Tuesday, August 30, 2005

Jakarta, macet dan SMS


“Ufh…I am trapped in a traffic jam. Streets of Jakarta is really unpredictable” Amadea sms pada jam sembilan belas lewat tigapuluh menit tigapuluh sembilan detik, hari Senin minggu terkhir bulan ini. Di sudirman katanya, dalam perjalanan pulang dari kantornya di kawasan Hayam Wuruk ke rumahnya di Cinere.
“Yup! I heard a lot about that. What do you think government should do about it?” begitu tertulis di layar handphone dari antah berantah dalam format sama; sms.

“ Perbaiki kondisi angkutan umum, so the society lebih memilih naik angkutan umum daripada mbl pribadi. Contoh: Singapore. Angkat jempol buat angkutan umum disana. The keyword is: disiplin. Do u think Indonesia could do that?”
.
“ Not in d next 30 years I reckon. It is the matter of discipline. I agree. It is the mentality of the whole nation, -jkt community particularly. I think we can start from education plan”.
“ Indonesia disiplin? Berapa generasi lg ya? Dari segi edukasi kita ketinggalan many steps behind. Maybe we’ve lost 1 generasi penerus bangsa…”

“30yrs is when the next generation will be in charge. Idealnya kita yang menyiapkan pddkan bwat mereka sekarang. Sbh sistem pddkn yang komprehensif dan terevaluasi, tapi harus dibarengi policy yang ketat dalam prakteknya. Hukum harus dikawal scr represif. Ufh…I am out! Honestly I know nothing of what I was talking about”

Anda jangan salah, obrolan sms itu bukan keluar dari hape ekspatriat yang kebetulan tinggal dan bekerja di Jakarta, tapi dari dua orang laki laki perempuan dengan usia hampir sama, orang Indonesia satu bersuku Jawa dan satu bersuku Batak. Jangan pula kaget dengan bahasa yang mereka pergunakan, karena dalam dunianya bahasa itu justru lebih ekspresif dan sederhana! Bahasa seperti itu relatif jamak digunakan dalam komunitas eksekutif muda Jakarta. Campur aduk, yang penting komunikatif dan ekspresif. Dan kita tidak sedang dalam forum tata bahasa, kan?

Anda salah lagi kalau mengira obrolan kritis itu keluar dari pemikiran dua orang yang memang berkecimpung dalam dunia profesi yang sama, atau orang orang yang memang berkutat dengan kepedulian terhadap keadaan sosial kemasyarakatan, apalagi Lembaga Sosial Masyarakat. Bukan, si wanita bekerja di bidang civil engineering pada divisi tehnik sedangkan si laki laki bekerja dibidang Badan Usaha Jasa Pengamanan dan Penyelamatan pada bagian Operasi. Sama sama tidak ada konteks langsung dengan pekerjaan mereka. Wacana diskusi itu mengalir spontan atas apa yang mereka rasa, lihat dan alami semata.

Minimal dua orang itu sudah saling mengenal sangat lama? Oh, anda kurang tepat jika berprasangka seperti itu. Mereka kenal di dunia cyber lewat Yahoo Messenger barulah lima hari yang lalu dari computer di kantor mereka masing masing dan hanya itu. Mereka tidak pernah bertemu secara fisik di dunia real. Tetapi justru dunia maya itu barangkali yang membuat mereka berkomunikasi dengan bahasa fikiran dan bathin mereka, mengesampingkan embel embel hukum materi maupun yang melingkupi karakter peradaban secara fisik, termasuk latar belakang pendidikan. Sarjana tehnik dan seorang tamatan SMTA!
Sudahlah, kita kesampingkan profil dua panelis kita ini, sedikit kita bicarakan saja landasan filosofis dari content diskusi mereka.

Kemacetan Jakarta memang sudah menjadi keluhan umum yang didiamkan, diterima dan dimaklumi adanya. Orang seperti tidak berdaya melawan keadaan itu, kebingungan mencari alternatif jalan keluar ternyata menimbulkan kemacetan lain lagi pada umumnya. Penetapan three in one, menambah jalur perlintasan alternatif, Mass Rapid Transit atau Busway yang berbasis jalan raya, dan banyak lagi solusi praktis rasa rasanya belum membawa hasil yang melegakan bagi kemacetan itu sendiri. Macet tetap saja menimbulkan efek psikis yang sama; jengkel biarpun itu di mobil pribadi apalagi bergelantungan di bus kota. Pulang kerja, tanggal tua pula! Puih!

