semua sibuk menikmati hidangan istimewa; seafood.

Diseberang kali mati yang airnya diam sesekali bau anyir tercium. Genangan air ditepi jalan sisa hujan terlindung oleh mobil mobil mengkilat para tamu yang berjejer sepanjang tenda. Orang yang jajan bermobil menjadi sumber rezeki bagi tukang parkir. Kemegahan WTC Mangga Dua dan Hotel Novotelnya menampakkan kemahalan yang angkuh diseberang jalan raya dengan lampu beraneka rupa, dengan dagangan yang ditawarkan memenuhi hampir seluruh kebutuhan hidup dunia.

Duduk membaca menu, menuliskan pesanan makanan; baronang bakar, cah kangkung cumi, kerang dara rebus dan kerang hijau saus padang. Tukang majalah datang dengan berbagai judul dari femina, kartini, tempo sampai cosmopolitan. Lambaian tangan penolakan mengusung barang barang itu pergi dari hadapan. Hmm…bagaimana akan membaca majalah jika tangan pasti sibuk dengan lumuran bumbu masakan?? Orientasi bisnis yang buruk? Atau hanya pandangaku saja yang terlalu skeptis menilai? Semua berusaha menangguk rezeki, sebagian lagi memanfaatkannya disini.

Ketika hidangan tiba dimeja, dan tangan berlumur saus dan bumbu masakan, pengamen tunggal dengan gitar menyanyikan lagu yang belum pernah terdengarkan ditelinga. Mengharap duli meja didepan untuk menyisakan uang recehan, seribu atau limaratus rupiahpun jadi. Pandanganya mengharap, sedangkan tangan yang berlumur bumbu masakan mustahil menelusup kekentong untuk sekedar uang recehan. Lambaian tangan dan senyum kilat mengusirnya pergi dari hadapan. Mengamen hakikatnya adalah menghibur, bukan membuat orang jadi risih, bukan mengemis dengan modal gitar. Jadi adalah hak untuk tidak meladeni pengamen karena merasa tidak terhibur.

Hidangan tiba dimeja, memenuhi hampir semua permukaanya. Semua tersaji cepat dan panas baru masak. Baronang yang merah kehitaman, kerang hijau yang kering berlumur saus, kerang dara yang gendut gendut dengan saus plus bawang putih, dan cah kangkung cumi mengepul mengundang selera makan membuncah. Hidup terasa begitu nikmat dengan semua karunia yang diberikanNya.

Disudut belakang sebelah kananku, disebuah bangku plastik yang tak terisi oleh satu keluarga mulai dari kakek sampai cucunya yang sedang rusuh menyantap hidangan, seorang gadis cilik memangku keranjang, berisi makanan terbungkus dalam plastik plastik kemasan. Wajah tiong hoanya datar menawarkan dagangan tanpa kata kata, sebentar sebentar berjalan menjajakan daganganya kepada tamu yang datang. Tampaknya sepi malam ini daganganya. Rona wajahnya yang polos tertampak letih, sinar matanya yang bening berisi penuh harap, dan dari gerak tubuhnya terpancar semangat muda yang gigih. Dibelakang samping kanan, pandangan dan keberadaanya menikam empatiku, satu satunya pembeli pribumi ditempat itu.

Gadis tiong hoa kecil yang menjajakan makanan dalam keranjang, bayanganya mengikuti langkahku meninggalkan Kalimati dengan dua ton beban perenungan dalam dada seperti air kali yang menggenang mat. Seharusnya, aku membeli apapun yang dijualnya. Maafkan aku, wahai adik kecil…

Seafood 49, Kalimati – 11 Desember 2005 -

Friday, December 09, 2005

Menyayangi


Menyayangi, bukan berarti harus mengalami apa yang ego inginkan. Menyayangi adalah juga menghormati serta memahami orang lain sebagai sebuah pribadi apa adanya tanpa dikte apapun. Membiarkan bathin orang lain tumbuh subur dalam hidup sebagai dia apa adanya tanpa berupaya membentuk menjadi seperti kehendak diri. Barangkali ibaratnya adalah sebagai lahan dimana orang yang kita sayangi sebagai pohon (juga berlaku sebaliknya) yang tumbuh kokoh dengan akar meneracap jauh kedasar. Menyayangi adalah tetap membiarkan orang tersayang sebagai penguasa atas pribadinya sendiri tanpa ada keharusan untuk mengikuti apalagi menjadi seperti kita. Membiarkan dan merawat orang lain dengan kelengkapan atribut kepribadiannya sendiri.

Menyayangi juga mengandung konskwensi nurani, dimana diri merasa berkewajiban untuk terus menjaga hormat, menempatkan orang yang disayangi di posisi aman dalam setiap hal. Kewajiban itu bukanlah keharusan melainkan sukarela, tumbuh dengan sendirinya tanpa diminta dan tak bisa dipaksa. Rasa sayang tidak mengijinkan sedikitpun orang tersayang untuk menjadi susah karena hubungan, mendapat masalah dari kebersamaan. Terkadang rasa sayang tumbuh liar dirimba hati, yang samasekali tidak bisa ditolerir oleh dunia nalar, juga oleh logika yang sedang pulas terbius. Kita bisa menikmati semua penghamburan hati, hanya ketika logika terbungkam dan semua berjalan mengikuti kehendak hati.

Perasaan sayang juga melingkupi upaya keras untuk bisa memahami apa jalan fikiran serta perasaan orang yang kita sayangi. Beban beban rasa bersalah yang muncul satu persatu dari persembunyian, kecemasan kecemasan yang berderet memamerkan kengerian, perhitungan perhitungan akal sehat yang memaparkan kemungkinan kemungkinan pahit, semua berjajar menghadang kehendak untuk meneguk habis cawan berisi ‘kebahagiaan’ yang dijanjikan hati. Seharusnya tidak akan ada penilaian naïf atau kecewa apabila akhirnya logika mampu menciptakan barricade yang hati tidak sanggup menembusnya. Bahkan akan menghargai sikap apapun yang terambil nanti, tanpa harus dibebani perasaan negatif. Tetap menghormati dia sebagi pribadi yang indah dan independen. Akal sehat dan hati memang otomatis akan berperang ketika nurani mulai terabaikan. Orang yang patut disayang adalah orang yang punya dasar nurani yang baik, yang tidak ingin melukai dan menyusahkan siapapun dimuka bumi ini.

Maka ketika bathin mulai letih oleh pertentangan antara hati dan logika, hentikan semua peperangan dalam bathin, biarkan semua mengendap tenang, dan definisikan ulang keinginan keinginan. Ajaklah logika untuk duduk dimeja perundingan dan biarkan hati dan logika menyampaikan argumenya masing masing. Tetaplah mengawal proses itu dengan kedewasaan sikap. Hati jangan dipaksa, dan logika jangan diracuni. Terkadang tidak ada salahnya mendengarkan logika berbicara karena tugasnya memang melindungi nurani dari beban rasa bersalah dan penyesalan.

Masa depan adalah miliaran pintu kemungkinan, dimana kita hanya punya hak satu saja untuk memasuki dan melewatinya. Pintu pintu itu akan otomatis terbuka oleh sikap yang kita tentukan hari ini. Bahkan terkadang kita harus melewati pintu yang tidak pernah kita perhitungkan samasekali sebelumnya. Pintu pintu itu lahir dari pilihan – sebab hidup hanya pilihan -, dengan pilihan pilihan yang sudah ditentukan olehNya. Menentukan pilihan berarti juga mengambil konskwensi resiko yang dkandungkanya.

Apabila sebuah keputusan yang dilematis itu belum benar benar terjadi, jika logika keras memperingatkan ada baiknya juga mendengarkan pelan pelan. Sekuat dan sebasar apapun hati menginginkan sebuah rencana indah terjadi, tidak akan mengurangi kualitas rasa sayang, apalagi mengurangi itikad baik untuk menempatkan orang tersayang ke posisi yang aman. Teori ini tentu murni produk logika, ketika hati sedang tak berdaya dengan mulut terlakban dan tangan terborgol. Kalaupun sebuah rencana indah tidak terjadi, kita harus bisa menerima itu dengan lapang dada dan menghormati dia sebagai pribadi yang kuat, yang belajar dari pengalaman masalalu. Kita tidak akan hancur, dunia tidak akan kiamat meskipun seandainya rencana besar itu tidak terlaksana. Barangkali hanya tertunda sampai hati dan logika bisa bersinergi untuk mengizinkan itu terjadi.

Apabila logika yang menang, rasa menyayangi mengedepankan semua keinginan untuk menempatkan orang tersayang pada posisi yang bebas resiko, bebas masalah, dan itu harus dengan kehati hatian yang sangat tinggi mengingat cinta tidak sepenuhnya real dan tidak sepenuhnya fake. Nilai dari keberadaan seseorang dalam kehidupan pribadi adalah anugerah yang selayaknya disyukuri, dan tidak ada alasan apapun untuk memaksakan keinginan, karena menyayangi, bukan untuk menyesatkan. Menyayangi mungkin justru akan menimbulkan efek hancur dan kecewa apabila kebersamaan berbuah kehancuran, berbuah penyesalan dan beban bersalah. Saat itulah, seorang pecinta akan menghukum diri sendiri karena telah menghancurkan hidup orang yang amat disayanginya.


Kost, 0115hrs - 151208


Thursday, December 08, 2005

Ketika Logika siuman dari pembiusan.


(kepada seorang istimewa, yang tengah dilanda peperangan)
Hari hari belakangan ini seperti hitungan mundur. Hajat besar dalam hidup yang amat pribadi itu mau tidak mau melibatkan segala unsur yang ada didalam alam bathin yang dikuasai dua kutub bertentangan; kubu tuan hati dan kubu tuan logika. Mereka adalah dua majikan yang mengendalikan emosi dan sikap. Dua duanya penguasa, hanya bergantian saja in charge dalam hidup. Tidak ada yang langgeng sebagai penguasa, terus bertentangan kadang dan saling kalah juga kadang saling menang.

