Friday, January 06, 2006

Maaf (atas nama tulisan)

Atas nama tulisanku, aku minta maaf kepadamu yang tertusuk serpihan masalalu. Inspirasi penulisanya datang begitu saja bersama rombongan kecemasan dan tanda tanya tentang jawaban teka teki masa depan. Anyaman dari kejadian yang sedang teralami sekarang, sebuah matarantai panjang bernama biografi barangkali.

Atas nama kedangkalan syaraf kepekaanku aku minta maaf telah melafalkan mantra mantra penggugah prasangka, meskipun sebenarnya lonceng pengukur seberapa kental rasa memiliki terlukai. Dan itu kusadari belakangan setelah letupan reaksi menggelegar memberi peringatan. Lalu kau tersadar, aku telah berbuat kesalahan.

Kesalahan?
(Ya! Kesalahan, titik!)
No more questions.

Atas nama pengalaman (meminjam salah satu judul essainya PAT) aku meminta maaf kepadamu atas telah kualaminya kehidupan masalalu. Atas kehidupan alam fana yang berbentuk padat dan alam bathin berbentuk udara angkasa. Betapa pengalaman menjadi arsip sejarah yang tersimpan di directory antah berantah, tak terlihat oleh pencarian, kecuali ditemukan secara kebetulan.

Aku bersedia menghukum diri jika engkau mau, tebusan atas kesalahanku. Namun beling pengalamanku terlanjur melukaimu. Dan aku tak bisa memadamkan perihnya. Tak ada yang bisa memadamkanya. Tapi setidaknya aku telah meminta maaf atas salahku.

Kepada bunda, aku mohon ampun telah menjadi anaknya yang durhaka…


Kost Simatupang, 060105 – 2309hrs




Bagimu yang sedang menjelma sakit

Engkau bimbang diantara setengah keberanian dan setengah ketakutan; sama sama nisbi. Penyesalan hanyalah batu beban ditas punggung, dan kau memilih menjelempah mengharap malaikat datang bawa ambulans.

Lihat sekelilingmu, semak semak akan semakin mengurungmu jika kau hanya menunggu dibawah pohon, bahkan sang akar pohonpun lambat lambat akan melilit dan mencekikmu...sementara harapmu tak pernah terjawab, tak ada malaikat bawa ambulans...

Tangan yang dilurkan semestinya dijadikan tiang penyangga ketika kakimu lemah, kepedulian yang disodorkakan mestinya menjadi pelampung ketika engkau mulai tenggelam; bukan untuk dicampakkan. Nyatanya ribuan kata kata bijak lewat bagai angin disisi telinga, mustahil menembus kokoh dinding ego yang membentengi fikiran.

Ya, engkau mengharap cinta dari cinta yang telah kau hancurkan dan memandangnya sebagai bukan apa apa. Membangun kebohongan diatas kebohongan atas azas cinta, atau sekedar petualanganmu mencari pengakuan. Nurani tentu berontak dan menuntut pembebasan dari penindasan, sebab engkau hanya sang naga yang mempermainkan luka luka pada jiwa orang orang yang menjelajahimu. Tapi engkau tak merasa, sebab yang ada hanya lukamu, hanya keberadaamu semata. Jikapun engkau merasakan perihnya, itupun hanya engkau dengan mudah berpaling dan memutar globe duniamu yang kecil.

Teruslah bermimpi, hingga kau sadar bahwa engkau telah jauh tertinggal hanya untuk mencoba mencari dimana ketertinggalanmu. Sekarang engaku menjelma sebagai si sakit yang lemah, terus berharap cinta yang kau hancurkan akan datang memberi hiba. Bukankah engkau adalah naga yang memiliki kekuatan melebihi rata rata? Kebesaranmulah yang memberatkanmu, kekebalanmu pulalah yang menyakitimu.

Sungguh, hidup ini absurd, sangalang….apalagi ketika diri bermahkota ego. Ketika semut diseberang lautan terang benderang dalam pandangan. Sungguh kepintaran absolut yang jusru menghilangkan cermin atas diri. Bahkan mengaburkan pandangan tentang orang orang yang sebenarnya peduli, menjadi sosok sosok tak berarti. Kepintaran dan egomu memagari, menghalangi malaikat manapun untuk sekedar menepuk pundakmu, memelihara kekuatan agar dagu tetap terangkat dan tatapan lurus kedepan.Tapi engkau memilih menjadi budak atas ego hatimu yang tak pernah terkalahkan…memajang keterpurukan disepanjang perlintasan perasaan.

Dan sepotong kabut yang mestinya menyejukkan menjadi tak berarti dalam kehidupan megahmu…

Graha Simatupang, 060105 – 1620