Obrolan sms diatas mengandung satu keluhan dari individu yang secara rutin mengkonsumsi kemacetan itu pada setiap hari kerja. Nah! Pada hari kerja saja rupanya kemacetan itu menjadi rutinitas. Sedangkan pada hari hari libur, jalanan menjadi lengang oleh lalu lalang. Orang bahkan bisa bikin acara jalan santai, sepeda santai atau jalan ramai ramai dijalanan protokol Sudirman pada hari libur! Dengan minta ijin kesana kemari dulu tentunya! Tidak diragukan lagi, memang mobilitas kaum pekerja jugalah yang menyebabkan kemacetan itu. Jutaan orang dalam urusannya masing masing memanfaatkan fasilitas jalan yang sama pada saat yang sama. Apakah lantas ada introspeksi yang konstruktif dari pemakai jalan bahwa merekalah sebenarnya subyek dan sekaligus obyek dari kemacetan itu? Tentu tidak. Mereka memiliki hak yang sama untuk menggunakan fasilitas jalan dan kendaraan, mereka dibebani dengan kewajiban yang sama pentingnya atas tuntutan profesi dan kehidupan pribadi masing masing. Harapan mereka, orang lain yang seharusnya mengerti kepentingan egois mereka, jalanan seharusnya tidak menciptakan kemacetan, dan nah ini dia…pemerintah seharusnya tanggap dan cerdas mencari solusi demi warganya!

Orang orang seperti Amadea yang notabene kelahiran Jakarta ataupun orang orang yang bermukim di Jakarta meskipun dilahirkan ditempat lain, memang cenderung terjebak dalam ekslusifias individunya masing masing. Pola seperti itu mau tidak mau memang menjadi budaya kota urban.
Sebagai individu Amadea mengeluhkan tentang kemacetan yang terjadi, dan dengan lancar dia mengungkapkan idealismenya kepada orang yang dianggapnya ada dalam ekslusifitas individunya. Sebuah idealisme berbasis solusi yang lahir dari keluhan terhadap realisme sosial yang semakin mengakar menjadi satu permakluman bersama; macet. Sebuah idealisme yang lagi lagi hanya terkurung dalam lingkaran ekslusifitas individu Jakarta, bukan menjadi wacana dari para pembuat kebijakan tata kota. Apa ini? Apakah Amandea berada di posisi yang tidak seharusnya atau pembuat kebijakan yang memang tidak tepat menduduki kursinya? Somebody put the wrong man on the wrong place? Mohon anda tidak berfikir su’udzon, sebab itu juga bisa menjadi salah satu bibit stress kabarnya. Saya tidak mau tulisan ini nantinya menjadi pemicu salah satu pemicu melonjaknya angka penderita penyakit kejiwaan di Jakarta, lho!

Gagasan Amadea lahir dari keluhan yang terkurung dalam ruang ekslusif itu, terjemahan dari kejenuhan akan keadaan yang tidak lebih baik dari harapannya. Berdasarkan pengalaman pribadinya, di ambillah profil Singapura sebagai contoh pembanding. Dari perbandingan itu pula akhirnya ditarik benang merah, titik pangkal dari penyebab kesemrawutan di jalanan Jakarta; disiplin pengguna jalan, disiplin bangsa! Content diskusi secara sederhana menyadari bahwa produk disiplin bukan pekerjaan tukang sulap atau borongan sehari jadi, karena disiplin jelas memiliki banyak sekali variabel sebagai korelasi. Dan yang paling berdekatan denga degradasi disiplin mental bangsa ini – sekali lagi menurut panelis – adalah pendidikan. Kalau mau lebih jauh lagi, simpul kemacetan bisa diurai sebagai dimensi kultural terhadap perilaku anti disiplin. Disiplin disini kita definisikan saja dengan kepatuhan atas kuasa kesadaran terhadap aturan prosedur yang berlaku secara umum.

Tigapuluh tahun waktu yang dibutuhkan jika ide tentang reformasi sistem pendidikan itu direalisasikan sekarang, jika tidak hari ini ya bisa minggu ini, bulan ini tidak apa apa, atau minimal tahun inipun masih bolehlah. Bukankah bangsa kita termashur fleksibel dalam urusan waktu? Tigapuluh tahun masa yang singkat sebenarnya untuk ‘merelakan’ satu generasi hilang dan membentuk sekaligus melahirkan brand new generation yang beda dengan generasi sekarang. Angka itu jelas bukan muncul dari kajian ilmiah, melainkan opini impulsif semata, ekspresi pesimistik atas kualitas generasi yang sedang hidup sekarang ini. Tapi kita bayangkan saja tigapuluh tahun kedepan dari usia kita yang sekarang, itu tips lagi untuk mengurangi beban protes yang terkadang menjadi bibit stress di kota semegah Jakarta ini. Jadi delivery product dari ide itu begini; sebuah generasi yang berdisiplin yang terbentuk dari satu sistem pendidikan yang integrated, kemudian dalam penerapanya di dalam aktivitas semua sektor dikerangkai satu sistem kebijakan publik yang dikawal oleh praktek hukum yang menekan. Whaalla…! Sebuah generasi yang kembali kepada nurani dasar, bahwa siapapun akan malu hati jika tidak berdisiplin ketahuan ataupun tidak ketahuan oleh khalayak, karena mencerminkan tingkat kemampuan menyerap pendidikan yang diterima rendah alias bodoh, kampungan atau predikat yang meremukkan kebanggaan lainya. Penderitaan si bodoh tidak sampai disitu saja karena masih harus berhadapan dengan sistim hukum yang secara eksplisit dan transparan memberikan tekanan tindakan koreksi tingkah laku. Catat: hukum budaya ini berlaku universal dari pengangguran, preman, pegawai, pejabat, aparat sampai orang gila sekalipun.