Dua kubu itu memiliki pasukanya sendiri sendiri, andalanya sendiri sendiri, juga senjatanya sendiri sendiri. Kubu tuan hati memiliki pasukan bernama romantisme, kasih sayang dan ketenteraman dengan kehendak kebahagiaan sebagai senjatanya. Sedangkan kubu logika, memiliki pasukan bernama kepatutan, tenggang rasa, dan perhitungan matematis dengan pengalaman sebagai senjatanya. Keduanya sama sama hebat, sama sama kuat. Masing masing kubu ketika memenangkan pertempuran itu akan membawa dampak dan konskwensi yang berbeda beda. Manifestasi peperangan itu adalah munculnya perasaan ragu, bimbang, takut bahkan bingung.

Sudah jadi pengalaman bahwa mengikuti hati sepenuhnya dan membiarkan logika mati suri terlalu lama bisa berakibat fatal, bikin logika tak henti memaki dan memojokkan diri sendiri, menyalahkan tuan hati yang terlalu mengabaikan logika. Tetapi ada kalanya juga hati mendesis geram kepada logika yang terlalu penakut untuk menciptakan perbuatan seperti yang pernah disarankan hati. Penyesalan kerap datang dari hati karena logika yang terlalu bawel dan banyak berhitung, merintangi kemauan hati. Kontradiksi itu tercipta ketika nurani (baca: sifat baik manusia) menjadi ajang perebutan simpati antara hati dan logika.

Pada moment tertentu, dua kubupun bisa bekerja dalam harmoni, selaras saling mengisi dan melengkapi. Ialah ketika hal hal spontan terjadi, atau ketika kedua kubu memberi kontribusi seimbang dalam menentukan sikap. Idealnya begini; hati menginginkan sesuatu lalu logika setelah menghitung resiko dan menyimpulkan kemungkinan konskwensinya bisa ditolerir mengizinkan. Inilah yang disebut hidup harmoni, hidup suasana ideal. Kebahagiaan yang tidak berdampak pada beban moral oleh nurani, kalis dari kecemasan dan kekhawatiran macam macam.

Sayangnya hidup tidak selamanya berjalan ideal. Setiap masa punya catatan peristiwanya sendiri sendiri, dan setiap peristiwa terjadi karena keputusan yang diambil dan dibuat oleh hati maupun logika. Setiap peristiwa adalah konskwensi dari kemenangan hati maupun logika, dan sebenarnya itulah inti kehidupan setitik debu bernama manusia. Ya, hidup manusia sebenarnya hanya menjalani setiap keputusan yang pernah dibuat. Keyakinan yang terlalu kuat akan kebenaran tentang sesuatu terkadang terbukti salah apabila berakhir sebagai sesuatu yang dianggap kegagalan. Dan sebagai penghiburan diri sendiri, kegagalan itu disimpulkan sebagai kecelakaan, padahal kecelakaan selalu bisa diminimalisir atau dihindarkan jika memahami prinsip prinsip kejadian.

Hajat besar sang ego adalah juga perang besar ketika tuan logika mulai terusik dan siuman dari efek bius tuan hati yang bermain sekilit. Perang besar antara hati dan logika! Dimana mana, perang selalu melelahkan bahkan menyisakan kepedihan. Dua kubu punya kesempatan yang sama untuk menang juga untuk kalah.
Setelah perang usai, kita tinggal akan menjadi hamba sahaya dari siapapun yang memenangkan peperangan itu, entah hati entah logika, entah hina entah mulia…

Selepas hujan badai, kamar kost 7 Desember 2005, 2350.

Wednesday, December 07, 2005

Perbedaan yang melengkapkan


Beda, bisa diartikan sebagai satu keadaan yang tidak sama untuk membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lainya. Perbedaan bentuk maupun nuansa, yang bersifat materialistik maupun yang naïf. Perbedaan bisa diukur dari panca indera maupun dengan kepekaan sensor perasaan seetiap orang. Akan sangat mudah secara harfiah memandang perbedaan antara misalnya besi dan kayu, hitam dan putih dan sebagainya. Tetapi apakah semua orang bisa mendefiniskan perbedaan itu?

Dalam kemajemukan sosial yang semakin rumit dan kompleks perbedaanpun muncul dari segala lini. Sisi sisi perbedaan non fisik, non material seperti opini, pemikiran gagasan maupun sering kali dijadikan senjata untuk menentang maupun melawan perbedaan lainya. Orang makin kehilangan cara berfikir yang sederhana bahwa perbedaan memang ada sejak pertama bumi diciptakan dan Tuhan menciptakan perbedaan itu untuk saling melengkapi. Potongan potongan puzzle adalah penggambaran yang paling mudah dicerna otak manusia bahwa perbedaan itu justru adalah material untuk sebuah keselarasan. Untuk saling mengisi kekurangan masing masing komponen yang akhirnya menciptakan satu kesamaan dalam bentuk yang lain, yang lebih sempurna daripada ketika komponen itu berdiri sendiri sendiri. Contoh yang paling kongkrit dari teori ini adalah perbedaan mencolok antara laki laki dan perempuan. Dua perbedaan yang saling melengkapi, seperti dua potong puzzle yang click. Dan ketika dua hati perbedaan itu menemukan “click” nya, maka yang ada adalah penggabungan dua beda menjadi satu kesatuan dalam bentuk cinta. Rumah tangga adalah hal yang lazim menjadi manivestasi dari perbedaan itu.

Manusia, setiap individu juga memiliki kekhasanya sendiri sendiri yang menciptakan perbedaan perbedaan sesuai dengan karakter, cara berfikir, sikap dan lainya yang ditentukan oleh beribu ribu faktor. Cuma sayang, banyak orang menganggap perbedaan adalah ancaman. Perbedaan agama, status, suku, pendapat, bahkan ideologi sering didramatisir sebagai pangkal perpecahan, alasan saling menghancurkan. Orang seperti ini melihat perbedaan sebagai ancaman terhadap diri maupun kelompoknya, dan berkehendak bahwa semua orang dimuka bumi ini sama dan sepakat dengan apa yang ada pada dirinya.

Sebenarnya, perbedaan bisa dijadikan sesuatu yang indah selama kita bisa melihat dari angle yang tepat. Selama memiliki sifat yang sama, perbedaan selalu bisa melahirkan harmonisasi keadaan, bahkan menciptakan suatu pengalaman bathin yang diluar dari jangkauan dugaan. Perbedaan hanyalah cara kita mengartikulasikan sesuatu sesuai kemampuan penalaran kita. Menerima perbedaan sebagai warna yang mencerahkan kehidupan adalah sikap yang paling bijak tanpa tendensi untuk merubah perbedaan itu menjadi seperti diri kita.

Tuhan menciptakan perbedaan untuk saling melengkapi agar kehidupan berjalan selaras..
Kost, 6 Desember 2005

Tuesday, December 06, 2005

Balada seorang lelaki



Laki laki tua itu kini tinggal punya kenangan dan berjuta prasangka. Kakinya telanjang menjuntai diawang awang, jauh dari tanah bumi bernama kenyataan tempat dimana semestinya hidup dipijakkan. Melambung timbul tenggelam diantara bangkai kemewahan yang menobatkanya sebagai raja atas keinginan dan kesenangan hidup tanpa batas dimasa lalunya.

Dia kehilangan kebanggaanya sebagai laki laki, sebagai raja yang menciptakan tirani dengan kata katanya. Materi menjadi satu satunya nilai hidup, begitu miskin dengan penghargaan atas nilai kemanusaan bahkan tenggang rasa. Dalam kelumpuhann jiwa dan raganya, dia memberontak keadaannya sendiri yang tak boleh terjadi dan harus dia terima, yang tak menyempurnakan kesenanganya hingga ajal tiba. Dalam kealpaanya digugatnya zaman yang tak mau mengikuti kemauan individualnya. Kesulitan kehidupan sungguh menjadi monster yang menggerogoti kepribadianya, melupakan kodrat sebagai seorang manusia biasa yang menitiskan ruh dan raga kepada berpuluh puluh nyawa; anak anaknya.

Telinganya tuli, matanya buta, dan panca inderanya matirasa. Dia hanya tahu menjadi diri sendiri dan penguasa, tak peduli apa yang orang lain rasa. Hatinya gersang oleh cinta yang dimanifestasikan dalam pemenuhan hajat hidup yang sungguh kacau lagi bobrok tanpa format. Tanggung jawab adalah hal yang tak pernah dipelajari maupun dihayatinya. Seluruh penampilan fisiknya menterjemahkan status sosial yang bukan pakaianya; dia hidup di bangkai kemewahan masa mudanya, enggan kehilangan sesuatu yang bukan lagi menjadi miliknya. Dia petik hampir semua yang dikehendaki tanpa belajar menanam, menjadikan kesombongan sebagai kebanggaan, tak sadar dia telah kehilangan pengakuan.

Telah dihabiskanya seluruh energi dimasa muda untuk menghamburkan kesenangan manusiawi, tanpa menyisakan sedikitpun untuk masa tuanya. Dia menjadi manusia aneh dengan nilai manusia yang hampir nihil. Dunianya hayali bahkan tak ada Tuhan didalam sanubarinya. Diwariskanya kepada siapa saja yang bertalian darah dengannya sederet rongga kesengsaraan, berpuluh tahun terjalani dan akan bersambung berpuluh tahun lagi. Tak ada tauladan yang patut disimpan sebagai catatan sebagai seorang pelindung dan pembimbing atas nama kebijaksanaan. Patriark yang otoriter, feodal yang kolot dan sangat dangkal pemahaman tentang nurani.

Usia menunggu maut datang menjemput, dia mengharap kematian tak pernah ada. Dia hanya tinggal tahu, menindas orang orang yang mencintainya tanpa syarat, sebab hanya itu cara dia menjaga bangkai kemewahannya tetap terasa…




Jakarta, 5 Desember 2005

Monday, December 05, 2005

Jatuh Cinta


(catatan untuk teman yang sedang jatuh cinta)
Jatuh cinta adalah bunuh diri yang terindah. Ketika kita jatuh cinta, kita membiarkan ego dalam diri kita secara sangat individual mati sesaat, teracuni oleh gejolak hati. Jatuh cinta juga adalah puncak estetik dari nilai nilai hidup, dimana sang hati menjadi raja diraja penguasa yang memerintahkan seluruh syaraf rasa mengubah sudut pandang menjadi seni yang serba indah. Jatuh cinta mutlak menjadi urusan hati, dunia perasaan dan angan angan. Dan menurutkan hidup mengikuti hati, maka batasnya adalah nisbi belaka; dari ujung langit ke ujung lainya. Alias tidak ada. Nihil.

