Friday, January 19, 2007

Langkah Besar

Seperti apa definisi langkah besar itu sebenarnya? Apakah jika kita telah berhasil melakukan sesuatu yang menunjukkan hasil? Ataukah ketika kita memulai sesuatu diluar kebiasaan dan bertekad untuk menjadikanya rutinitas?

Bagi para penganut hati (yang notabene berpondasi labil) langkah besar sama saja berkompromi dengan hati sendiri, menundukkan pemberontakan hati sendiri lalu menjalaninya dengan tenang, dengan datar meskipun gejolak dari peperangan yang terkurbur hidup hidup dalm diri terus menjombak, tak henti bergejolak. Adalah sebuah langkah besar menurutku ketika benci dan muak juga sakti hati yang membenalu akhirnya bisa ditekuk, lalu dibenamkan ke dasar jurang hati lalu diinjak rapat rapat agar tak menyembul lagi menjadi caci maki. Permukaan hidup yang sedatar lantai es menggambarkan bahwa sudah tidak ada lagi perang sengit antara harapan dan kekecewaan dari tidak terwujudnya pengharapan.

Harapan menjadi warna hitam putih semata berbatas tabir yang nyaris tak kentara. Mengharap membuat kita begitu merasakan hidup, demikian pula ketika diri di aniaya olehnya. Mengharap seseorang untuk melangkah maju, mengambil langkah besar dengan mereformasi tingkah laku dan belajar befikir dengan cara lain yang lebih umum kerap kali membenturkan kita pada tembok kekecewaan. Caci maki, tetesan darah dari lengan kiri, pertemuan antara kepala dan tembok yang bertubi tubi kini berhenti sudah, angin badai dan petir reda, sunyi gung liwang liwung. Hidup kemudian kehilangan separuh rasa, separuh warna tinggal antara puing puing bangunan yang dulu sempat menobatkan diri menjadi raja.

Amarah kadang kadang membuncah tanpa arah, mencari pelepasan, sekedar ekspresi kekecewaan yang ditanggungkan sendirian begitu lama dan mencemaskan. Anak bisa pasti menjadi sasaran empuk bagi kekesalan hati atas kebuntuan logika, kecele atas ketidak cocokan antara harapan dan kenyataan yang terjadi. Kekesalan dan penyesalan berpilin pilin hanya berselang detik, lalu kita terdampar di kesadaran betapa tidak bahagianya hidup kita saat ini justru di tempat dimana semestinya kebahagiaan bersimaharajalela. Tekanan psikis yang sedemikian hebatnya harus ditanggungkan sendirian. Lalu kembali kepada satu titik yang tidak menenangkan karena perasaan bersalah kita kepada buah hati yang keberadaanya di muka bumi atas prakarsa kita sendiri. Anak menjadi alasan kita rela menelan perih dan pahit perkawinan, menjalani apa yang tidak kita kehendaki dan harapkan, tetapi karena labilnya emosi oleh gerusan sakit hati, anak pula yang sangat rentan menjadi sasaran. Sungguh sama sekali kehidupan yang tidak sehat, sakit menurutku.

It is not a simple and easy life we are live in now, and there is no such simple life. Yang ada hanya 'life', apapun bentuk dan rasanya masing masing orang punya cara menghayatinya sendiri sendiri. Menyesalkan kenapa hidup bisa berbalik arah sedemikian buruk, yang dulunya membanggakan dan membahagiakan kini menjadi beban, tidaklah akan menemukan jawaban yang memuaskan karena semua berpendar di perasaan semata. Yang kita butuhkan hanya sebuah langkah besar, sebuah keberanian untuk mengamputasi rasa sakit hati yang tumbuh menjadi langit dalam rongga batin kita, untuk kemudian berani mengatakan kepada diri kita senidri bahwa inilah hidup yang harus kita jalani. Setelah sekian ribu deretan kata kotor, sekian kilometer luka disepanjang jalan penagalaman batin kita terima sebagai hadiah atas harapan panen kebahagiaan dari titipan hati yang kita pilih diatas kuburan keraguan dahulu kala.

Jangan bumbui hati dengan iri, bahwa kita tidak bisa sebahagia orang lain disekitar kita, bahwa kita tidak bisa se normal mereka dalam berumah tangga. Tidaklah seperti itu hukum yang berlaku, semua hal memiliki jatahnya sendiri sendiri di muka bumi. Meskipun bukan orang religius, tetapi diri memilih untuk mempercayai itu setelah semua yang teralami, setelah keletihan yang melewati titik puncak. Mengharapkan orang untuk sadar, untuk bisa memahami kita seperti yang kita rasa, rasanya kita harus mempersiapkan lagi satu ladang untuk memanen kekecewaan.

Cinta bukanlah harga mati yang bisa diikat erat hanya dengan selembar akta nikah, hanya berdasarkan sumpah gereja. Selamanya cinta adalah sukarela, urusan kemauan dan kesadaran hati. Tidak ada apapun yang menjadi jaminan pengikatnya. Anak sekalipun, tidak bisa menjadi jaminan keaslian rasa cinta, yang ada kemudian adalah tanggung jawab atas status masing masing. Sekali lagi, selagi masih punya daya dan kesempatan, juga kemampuan untuk menolak diperlakukan tidak adil, maka kita juga berhak untuk berbuat apapun yang memberi jaminan kebahagiaan hati dan hidup. Agar jangan tersisa hanya tinggal penyesalan, penyesalan itu membenalu, tumbuh meraksasa setiap hari menjadi bayang bayang penutup celah munculnya sinar kebahagiaan hati.
Ya, langkah besar sebenarnya adalah reformasi atas rasa hati, keberanian untuk mengamputasi tumor psikis bernama ‘sakit hati’…

Nutricia, 070118