Tigapuluh tahun yang akan datang barangkali panelis sudah menjadi kakek nenek yang tinggal punya kenangan bahkan tidak berkepentingan lagi dengan gagasan yang terkurung tadi. Atau bahkan barangkali sudah tidak lagi menjadi penghuni planet bumi, dan masih mengenangkan gagasanya untuk melihat satu generasi yang berdisiplin sehingga tidak ada lagi kemacetan di jalan jalan Jakarta meskipun tembok ekslusifitas pribadi makin tinggi dan kokoh membentengi jiwa setiap orang Jakarta. Toh gagasan itu tidak mempunyai tendensi untuk menghujat, atau menyalahkan siapapun seperti tren saat ini dimana satu persoalan selalu melahirkan kambing berbulu hitam. Kita tidak mengesampingkan bahwa kemungkinan sudah ada gagasan gagasan yang lebih brilian daripada obrolan sms beberapa menit itu dari orang orang yang jauh lebih berkompeten. Terlebih lagi, educated generation form ini bukanlah satu satunya solusi mengatasi macet karena dari setiap kepala orang orang seperti Amandea pasti banyak lagi memiliki ide ide yang terkurung dalam ekslusifisme individu. Mislnya; perbaikan sistem angkutan umum Perilaku masyarakat yang lebih memilih kendaraan pribadi harus segera dirubah. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan paksaan ataupun dengan penyediaan pilihan lain. Angkutan umum yang aman, nyaman dan tepat waktu serta terintegrasi satu sama lainnya merupakan pilihan lain paling logis yang dapat merubah perilaku tersebut. Angkutan umum yang baik juga memberikan peluang bagi semua lapisan masyarakat untuk melakukan perjalanan dengan biaya yang terjangkau dan aksesibilitas yang tinggi dengan dampak lingkungan yang minimall. Nah!

Bagi anda pekerja pemerintah pembuat kebijakan, itung itung daripada bingung bingung menghitung hitung jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dan berapa kapasitas ruas perlintasan dan isfrastruktur lainya untuk menampung angka itu. Atau bahkan itung itung daripada dikantor bingung, bacaan ini bisa diplagiat menjadi gagasan institusi; dengan improvisasi sana sini tentunya. Dengan catatan harus ikhlas bahwa tigapuluh tahun yang akan datang generasi baru akan malu makan gaji buta dari kantor pemerintah, dihukum Negara karena menganggur pada jam kerja, apalagi menjiplak gagasan orisinil punya orang lain!


Simatupang, 29 Agustus 2005





Catatan:
Data pada akhir tahun 2004, petumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta selama 10 tahun terakhir adalah 11% per tahun, sedangkan pertambahan ruas jalan tidak lebih dari satu persen. Itu pun ruas jalan yang baru dibangun berupa jembatan layang (flyover) dan terowongan (underpass).
Jumlah kendaraan bermotor yang bergerak di Jakarta setiap harinya mencapai 5,6 juta (kendaraan roda dua 53%, mobil pribadi 30%, bis 7%, dan truk 10%). Jumlah itu belum termasuk sekitar 600 ribu kendaraan komuter (pulang-pergi) dari wilayah Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi.
Lebih ruwet lagi karena kendaraan di Jakarta didominasi kendaraan pribadi. Perbandingannya adalah 98 persen kendaraan pribadi dan 2 persen kendaraan umum. Dari total 17 juta orang perjalanan setiap hari, kendaraan pribadi hanya mengangkut sekitar 49,7 persen. Sedangkan 2 persen kendaraan umum harus mengangkut sekitar 50,3 persen. Akibatnya, jumlah penumpang menumpuk di angkutan umum. Sedangkan angkutan pribadi memakan sebagian besar ruas jalan.