Jiwa manusia membawa dua unsur dunia, yaitu dunia hati dan dunia logika. Dunia hati mengurusi hal hal yang bersentuhan dengan perasaan dan emosi, sedangkan dunia logika berkepentingan dengan urusan urusan perhitungan matetis dan akal sehat. Dan ketika hati menjadi raja bagi jiwa ketika kita jatuh cinta, maka logika akan secara sadar dimati surikan atau mungkin diabaikan. Logika tidak bisa menalar dengan sistematis apa yang terjadi didunia hati, sedangkan hati menemukan egonya bahwa keindahan ketika jatuh cinta tidak ada sangkut pautanya sama logika. Logika yang memandang kelakuan hati akan mengusik usik bahkan memperingatkan untuk tetap dijalur logis, tetapi hati yang jatuh cinta biasanya hanya memandangnya sebagai anjuran yang tidak harus menjadi panutan.

Seperti semua hal didunia ini, bahwa tidak ada sesuatupun yang everlasting, maka jatuh cintapun sebenarnya adalah keadaan sesaat belaka. Ada masanya perasaan cinta yang menggebu lengkap dengan segala macam atributnya itu akan memudar bahkan padam. Tidak dipungkiri, jatuh cinta kepada seseorang dan mendapat sambutan seimbang adalah pengalama bathin yang luar biasa, tidak bisa akan lupa sekaligus pada saatnya ketika mabuk cinta sudah mereda, semua akan tampak wajar dan biasa saja. Jatuh cinta menghadirkan segala perasaan serba indah dan romantis bagi setiap individu. Hal hal sepele dan biasa bisa berubah menjadi dramatis. Sebagian orang menjalani kehidupan dengan dramatisasi emosi yang kental, dengan pemahaman bahwa segala yang disediakan oleh hidup adalah seni. Alam, manusia, perasaan, dan seluruh kehidupan memiliki nilai estetika yang tinggi. Jika orang seperti ini jatuh cinta, maka dunia angan anganya akan berubah menjadi segala sesuatu yang berhubungan dengan terjadinya keajaiban.

Jatuh cinta bagi orang luar yang tidak mengalaminya juga memiliki potensi distruktif, menghancurkan. Banyak orang menafsirkan jatuh cinta sebagai keinginan untuk bersama sama terus, berkomunikasi terus, bahkan sebagian orang menafsirkan sebagai kebebasan untuk bersebadan maupun berduaan dengan bebas dengan lawan jenis. Jatuh cinta seperti ini tentu memiliki kualitas yang rendah dan belum patut dinamakan jatuh cinta, kecuali ketertarikan akan lawan jenis; sexual needs fulfillment.

Jatuh cinta hakiki adalah seni komunikasi hati, dus tidak ada yang instant. Mungkin berawal dari rasa “click”, kemudian simpati, kemudian timbul perasaan perasaan halus yang membuai yang menimbulkan rasa peduli dan kerelaan untuk terlibat terhadap individu lain sekaligus memiliki dasar dasar rasa hormat dan tentu memuja. Jatuh cinta yang baik berisi hal hal yang saling menjaga tanpa mengekang.

Jatuh cinta adalah ketika diri membiarkan hati mengambil kendali, ketika logika mati suri, penghayatan terhadap setiap moment terjadinya komunikasi dua hati dengan cara apapun yang berujung pada satu kesimpulan; memuja rasa.


Minggu, 4 Desember 2005
Perenungan pada siang bolong dari kamar kost…

Sunday, November 27, 2005

Kontemplasi Perjalanan


Engkau hendak kemana?
Pergi, jauh menuju rumah teduhan hati. Menembus awan dan gerimis, melintasi lautan membunuh jarak yang membentang.
Atas kuasa apa?
Hati murni. Tuhan tak membuat aturan. Tapi manusia yang pintar menciptakan permainan nurani. Setiap hati punya parameter kelakuan dengan ukuran kekuatanya sendiri. Aturan peradaban diciptakan bagi nurani yang tak punya itu hati. Hanya hukum alamlah yang terbantahkan, aturan manusia selamanya adalah permainan diluar ruang hati.
Akan sampai kapan perjalananmu?
Sampai kucium tanah tujuan dimana bingkai jarak tak lagi berjejak. Sampai kutertidur diteduh rumah titipan hatiku.
Engkau ada dimana wahai hati?
In the middle of nowhere. Diatas air, ditengah udara dibawah langit dan awan gemawan tanpa matahari. Aku tengah menjelajah belantara kekosongan dimensia ruang, keluar dari kotak kubus kehiudupan logika. Tak ada masalalu, dan masa depan kecuali angan angan sepanjang jalan.
Letihkah engkau?
Hanya indah. Dan nikotin yang tak lagi mengalir di darah sejak kemarin pagi.
Lalu apa yang engkau lakukan itu?
Kontemplasi. Menjadi gila yang paling sempurna diplanet bumi.

Diatas KM Kambuna I – ditengah perairan selat sunda 26 November 2005,

Friday, November 25, 2005

Matinya Doktor Azahari


Salut dan angkat jempol untuk kerja Polisi dengan detasemen 88 antiterornya yang akhirnya berhasil menemukan persembunyian orang nomor satu yang dicari cari karena disangka sebagai begawan perakit bom handal yang dipakai buat membunuh secara acak dan massal sejak tahun 2000an. Doktor Azahari Husin, mati dengan tiga lubang ditubuhnya ditembusi peluru, hancur oleh bom yang dirakit dan dipasang ditubuhnya sendiri pada satu penggerebekan mirip adegan film Hollywood pada 9 November lalu di sebuah rumah sewaan di Songgoriti yang sejuk di Batu Malang. Profesionalisme institusi polisi Indonesia patut dihargai, minimal dengan angkat kedua ibu jari buat mereka. Good job!

Doktor Azahari lelaki kelahiran Jasin, Malaka Malaysia yang berumur 45 tahun itu pun jadi mayat tanpa sempat membela diri. Dia seorang lelaki cerdas dan berpendidikan tinggi yang meraih gelar doktor bidang statistika dengan predikat cum laude di Reading University London. Menurut infomasi intelijen Azahari mulai bergabung dengan islam radikal yang menginduk ke Al Qaeda setelah mengikuti latihan bersama ribuan mujahiddin lainya di Afganistan. Pendidikan itu rupanya merubah pula pandangan hidupnya tentang perjuangan melawan kebathilan dimuka bumi. Sayang sekali, pemahaman itu terlalu ekstrim dan egois, sekaligus impulsive. Menganggap diri adalah martir utusan Tuhan yang punya lisensi untuk membunuh dan akan dapat pass card gratis ke surga apabila terbunuh. Pemahaman itulah yang lantas membubuhkan gelar baru baginya sebagai “The demolition man” alias sang pengancur, gembong teroris.

Sebagai mahluk sosial Azahari dikaruniai kehiudupan dunia yang baik, dengan istrinya Wan Noraini Jusoh dan kedua anaknya Aisyah 7 tahun dan Zaid Abil 5 tahun, pekerjaan yang baik sebagai dosen di Universitas Teknologi Malaysia Sayang itupun kurang disyukurinya. Sebagian analisa menyimpulkan Azahari menjadi keblinger dengan konsep jihad dan menobatkan diri sebagai syuhada adalah sebagai pelarian atas kekecewaanya terhadap kehidupan, dimana istrinya menderita kanker tenggorokan sejak setelah kelahiran anak keduanya pada 2001. Bisa jadi memang ada kontribusi yang membentuk kelakuanya, tetapi mungkin lebih sederhana kalau simpatinya terhadap perjuangan Islam diartikulasikan sebagai perang salib era baru, yang jelas sudah bukan pada zamanya untuk diterapkan. Makna ketuhanan disikapinya sebagai pemahaman horizontal, mematikan hukum dasar ‘habluminallah wal habluminanaas” (berbakti kepada Tuhan dan menjaga hati kepada sesama).

Azahari melupakan kodratnya sebagai manusia, sebagai lelaki yang sudah mengambil keputusan untuk bertanggung jawab kepada dua orang manusia yang atas prakarsa dan kesengajaanya menjadi penghuni dunia, tanggung jawab sebagai ayah dan suami, kepala rumah tangga serta panutan bagi keluarganya. Keputusanya untuk menjadi pembunuh dan meninggalkan tanggung jawab sebagai kepala keluarga adalah sikap pengecut paling kentara. Islam mengajarkan untuk mencintai kehidupan, dan kehidupan yang paling nyata adalah kehidupan keluarga sendiri, kehidupan anak anak kita. Bagaiman membesarkan dan mendidik mereka, memberikan irah irah bagaimana hidup dalam harmoni didunia dengan menggandeng ajaran suci Tuhan didalam jiwa.

Ternyata, kecerdasan dan pendidikan tinggi bukanlah jaminan untuk menjadikan seseorang menjadi manusia berakhlak mulia. Doktor Azahari, meskipun mungkin menjadi legenda bagi sebagian orang berotak tengik, tetaplah seorang pembunuh keji tanpa hati manusia. Otaknya terpelintir oleh teori akidah dengan landasan kesombongan egonya sendiri, dan terjerumus kedalam pengertian yang sangat dangkal, sangat bodoh tentang sebuah ajaran agama.

Tetapi Azahari tetap manusia biasa ucapan ‘Innalillahi wainailaihi roji’un’ atas kematianya, juga doa selamat bagi keluarga yang ditinggalkanya. Sangat disesalkan dia mengingkari tanggung jawabnya sebagai seorang manusia, sebagai kepala rumah tangga, gantungan hidup tiga nyawa anggota keluarganya. Dimana letak tanggung jawab kepada Tuhan apabila tanggung jawabnya kepada sesamapun tak dihiraukanya?

Kadang kadang kecerdasan dan pendidikan tinggi membuat orang menjadi terlalu bodoh!


Kost Simatupang, 24 November 2005

Thursday, November 24, 2005

Tempat Kencing


(Endapan dari percakapan didalam limousine sepanjang Nagoya – Bandara)

Sejak Kapolri Jendral Sutanto mengeluarkan kebijakan tegas, melarang perjudian ditanah air sekitar lima bulan lalu, tempat kencing itu jadi susut pengencing, menjadi sepi. Glamour Batam sebagai tempat kencing yang mewah dan menyediakan segala equipment perkencingan menjadi sepi, menjadi merana. Para penjudi dari Singapura tak lagi datang dan menghamburkan dollarnya di sini, juga penjudi domestik tak lagi datang untuk mengadu untung dan bersenang senang lagi. Kasino gulung tikar, maka dampak ekonominya mengimbas kebanyak sisi, dari tukang jual liquor, tukang jual rokok, tukang ojek, tukang taksi, pelayan hotel, sampai ke perempuan yang mengkomoditikan tubuhnya menjadi equipment pelengkap para pengencing.

Pada tahun 1971, dengan keputusan Presiden No. 74 / 1971, Pemerintah pusat mengumumkan secara resmi bahwa pulau Batam sebagai suatu zona industri. Konsep dari pulau kecil bernama Batam yang dikembangkan oleh BJ Habibie sejak 1983 dengan sistem Otorita pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) atau lebih dikenal dengan Otorita Batam-nya adalah sebuah kawasan industri dan zona perdagangan bebas, yang dalam bahasa sederhananya menciptakan sebuah metropolitan yang terlokalisir. Gagasan itu mengandung harapan bahwa Batam akan menjadi pintu gerbang ekonomi global ke Indonesia. Walhasil, Batam menjadi spill out industri dan barang bekas dari Singapura yang kekurangan daratan itu.
“Tapi Batam ini kota yang belum siap mas, infrastrukturnya masih awut awutan. Lihat saja bangunan yang ada hanya ruko dan ruko semata” kata Hasyim yang mengantarku. Konsep itu berjalan mulus sampai nama Batam menjadi mencuat, karena perdaganganya, industrinya, pelabuhanya, dan black marketnya. Tetapi sudah jadi adat negeri bahwa ganti pimpinan sama dengan pintu gerbang menganga untuk mengganti kebijakan.

Tempat kencing itu begitu semrawutnya dalam konsep yang hampir ngoyoworo . Dalam pemandanganku, Batam adalah a piece of Singapore – meskipun aku sendiri belum pernah melihat Singapura itu seperti apa. Pulau batam hanya dipisahkan perairan seluas 20km arah tenggara dengan daratan Singapura. Mobil mobil mewah berseliweran sepanjang jalan dan sepanjang hari, mobil secondhand yang diimpor dari Singapura tanpa beban pajak bea masuk. Mobil mobil itu kabarnya diperjual belikan dengan harga pantas di Batam, dan ditandai dengan letter X anu dibelakang plat nomornya untuk membedakan bahwa mobil itu bebas bea dan dilarang keluar dari pulau Batam. Dipelataran kantor pelayanan bea dan cukai dekat pelabuhan barang Batu Ampar, ratusan mobil sedan mewah berjajar parkir sampai karatan karena penyelundupan, impor gelap. Lumayanlah, paling tidak Batam memiliki stok cukup untuk besi tua.

Pulau seluas 415 Km2 (41.500 Ha) .itu juga menjadi surga bagi barang barang secondhand dari Singapura. Dari hand phone yang dipajang di mal mal, televisi dan elektronik sepanjang jalan di Nagoya, furniture sampai pakaian yang berderet di Tanjung Singkuang, dari kulkas, mesin cuci sampai kasur dan sepatu semua tersedia, semuanya seken dan masih menyisakan kebanggaan bagi pemiliknya karena buatan luar negeri.

Sebagai tempat kencing, Batam juga menyisakan bau busuk dari kapitalisme. Kawasan Batam Center, Nagoya, dan Muka Kuning menjadi urat nadi penting bagi kehidupannya. Bau busuk itu berupa “peluang” untuk menempatkan kepentingan pribadi pada porsi yang strategis. Jangan berharap akan menemukan taksi dengan argo, karena dealnya adalah tawar menawar dari luar pintu seperti kalau kita ingin naik bajaj di Jakarta. Bahkan, sebagian taksi memberlakukan sistem yang sama dengan angkutan kota dimana penumpang tidak terbatas hanya kita. Armada taksi yang resmipun wujudnya lebih banyak yang reot dan buruk. Tetapi dibalik itu kita bisa mendapatkan sistem transportasi alternatif seperti ojek yang bisa kita jumpai hampir disetiap persimpangan jalan, atau taksi gelap mobil mewah berplat nomor hitam. Semua menciptakan peluang untuk melakukan hal sesuai ketrampilan dan pengalaman, ketrampilan untuk memperdaya orang baru, pengalaman untuk memanfaatkan ketidak tahuan orang lain demi keuntungan materi pribadi. Hal umum dimuka bumi!

Tanah tanah kekuningan yang kosong menganga sepanjang Punggur sampai ke Kabil dan daerah daerah lainya menimbulkan tanda tanya besar dikepala tentang sistem tatakota pulau ini. Dari penduduk yang berjumlah 527.151 (data tahun 2001) jiwa tersebar di delapan kecamatan, 35 kelurahan dan 16 desa. Hanya penyebarannya tidak merata sehingga mengakibatkan kepadatan penduduk per Km2 di daerah ini bervariasi. Orang lebih suka berjejal jejal tinggal di flat atau semacam rumah susun ditengah kota dan membiarkan berpuluh hektar tanah hanya menjadi penangkis curah hujan dan panas matahari. Roda ekonomi berbagai aspek yang digenjot otorita batam memang menjadi gula bagi semut semut yang datang mencari makan, mencari kenyang dari pulau pulau lain di nusantara. Semua datang dengan tujuan hampir sama dikepala; mencari uang, menciptakan kehidupan. Dalam praktiknya, interaksi menciptakan banyak sekali ekses sosial yang terkadang rumit. Ternyata tidak semua datang dengan tujuan sama. Orang Singapura datang untuk numpang kencing, hepi hepi, dan bagi beberapa perempuan yang jeli melihat peluang bisnis memanfaatkan moment itu sebagai peluang untuk menyalahgunakan kodrat keperempuananya; menyediakan diri sebagai tempat kencing orang Singapura.


Hang Nadim Airport – 23 November 2005

Wednesday, November 23, 2005

Catatan dari Bukit Senyum


Apa yang dikatakan hati ketika diri tiba tiba terasa –untuk sekian kali- terlempar dan terdampar jauh di negeri asing? Entahlah, kesombongan yang bertahun tahun menjadi senjata lesap ditelan keterasingan, menjadi bukan apa apa. Apakah sebenarnya kesombongan yang sedang bicara atas diri jika kekosonganlah sebenarnya yang mengisi angkasa jiwa?

Tempat baru dengan kemisterianya selalu saja menyajikan selain pertanyaan juga ketidak mengertian baru tentang sesuatu, mungkin memperkaya pemahaman atau malah membangkrutkan pendalaman tentang maknanya hidup. Dari tepi jalan yang meliuk di Bukit Senyum ketika pandangan tertebar sejauh kemampuan, diri menjadi setitik air yang tersesat diselat Malaka. Dari ketinggian dan kejauhan diri menemukan betapa dalamnya menduka, sedalam mencinta.
Lalu datang Tuhan menemani hati, ketika pertanyaan demi pertanyaan hanya menumpuk menjadi rombeng di gudang kepala. Hukum Tuhan, hukum alam dan hukum peradaban berpilin pilin menjadi adonan kue kehidupan. Kelahiran dan kematian tak lagi menjadi penting selain pelengkap data statistik ilustrasi kependudukan. Dia bekerja dengan sangat rahasianya, menciptakan setan setan dan pembela pembelaanya, menciptakan malaikat dan malaikat dengan berbagai penjelmaanya. Dia bekali manusia dengan akal, nurani dan hati dan pada saat yang sama menciptakan segala peraturan yang ambigius…lihat, tapi jangan sentuh, sentuh, tapi jangan rasa, rasa tapi jangan dihayati, hayati tapi jangan hanyut, hanyutlah dengan kata hati, tapi tetaplah pergunakan otak sebagai senjata penegas dan perisai pelindung…kunyah…tapi jangan ditelan… Tuhan memang bekerja dengan misterius, sementara Dia ciptakan hati untuk merasa, otak untuk mencipta logika, dan pada saat yang sama Dia juga menciptakan aturan aturan yang tak terbantahkan; keadaan, dimensi waktu dan ruang.

Catatan empiris dari Bukit Senyum mencari kompromi dari pemandangan demi pemandangan yang sempat menyinggahi mata, sempat menyinggahi hati. Kota ini, begitu miskin dalam kekayaanya, begitu semrawut dalam keteraturanya. Kota ini, secuil negeri asing dalam kehidupanku sendiri, surga bagi siapa saja yang jadi penguasa. Mungkin semuanyapun akan kembali menjadi semu ketika nanti, kesombongan telah diakui sebagai anak rohani dari setan setan yang menggerakkan roda dunia meninggalkan peradaban purba, peradaban paling manusiawi milik manusia.

Dan aku tersesat entah dimana, menunggu jawaban dikirim Tuhan dari langitNya….Sementara, kubiarkan keindahan yang memabukkan perih menjajah jiwa…


Batam 22 November 2005

Monday, November 21, 2005

To reflect and Act


The difference between the poor countries and the rich ones is not the age of the country. This can be shown by countries like India and Egypt, that are more than 2000 years old and poor. On the other hand, Canada, Australia & New Zealand, that 150 years ago were inexpressive, today are developed countries and are rich.

The difference between poor & rich countries does not reside in the available natural resources. Japan has a limited territory, 80% mountainous, inadequate for agriculture & cattle raising, but it is the second world economy. The country is like an immense floating factory, importing raw materials from the whole world and exporting manufactured products. Another example is Switzerland, which does not plant cocoa but has the best chocolate in the world. In its little territory they raise animals andplant the soil during 4 months per year. Not enough, they produce dairy products of the best quality. It is a small country that transmits an image of security, order & labor, which made it the world's strong safe.

Executives from rich countries who communicate with their counterparts in poor countries show that there is no significant intellectual difference. Race or skin color are also not important: immigrants labeled lazy in their countries of origin are the productive power in rich European countries.

What is the difference then?
The difference is the attitude of the people, framed along the years by the education & the culture.On analyzing the behavior of the people in rich & developed countries, we find that the great majority follow the following principles in their lives:
1.Ethics, as a basic principle
2.Integrity
3.Responsibility
4.Respect to the laws & rules
5.Respect to the rights of other citizens
6.Work loving
7.Strive for saving & investment
8.Will of super action
9.Punctuality

In poor countries, only a minority follow these basic principles in their daily life.
We are not poor because we lack natural resources or because nature was cruel to us.We are poor because we lack attitude. We lack the will to comply with and teach these functional principles of rich & developed societies.
If you do not forward this message nothing will happen to you. Your pet will not die, you will not be fired, you will not have bad luck for seven years and also you will not get sick. If you love your country, let this message circulate, for a major quantity of people could reflect about this.

CHANGE , ACT !

Thursday, November 17, 2005

Waton Suloyo (as long as disagree)


“Orang Indonesia memang berbakat menjadi kritikus” celetuk pak Keith Loveard, seorang wartawan senior koresponden majalah asing yang sudah di Indonesia sejak 1962, pada suatu siang diruangan kerjaku yang tenang. “It is so easy to say ‘everything is not good enough’”. Aku merenung dalam. Aku orang Indonesia dengan nenek moyang orang Indonesia. Tetapi pemikiranku yang tumpul justru disentakkan oleh pandangan analitikal dari seorang yang neneknya moyangnya entah dibelahan bumi mana.

Gotong royong, sekarang tak lagi kudengar gaungnya. Diganti dengan budaya baru. Semua hal sudah ada petugasnya, sudah ada pegawainya. Bahkan petugas pembersih jalanan, petugas pembersih selokan, bahkan semua ruang publik telah memiliki petugasnya sendiri sendiri. Petugas petugas ini diorganisir oleh instansi instansi bisa swasta bisa negeri, atau sub kontraktor subkontraktor. Orang jadi kehilangan sense of belonging, roso handarbeni, hangrungkebi, hangroso wani. Cuek, toh sudah ada petugas yang mengurusnya.

Orang jadi mudah mengkritik ‘ini tidak benar, itu salah, si anu tidak becus', dan bermacam kritik negatif yang senada. Bahkan sampai kepada elemen sosial terbawah yaitu tingkat RT sekalipun, orang akan memandang pak RT sebagai petugas yang bertanggung jawab atas semua hal dilingkungannya, dan dengan mudah melontarkan kritik distruktif. Melihat sampah menggunung atau jalan bopeng bopeng dilingkungan, orang akan lebih mudah meng-komplain bahwa pengelola kebersihan atau pengelola jalan bahkan pelaku pemerintahan tidak becus, tidak professional ketimbang berupaya melakukan sesuatu hal untuk membereskanya, misalnya inisiatif gotong royong.

Dalam istilah intelijen, type orang orang seperti itu apalagi yang punya akses ke media massa dan rajin melontarkan kritik seperti itu diistilahkan sebagai WTS, bukan wanita tuna susila melainkan si Waton Suloyo; dimana setiap kebijakan maupun keputusan disikapi dengan kritik negatif dan sinis pesimistik. Kesukaanya hanya komplain dan komplain, kemudian atas fasilitas media komplain itu menjadi konsumsi public yang akhirnya membentuk opini. Kesukaan itu jadi membudaya dan mengakar sampai ketingkat rakyat jelata. Mungkinkah ini karena efek laten dari kebebasan pers? Wah, kok aku jadi ikutan latah jadi WTS? Karena salah satu sifat WTS ini adalah dengan enteng menunjuk orang lain atau lembaga lain sebagai kambing hitam.

Setelah tujuh tahun reformasi, apakah negeri kita ini akan terus melangkah ‘mundur’?. Kalau kita menengok sedikit ke China yang mengambil start pada era yang hampir sama yaitu 1998 ketika Uni Soviet membubarkan diri sebagai negara Union, China merasa tertantang untuk membangun diri dengan perombakan total (yang di Indonesia dinamakan reformasi), mulai dari kebijakan pemerintahan, ekonomi, penegakan hukum, politik, yang pada giliranya ikut merubah juga tatanan sosial dan budaya. Reformasi di China memberlakukan sistim yang ketat dan samarata, dan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara negara. Hasilnya, China dalam tempo tujuh tahun telah berhasil mencatat prestasi gilang gemilang hampir disegala bidang. Pada saat yang sama kita masih berkutat dengan ketidak percayaan dan kebanggaan menjadi WTS. Reformasi diartikulasikan sebagai sebuah gerakan ganti suasana, dengan ribuan konsep yang selalu di aborsi sebalum sempat teruji. Zaman serba instant, demikian juga orang ingin menganggap reformasi adalah salah satu produk jadi dengan hasil instant.

Memang tidak semua tokoh, tidak semua orang lantas menjadi WTS. Akan tetapi kecenderungan untuk asal mencela itu mau tidak mau membentuk prinsip pemikiran subyektif bagi banyak orang terutama yang tidak merasa puas dengan keadaan, apalagi yang kecewa. Yang akan terjadi adalah reformasi demi reformasi, konsep demi konsep dengan Indonesia sebagai kelinci percobaanya. Stop waton suloyo (asal mencela), cancut taliwondo, kencangkan ikat pinggang. Konsep dari masyarakat madani bukan semata kebebasan meng-komplain dan mengkritik, tetapi tanggung jawab nurani dari semua penghuni negeri untuk mencapai kemajuan disegala bidang. Aturan dan undang undang dibuat sebagai cermin penegas disiplin nurani, bahwa kita menuju kehilangan budaya malu.
Bukankah itu akan lebih memalukan jika terjadi?


Kost simatupang, 16 November 2005.

Wednesday, November 16, 2005

Surat Untuk Bunda


Bunda,
Apa kabarmu nun jauh disana? Aku rindu senyumanmu yang meredupkan bara, aku rindu pada tatapanmu yang mendamaikan seisi dunia, aku rindu pada belaianmu yang melenyapkan lara, dan suaramu yang syahdu merayu kalbu. Aku rindu keseluruhan keberadaanmu, bunda.

Bunda sayang,
Telah kutempuh jarak dan kejadian sepanjang pengalaman, melewati hutan, gunung dan samudera bahkan menjelajah angkasa sendirian. Telah kupijakkan kaki di bumi bumi impian kuhirup udara dari negeri negeri yang jauh, melangkahkan kakiku ditanah tanah basah maupun keras berdebu yang dulu hanya kita kenal dalam dongeng buku perpustakaan. Berbekal pelampung cintamu, kuarungi samudera hidup, mengikuti kemanapun arus menuntun dan mengayun.

Bunda,
Aku tak pernah letih, aku tak pernah sedih, menjadikan matahari dan embun sebagai teman hati, menjalani hidup dengan ringan tanpa beban penyesalan masalalu. Ribuan hati telah kusinggahi, bunda, dan ribuan jiwa kukenali. Terkadang aku bertemu manusia, iblis juga, tetapi Tuhanlah yang selalu setia menemani. Hari hariku berisi tawa dan senyuman, sebab cinta dalam jiwaku meluber kemana mana.

Bunda,
Anakmu kini menjadi naga yang menumpas badai dan angin lesus didalam kepala. Telah pula aku selesaikan episode demi episode getir dan tetap mengangkat kepala tegak tanpa sandaran. Berdiri lebih tinggi setelah menempuh lebih jauh. Kularung selruh dukaku kekuburan bernisan masalalu. Aku menjadi matahri yang lahir bayi setiap pagi, bangga menjadi anakmu.

Bunda,
Lewat angin yang berhembus melewati bukit dan gegunungan sepanjang jalan, kutitip sembah sujud baktiku padamu, kutitipkan segudang rindu yang menjadi belati tajam disetiap perkelahianku, menumpas getir zaman yang kukalahkan.

Oh Bunda,
Anakmu kini jadi laki laki…


Kost Simatupang, 15 November 2005

Sunday, November 13, 2005

Back Azimuth



(Catatan perjalanan menyusuri jejak keberangkatan)

0246hrs/65km
Dilangit penuh bintang, aku sendirian sepanjang jalan. Tak ada masalalu juga masadepan. Betapa sempurnanya hidup dalam angan angan. Menembus embun membelah gelap aku melaju, menuju tempatku memeluk angkasa; rumah jiwaku yang menenteramkan. Dingin menyapa tulang dan duka meraba hati. Kutinggalkan kenangan hampa tenggelam dalam pekat malam.

0520hrs/212km
Fajar tiba di Cepiring. Kajaiban pagi kunikmati dihamparan jagung muda sawah tepi jembatan kecil. Matahari malu malu dikepungan gunung slamet, merbabu, merapi dan sindoro, dikawal oleh kabut yang menyelimuti bukit bukit sepanjang pemandangan. There is no appropriate word to express how beautiful it is, or because you live inside of me and make it so perfectly adorable, dragon’s soul mate?

0635hrs/271km
Soto ayam dan teh manis Pekalongan sedikit mengendurkan syaraf yang mulai menegang kencang. Hari baru telah mulai, kehidupan terang benderang telah berjalan. Kerumunan orang menempatkan diriku dipojokan warung, ditepi jalan tempat lalulalang riuh menarik Jakarta ke hadapan.

0949hrs/374
Bengkel motor resmi Brebes kuketuk. Steering sepeda motorku mendekati gerakan pantat Inul pada kecepatan 90km/h. Tolong di diperbaiki, nanti pasti saya bayar. Tidak ada yang salah, coba stel velg racingnya nanti kalau di Jakarta. Asal jalan pelan pelan, dan jangan rem mendadak. Pfuuiiih…apa guna bengkel kalau hanya bisa mengkotbah? Apa guna ketrampilan mekanik kalau tidak bisa menemukan solusi permasalahan berdasarkan dari apa yang dipelajari dan digeluti? Dimana orang orang ini menempatkan profesionalisme ketika pelayanan dibutuhkan? Pelayanan yang tidak gratis pula! Apa makna “AUTHORIZED BLABLABLA BLABLABLA SERVICE STATION” dan adakah kriteria yang menentukan sertifikasi dari label nama keren itu?? Jawabanya membias dalam kekesalan yang kupendam jadi peneman sepanjang jalan, dibawah terik matahari yang membakar seluruh isi bumi!

1244hrs/434km
Otak jadi touchy tiba tiba. Something sad, knocking on my head. Lihat satu keluarga kembali dari mudik dengan motor. Membayangkan betapa letihnya para penumpang motor bebek itu, wanita sebagai si ibu dan bocah kuyu sebagai anak, dan pengemdinya lelaki sebagai bapak, dan barang bawaan dijok belakang yang disambung bambu penyangga, boneka Dora the explorer menempel diantara luggage. Diseberang kantor polsek Susukan Cirebon, dibawah miskin rindang pohon lamtoro aku terlentang dikurung langit gilang gemilang. Bersama letih, bersama kenang kenangan yang datang dan pergi, bersama bangkai kucing yang tertabrak dan mengeras ditepi jalan. Bersama the dragon’s soul mate yang menemani percakapan sepanjang jalan, memenuhi ruangan hati.

1447hrs/491km
Sore akan segera tiba, panas masih juga meraja. Di Indramayu kunikmati kelapa muda yang tak manis tanpa es, dan rokok berbatang batang melewati kerongkongan. Kesedihan merajai hati. Anak dekil sepuluhan tahunan mengikut bapaknya berjualan siomay pikul, sepanjang jalan dibawah terik matahari tepi pantai yang mencipta hawa bagai oven terbuka. Anak anak, selalu menjadi gedibal (korban yang diperbudak) tak perlu dari kerasnya hukum material; kemiskinan. Betapa malang! Selembar uang yang kuberikan kepada anak itu tak juga menepis penderitaan bathinku karena simpati. Selamanya charity tak bisa menjawab satu persoalan secara komprehensif memang. Dengan permaisuri sang naga kubagi sedihku, kubiarkan hatiku luluh lantak ditikam pemandangan dan perasaanku…langakahku melambat menuju angkasa yang kutuju…


1752/648km
Curtain of the sky descended few minutes ago. The busy town of Karawang has welcomed me along with the bumpy road all the way down to the town where I wish I never pass it for my entire life. I lost in this stupid, messy, ignorant town. Drowned by anger and millions of bad memories I lost my destination path to go thru. I am looking for a fight with an army looking man who drives his motorcycle like an intoxicated insane human being. I hate this town and everyone lived in it!!

1928hrs/670km
Kulonuwun…. my heavens home sweet home! Finally! And my middle aged “fat mermaid” hostess addresses me with four pieces of cake and a glass of almost clear colored hot tea. I am home, my dragon’s soul mate, to the place we built with thoughts, dreams and hopes, colored with passion and longing touch, up high beyond the ground of reality where I sense like I deserve for happiness of my deepest heart. I can feel your kiss thru the breeze eased my entire weary mind, and take me to the deep sleep. Barely naked!!


Baturetno – Jakarta November 08, 2005

Thursday, November 10, 2005

Renungan Lebaran 2005



Malam lebaran, kutembus desa desa dalam perjalananku. Tak ada kemeriahan kutemukan. Aku kehilangan masa kecilku yang riang penuh kegembiraan. Orang orang, berpasang pasangan berkumpul diwarung warung atau tempat tempat berlampu listrik terang. Takbir tak riuh berkumandang, hanya suara samar dari loudspeaker masjid, mungkin suara tape. Kampung jadi sepi, euphoria menyambut datangnya hari lebaran yang selama berpuluh tahun bersarang didalam kepalaku lenyap entah kemana. Semua berjalan biasa saja, seperti besok adalah hari biasa saja. Kampungku sepi, suara anak anak dengan oncor yang berbaris atau bergerombol mengumandangkan takbir keliling kampung (seperti waktu aku kecil dengan semangat baja melakukannya) tak ada lagi. Jalan jalan tanah yang dulu jadi rute tempuhanku sudah beraspal, listrik dari lampu merkuri 300watt terang benderang menerangi prapatan, episentrum kehidupan kampungku. Dibawahnya anak anak muda bergerombol, menyambut lebaran dengan alcohol dan ganja!!!

Kulewati kota dimalam takbiran dalam perjalananku. Mobil mobil bak terbuka, mengangkut puluhan manusia. Berpeci, sebagian bersarung. Ada wanita, anak anak dan laki laki. Corong loudspeaker diatas kabin mengumandangkan takbir dengan iringan musik dari tape recorder. Mulut mulut diatas mobil rapat terkatup, takjub pada pemandangan lampu lampu kota dan kemeriahanya diwaktu malam. Beriring iringan mobil dengan sarat penumpangnya, entah dari mana, entah mau kemana. Aku hanya ingin lewat, melaju menuju tempat yang kutuju. Dan…dusun dusun makin sunyi, seperti besok tak ada sesuatu terjadi.

Allahuakbar…allahuakbar…wallilahilhamd……Takbir menggema dalam hati, bersama sunyi dan kecut hati…mengiring penat perjalanan 687 kilometer diatas sepeda motorku. Bathin menangisi kemeriahan masakecilku yang lesap ditelan arus tehnologi. Pohon pohon bambu apus pemasok lampu oncor tak gampang lagi ditemukan, tak banyak lagi diperlukan.Anak anak kehilangan dunianya terganti dengan tontonan televisi, kehilangan inisiatif apalagi kreatifitas. Menjauh dari alam, menjauh dari kehidupan mula mula, menjadi generasi munafik penuh kepraktisan. Melanjutkan catatan zaman dengan kepribadian plastik, hati elektronik, dan mental karbitan.

Dan lebaran tiba ketika matahari muncul diangkasa. Masjid ramai orang sholat Ied, dengan baju baju baru dan kendaraan berjejer bagai pajangan dagangan di pasar loak. Usai sholat pulang, bersalam salaman dengan hati dangkal belaka. Minal aidzin wal faidzin, selamat idul fitri mohon maaf lahir bathin. Kemana anak anak? Tak ada bergerombol datang untuk “balal”. Tak ada orang kerja, setiap rumah televisi menyala. Disanalah anak anak lebih nyaman menikmati lebaran. Kegembiraanya terkurung oleh pencipataan kreasi yang kerdil. Tontonan tivi lebih menemani, dan ‘balal’ hanya dilakukan kepada orang orang tua yang datang kerumah. Tak perlu uang saku, apalagi kompilasi kue kue. Baju barupun biasa, bisa beli kapan saja. Kegembiraan bisa didapat kapan saja. Lebaran hanya hari libur biasa saja!


Greget masakecil tak kunjung tiba. Baju baru dan uang saku, kompilasi kue kue dari rumah kerumah tetangga. Hari bahagia sedunia, hari dimana aku menjadi raja. Mercon dan kembang api bersahutan meninmpahi kegembiraan hati. Tak ada orang bekerja. Semua orang baik hati dan dermawan, sepanjang jalan orang berjualan; cao, es cendol, pecel, bakwan, mentho, sampai bakso atau apapun yang kita mau. Perut penuh, hati riang, uang saku tersedia dan jajan terlaksana dengan baju baru, sandal baru, kopiah baru juga celana baru. Tak ada tugas rumah, tak ada kewajiban sekolah, tak ada orang marah marah. Semua orang tersenyum dan tertawa. Semua pintu rumah terbuka pertanda kita diundangnya; menikmati hidangan sesudah pura pura meminta maaf. Hari bahagia, tak ada letih menyapa sampai senja. Orang orang perantau dari kota berdatangan pulang, berpakaian kekaguman, dan beraroma ketakjuban. Betapa hebatnya menjadi orang kota! Cerita tentang negeri negeri perantauan dan tempat tempat diantah berantah ribuan mil dari jangkauan fikiran, serba menggiurkan. Aku ingin berpakaian kekeaguman dan beraroma ketakjuban; menjadi yang paling sempurna!

Lebaran 2005, hati kecut mengangisi kenangan yang hilang ditelan zaman. Tinggal ritual imitasi dan tipis makna. Aku rindu masakecilku yang hilang…

Jakarta-Boyolali-Baturetno, 3-4 November 2005.

Friday, November 04, 2005

Zero mileage notes


2251hrs/okm
As ther second day of the new month arises by the sun this morning, my trip to the beloved homeland has just begin. Fresh cloths run ready “leaking gasoline tank” motorcycle, safety motorist gear. Whallla!! The first inch of my hundreds kilos journey is ready to begin. Brushing the cold atmosphere of the morning dew, my mind warmed with thousands of reflection of the destination. I have everything to go except your physical presence on my passenger seat…my dragon's soul mate....

0124hrs / 127 km
First stop after 243 minutes trip. Somewhere, on the main road’s side of Indramayu. The sky is so dark, nothing visible. The street is very busy as everybody rushing on their hurry trip to the same destination; homeland! The floor of closed grocery store is so cold, where I lay down may body freely. My mind can not stop thinking about you. This is a beautiful night and I belong to nothing but the nighty sky; no room, no home. The picture of your caring fragmented on my busy thoughts along the road. Are you sleeping up there? Are you dreaming of me in this affectionately quiet night?
I have to go again now, kill the distance on my wheels. Sleep tight, sweet dream hey my dragon’s soul mate…

0313hrs/150km
The other edge of Indramayu border. Stop by for mid-dawn meal for fasting. Ambushed with tired, the rain drops blurring my helmet wind shields. At the warung tegal next to the mosque, I order rice and fish. The fat lady dish up my meal without smile. Old tv set on the corner, present a blur picture of cheap formatted stupid joke show. Kratingdaeng mixed with dry coffee powder is my stamina doping this morning. The picture of my dragon’s soul mate is filling every rooms of my heart, conversing everything that matter to every single breath circulate into my lung.
0346 got to go again. Makan sahur has just finished, and my helmet windshield is clear.

0435hrs/190km
Lohbener busy mosque. Stop by again for Subuh prayer, the worship for welcoming the new day. Teenagers wash my motorcycle and I do not expect result from what they are doing. Breaking the morning dew along this precious journey, my peaceful world left behind in my kost room, my ICQ window, our virtual home, and in your deepest heart.

0531hrs/224km
God blessed my journey. I was doing 100 on the wide cold asphalt bumpy road when suddenly my front tire went flat. Pfffuuuiih…I can be killed easily on this speed. Thank you God, for keeping me alive, thank you god for keeping me calm and control the steering of my vehicle…change the new tire tube at the closest repair station and carry on…

0917hrs/365km
The sun is pouring its brightness seriously. At the small mosque of the Pemalang gas station I stop again for resting. My engine needs a tune up and so does my body.

1211hrs/386km
Entering the town of Pekalongan, I experience the broken chain of my main gear. Life is so beautiful, even when troubles come and gone in this journey. My motorcycle is getting older and it is my loyal friend that takes me wherever I take it.

1714hrs/530km
Finally I feel my body exhausted of . Stop by at the border of Ungaran, where Salatiga the beautiful exotic town is one step ahead. I was surrounding by the hills of coffee plantation. The cool breeze of mountainous nature brings the feeling of my deepest affection to the dragon’s soul mate far away across the sea. I really wish I could share this wonderful view and dramatically romantic feeling of love with my dragon’s soul mate. This is peace of feeling is to empty in my loneliness. Fresh fruit and flower stall along the road side offering stronger desire to have your presence here in my passenger seat and feel the warmth of your touch. I miss the dragon’s soul mate so very much….

1712hrs/598km
The place where I was born tens of years ago. The atmosphere of takbiran is so thin. people gathers on the food stalls and other bright places with friends, watching the busy streets and expecting someone they know arrive from far away. I feel emptiness inside of me, it is sad to lost my childhood memory in my own village. People changed or the world changed? Dragon’s soul mate in my heart, ease my soured soul of this moral experience. My beloved mother welcome me, I will be here only for few minute before running again to another destination of my ‘home’.

2220hrs/687 km
Here I am, stepping my lousy feet into my ‘home’. The place where I used to built my dreams and hopes, the place where I poured my life dedication to. This used to be the place where my heart always redirected to. The plants of happiness faded away, and the air of this environment is so pitiable. This house is nearly dying since I take my heart and mind away from its rooms. I do not belong here as well as I do not belong to anywhere else called home…this is the place where thousands of zero mileage ended previously. Thousands of long way journeys headed for this place I created from nothing, and entrust my proud in. Now, it is just a building, the blend of bricks, cements, sand and other materials formed as the settlement of the human being, to protect from the rain drops and the heat of the sun. To hide from bare eye’s sight of the people, and especially to hide the disgraced attitude of the occupants….

Dragon’s soul mate….I do not belong here…I belong to the virtual paradise of ‘our home’…here I am, crying like a baby on your lap where you treat me like an egg…

Simatupang-Baturetno, 3 November 2005






Thursday, November 03, 2005

Percakapan sepanjang jalan

: dragon’s soul mate

Percayakah bahwa segala hal yang berawal pasti akan berakhir jua?
Ya, aku percaya itu.
Selalu berakhir pada kemisterian, entah berapa miliar jumlahnya bahkan kitalah obyek dan subyek dari kemisterian itu sendiri. Hidup selalu terlalu kaya dengan kisah yang menjadi pakem penegas kemisteriannya sendiri. Hanya proses dengan hasil selalu nihil tak tertebak.

Tapi bukankah karma adalah jawaban hitam putih atas kemisteiran itu?

Ya, sealalu. Dengan mekanisme perputaran yang membosankan keyakinan atas kemutlakanya.

Itukah akhir?

Misteri! Nihil tak tertebak. Dan Cuma kuasa waktu belaka penayanganya, membiarkan tanda Tanya yang berpautan bahkan atas pertanyaan itu sendiri, menjadi atom peradaban yang ternyata tak berakhiran. Riwayat selalu menjadi bukti betapa rapuh da labilnya hidup, yang dalam hitungan detik bisa terhempas berantakan.

Jadi, mufakat?

Ah, dia pola berantai yang merangkai gelembung gelembung dunia yang menyerati setiap manusia. Tiap mataratai adalah gelembung dunia yang selalu mencari lekatan atau bersimbiosis mutualisme dengan gelembung lainya. Gelmbung rapuh dan labil itu adalah kisah awal dan kisah akhir setelah menitipkan ruh misteri. Tak akan pernah ada akhir yang betul betul berakhir sepanjang udara masih mengidupi dunia dan kita. Alam masih menghormati kemuliaan peradaban, sebab hidup hanyalah kisah besar dari dengan miliaran adegan.

Masa depan tidak pernah ada, sebab ia adalah misteri juga akhiran. Hidup adalah hari ini yang mengumpulkan kontribusi jawaban atas kemisterian sebuah akhir; masadepan!

Jakarta – Boyolali diatas Honda Tiger AD 4875 DR 3 November 2005.

Thursday, October 27, 2005

Bunda


Saat merenungkan cinta bunda, yang muncul adalah cinta yang begitu indah. Saat memikirkan bunda, maka terpikirkan cinta, cinta yang manis, lembut dan harum. Harum adalah bau yang sangat menyenangkan, ia tetap segar tidak pernah pergi. Tanpa cinta bunda aku pasti telah jatuh dari kebajikan, keletihan, kehilangan kekuatan dan layu, tanpa cintanya semua pergi dan lenyap.

Cinta bunda adalah cinta pertama yang aku rasakan. Ia adalah akar dari semua cinta yang ada dimuka bumi. Bunda adalah guru pertama yang mengajarkan cinta, dan cinta dalah pelajaran yang terpenting di dalam kehidupan. Tanpa bunda, aku tidak akan pernah mengenal cinta. Terimakasihku kepada bunda karena aku telah mampu mencintai semua mahluk hidup. Melalui bunda, aku belajar konsep tentang pengertian dan kasih sayang untuk pertama kalinya. Bunda adalah dasar bagi semua cinta. Kehilangan cinta bunda adalah kehilangan cinta dunia, kemalangan besar dalam kehidupan menurutku.

Melalui kemuliaan perilaku bunda aku belajar konsep awal tentang cinta dan kasih sayang. Dengan demikian bunda adalah dasar dari semua cinta. Karena bunda mencintai anak anaknya, mengajarkan telaah cinta yang sempurna, tanpa cacat, dan toleran. Aku sungguh beruntung memiliki bunda yang terlatih menahan diri. Beliau jarang membicarakan ha hal yang sedih walaupun bapak entah apa kabarnya sejak aku masih sangat muda. Bunda menyimpanya untuk dirinya sendiri dan selalu berfikir tentang hal hal yang baik, tidak pernah mengeluh. Dengan demikian aku belajar untuk tidak mencurigai orang lain sejak kecil, tidak iri hati, kami menganggap semua hal adalah sesuatu yang memang harus terjadi dan dijalani, dan ini sangat membantuku dikemudian hari. Bunda menunjukkan cintanya yang terbesar dan memiliki kebaikan yang terbesar buatku.

Bunda adalah sumber cinta yang tiada akhir, harta yang tak pernah habis. Bunda juga pemberian terbaik dari kehidupan. Di dunia ini, karena bunda aku merasakan cinta, hidup bahagia, hidup dengan rasa aman. Itulah yang memuaskanku melebihi kepuasan seandainya aku adalah penguasa alam semesta. Ajaran kasih sayangnya membekas, mengandung pengertian bahwa kekuatan cinta dari kasih sayang bisa membuat bunga berkembang, membuat semua orang di dunia bahagia. Aku tidak ingin sedikitpun menitipkan rasa khawatir atau menderita karena keadaanku. Membuat bunda merasa tenang dan senang bagiku adalah kebajikan yang besar yang layak sebagai persembahan.

Sekarang aku mengerti, sikap sikap bunda sebenarnya mengajarkan bahwa kami memiliki hubungan sebab akibat dengan semua mahluk dan semua kondisi, bahwa aku tidak bisa hidup sendiri. Barangkali inilah perenungan yang benar, mengambil semua yang aku mengerti sebagai fakta dan memelihara gagasan yang timbul oleh pandangan yang benar pula, menjadi satu kesimpulan bahwa ibu adalah guru dan sumber dari cinta sejati. Cinta sejati yang tercipta dari satu pemahaman atas perpaduan antara ketulusan hati dan teladan.

Bunda, tahukah engkau bahwa aku sangat mencintaimu…

Simatupang, 27 Oktober 2005


Monday, October 24, 2005

Romantisme hujan



Because the rain is so pure, it makes me cry…

Senja luruh menikam sisa gerimis, rumah rumah batu membeku diliput remang lampu lampu, menyembunyikan entah kehangatan entah kehampaan hati para penghuninya. Jendela kamar buram oleh angin yang berhenti diam. Hujan yang turun diluar kaca jendela menghadirkan lagi lagi romantisme yang kosong, memaksa hati melolong lolong mencari alamat kerinduan. Rintik hujan memenjara hati dalam kamar dan menghadirkan fikiran fikiran mengembara kesetiap hati yang pernah singgah.
Malam begitu romantis penuh kenangan dalam penjara ruang…hampa.

Kesempurnaan terkadang begitu menakutkan, mencekam, karena hati sebetulnya tidak rela dengan kehilangannya. Alam adalah karya seni Tuhan yang tidak ada bandingan indahnya. Menghayati setiap tetes air yang turun dari langit, negeri para dewa, menghadirkan rasa syukur dan kekaguman luar biasa atas kekuasaan Tuhan. Diri menjadi mengerdil begitu kecil didepan kuasa alam, kuasa Tuhan; betapa tidak berdayanya manusia atas kehendakNya!

Keindahan hujan selalu mengusung romantisme hidup, dramatisasi atas nisan nisan kenangan dipekuburan pengalaman. Pada hati hati dan jiwa jiwa yang pernah singgah, rindu itu mengembara. Aroma tanah basah dan gemuruh suara hujan menjadi bingkai atas manisnya beribu pengalaman, pahit getir, manis, jadi satu dalam keindahan kenangan. Sejuk hawa yang hadir bersamanya seolah olah memaksa hati untuk mencari kehangatan rumah jiwa, tempat hati berlindung dari sepi.

Dalam lingkupan nuansa hujan dan kehampaan hati maha luas, kehangatan hadir justru lewat harapan, lewat masa depan yang misterius. Hidup terus berjalan dalam kehendaknya, dan masa lalu tinggal menjadi buah pengalaman yang berhamburan menumbuhkan benih benih keyakinan baru mengeja teka teki masa depan. Hujan yang menaburi bumiku malam ini, menghadirkan rindu yang begitu syahdu menggebu, keindahan yang begitu sempurna oleh sebab rindu tanpa tuju.

Hujan, fenomena indah penegas romantisme hidup…

Kost Simatupang, 23 Oktober 2005

Friday, October 14, 2005

Perjalanan Ragu

Berabad terapung disamudera kebencian dan cinta, menunggu badai reda, menunggu matahari tiba. Usia terus merambati kecemasan dan melapukkan semangat yang porak poranda. Hati meletih dalam penantian akan datang malaikat dari kegelapan yang menuntun arah ketanjung pengharapan. Kesunyian dalam gemuruh ini begitu sempurrna menggigilkan jiwa. Bimbang hati menyeret langkah menyusuri cakrawala berbingkai keniscayaan. Dalam ketelanjangan ribuan petimbangan mendorong dorong logika untuk percaya, tetap mengayuh menuju keraguan lain lagi.

Maafkan aku wahai pelangi karena mencabut pedang berkarat bernama kewajiban yang menancap dipunggung tembus kedada. Tak ada kehidupan didalam perihnya kecuali ratapan panjang atas batu batu nisan yang berjajar tak bernama, di pekuburan ingatan. Jiwa jiwa telah lama mati menyisakan beku membatu sedangkan diladang ketiadaan tetumbuhan kebahagiaan tampak menyembul dari balik tanah sisa peperangan. Hanya jika perkelahian ini usai, kita akan bertemu daratan yang menjadi tuan, entah karena tujuan entah karena terdamparkan nanti.

Dijagat manusia perkawinan hanya tinggal selembar kertas dan segudang kepurapuraan. Tamu tamu hati datang membawa ceritanya sendiri sendiri, dari keculasan demi keculasan dunia. Betapa peradaban telah terbeli hanya oleh egoisme. Tamu tamu yang membawa cerita perjalanannya masing masing melengkapi cerita perjalananku menoreh sejarah tentang keragu raguan yang menjadi tujuan, sampai satu lagi nisan tercipta dengan sempurna.


Simatupang, 14 Oktober 2005

Wednesday, October 12, 2005

Kastanisasi Diri

Bahkan dikehidupan maya cyberspace-pun, watak watak dasar yang mencerminkan landasan sikap kepribadian tidak sulit untuk dijumpai. Di cyberspace orang dengan mudah mengaburkan atau menyesatkan nama, alamat, umur, dan detail detail lainya. Penyediaan informasi yang manipulatif seperti itu aku nilai sebagai itikad untuk mengaburkan identitas, dimana bagi sebagian peculas adalah satu langkah kemenangan untuk menentukan golongan mana yang akan dan ingin digauli. Pengkaburan identitas (baca profile) juga didentifikasi sebagai langkah menutup diri dan melihat lebih jelas kepada orang lain atau profil lain yang dijumpai di cyber.

Pernah pada sebuah perkenalan di chatroom, sapaan sopan seperti “ hello selamat sore…” atau semacamnya mendapat jawaban “ mau apa?” atau yang lebih sering adalah “ siapa?”. Dan itu terterjemahkan dengan ekspresi ketus. Bahkan sorang yang pernah mengobrol di chatroom sehari sebelumnya pernah menjawab sapaan itu dengan “I will appreciate if you don’t talk to me again”. Puih! Rasanya ingin menonjok layar monitor, tapi akhirnya hanya senyuman yang tertempel dibibir. Orang orang ini memiliki karakter arogan, aku yakin mereka memiliki pemahaman yang kaku terhadap pergaulan, apriori terhadap keberadaan dunia gender. Orang orang seperti ini yang menderita kemiskinan humanisme, krisis kepekaan terhadap sopan santun dan budaya tenggang rasa. Memprihatinkan! Padahal, sudah pada sepantasnya orang orang yang bermain dengan perangkat tehnologi seperti itu dan menyediakan diri untuk “mengendarainya” adalah orang orang yang notabene berpendidikan cukup dan berpergaulan cukup, minimal bisa baca tulisan dan membuat tulisan; sedikit tahu tentang adat kesopanan.

Hakekatnya, pergaulan di cyberspace adalah pergaulan yang tak dibatasi oleh pematang pematang peradaban seperti umur, pekerjaan, profesi, jumlah kekayaan dan sebagainya. Cyber adalah tempat bertemunya jiwa jiwa yang lepas dari keterkungkungan hukum kebudayaan. Masing masing jiwa selayaknya terbekali dengan ajaran nurani dan yang lebih baku adalah ajaran tentang sopan santun dan menghargai sesama. Dalam dunia cyber, individu user diwakili oleh cara berfikir dan tatakrama kesopanan, ditunjukkan dengan sikap tahu diri dan tentu keterbukaan komunikasi. Jiwa jiwa itu ibarat gelembung udara dan cyber adalah angkasa sebagai media kebebasan gelembung gelembung itu mengembara. Akan tetapi sudah menjadi perwatakan umum bahwa dunia cyber diibaratkan sama dengan alam sesungguhnya, dimana segala bentuk antonim kebendaan menjadi hukum pengkastaan diri.

Jika pada jaman purba orang menciptakan kasta, tinggi rendah golongan yang terbedakan dari garis keturunan maupun jabatan kedudukan, bahkan kadang jumlah kepemilikan hartabenda, hal itu jelas jelas telah menjadi kesepakatan baku yang dimahfumi dan diterima sebagai sebuah tradisi luhur. Pada perkembanganya, pengkotakan golongan tingkat derajat manusia itu luntur dalam literatur literatur sejarah, berganti menjadi sebuah istilah membingungkan seperti liberal, demokrat, sosial dan sebagainya. Otomatis pengkastaan secara harfiah tidak lagi memiliki makna penentu satu golongan. Menurut Pramoedya Ananta Toer, dunia selalu berubah sedangkan manusia tidak. Selamnya seperti itu itu juga. demikian halnya dengan feodalisme, dengan penggolongan ukuran derajat manusia yang umurnya sepadan dengan pelacuran dan perjudian. Sejak manusia diciptakan!

Penggolongan jenis manusia pada zaman serba elektronik dan mobile ini, secara ekstrim ditunjukkan dengan kastanisasi pribadi, sebuah pengingkaran terhadap kesetaraan dan ruh humanisme secara universal. Kastanisasi itu dimulai dengan pembatasan komunitas pergaulan berdasarkan kesetaraan eksistensi diri dalam masyarakat umum. Sangat mengenaskan bahwa kastanisasi itu dimunafiki dengan slogan slogan humanisme, kepedulian dan sebagainya sedangkan pada prakteknya jelas jelas menyimpang dari teori teori yang didengungkan. Komunitas komunitas berdasarkan pengkastaan pribadi yang disamarkan menjamur lengkap dengan tradisi dan budaya modern dalam konteks yang dangkal yang kerap dinamakan trend. Komunitas itu berada diruang ruang labirin dengan dinding tebal dari kaca, memiliki batas batas nilai tersendiri, seperti ceceran minyak dalam air.

Komunitas itu lahir dari pendalaman akal dan pengetahuan setiap pribadi yang tanpa sadar menciptakan ruang khusus bagi dunia yang diartikan ideal. Perbedaan perbedaan lahiriah menjadi bible yang malu malu disembunyikan. Kepedulian akan kesetaraan dan kesamaan dengan impulsif diterjemahkan dengan laku charity; memberi amal materi. Pengkastaan diri pun menjalari dunia cyber, virtual community dimana idealnya adalah dunia tanpa hukum materi, dunia jiwa jiwa, nurani nurani tanpa dimensi lahiriah, sebuah utopia dimana setiap orang saling menilai dan mengukur berdasarkan jalan fikiran dan kepribadian.

Kastanisasi dalam formatnya yang baru adalah penciptaan kelas berdasarkan perhitungan lahiriah pergaulan; pemimpin dengan pemimpin, pengikut dengan pengikut, penonton dengan penonton, pemain dengan pemain, penggembira dengan penggembira, dan interaksi diantara kelaspun dibatasi pada garis garis baku yang tak tampak mata; hanya hati. Sebuah kemunduran peradaban berjubah kemajuan akal!

Simatupang, 11 Oktober 2005



Monday, October 10, 2005

Utopia


Tuhan mencipatakan tangan melengkapi fikiran, dan Tuhan menciptakan hati sebagai ukuran kepintaran produk fikiran. Kesederhanaan menjadi barang langka ketika zaman berganti jahiliyah, merampas masa dimana manusia menjadi mahluk paling buas dengan taring panjang bernama logika. Tajam mencabik apa saja, siapa saja. Lelah hati berharap nurani menjadi raja atas umat manusia maka mimpilah menjadi pengingkaran yang maha sempurna.

Di satu sudut bumi dalam naungan langit utopia subur menggoda. Pada lereng gunung berhawa sejuk sebuah rumah kayu dengan pendapa dan buritan pada arsitekturnya, berdinding tinggi dengan jendela jendela. Mungil kokoh tanpa warna. Berpagar budi pekerti rumah itu hangat oleh cinta yang damai penghuninya.

Sebidang tanah menghiasi belakang pekarangan, tangan karunia Tuhan mengadakan dari ketiadaan, membuat untuk dipergunakan, menyemai untuk memetik panenan, memakan apa yang ditanam. Tak ada yang patut dirisaukan.

Tetangga adalah sahabat, dimana rasa hormat menjadi aturan kepatutan dan nurani adalah penimang sikap dengan privacy sebagai hak yang terhormati. Wangi bunga rumput melahirkan inspirasi atas karya cipta dari hati juga pada nyenyanyian sepi tercipta filsafat filsafat yang tak pernah terajarkan tentang alam.

Kekerasan bukan budaya, tabu dilakukan, juga prasangka mati oleh ketulusan yang sebenarnya. Kebencian dan keculasanpun tak punya ruang tumbuh pada jiwa jiwa yang hanya tahu bersyukur dan merendah hati, menempatkan Tuhan sebagai pengawal nurani; ajaran paling hakiki bagi setiapi insan.

Rumah, dimana segala bermuara, dimana cinta beristana. Hanya mencintai dan dicintai sepenuh hati sepenuh hidup denga ekspresi tertinggi, tanpa pura pura. Eksotisme alam telah mematri cinta dua hati dalam rumah kayu berpagar budi pekerti. Sampai raga rebah disejuk tanah berdebu sisa lumpur musim hujan dulu, tenang melepas ruh ke perjalanan yang sesungguhnya. Tak ada tangis kecuali senyuman, sebab kematian hanya siklus kehidupan mahluk Tuhan…




Kost Simatupang, menjelang sahur 10 Oktober 2005