Tuesday, January 26, 2010

Suami Istri

Dua individu asing yang bertemu lalu menyatu menjadi satu individu baru? Atau dua individu asing yang bertemu dan lalu bergandengan tangan melangkah bersama dengan langkah yang sama tetapi tetap dalam perbedaanya? Atau mungkin dua individu asing yang atas dasar perbedaanya kemudian sepakat untuk melebur menjadi individu baru yang dilengkapi dengan dokumen sah yang menyatakan bahwa mereka pasangan yang terikat oleh kewajiban mentaati hukum sipil peradaban dan bersumpah atas nama Tuhan. Sedangkan sumpah atas nama Tuhan adalah sumpah tertinggi yang bisa dijadikan ukuran sumpah apapun. Itu semua tebusan untuk legalisasi perbuatan yang tadinya tidak boleh untuk dilakukan sebelum sumpah dan akta nikah mengikat pasangan itu.

Menjadi suami istri adalah langkah pertama untuk terikat dalam aturan aturan yang ketat terutama tentang tenggang rasa, hormat dan bagaimana memelihara cinta dengan saling menghargai dan mempercayai. Soal rasa sayang tentu tidak masuk akal lagi untuk diperbincangkan disini, oleh sebab setiap pernikahan pasti diawali dengan rasa kasih sayang atau rasa cinta, atau asmara. Hubungan suami istri - ritual paling purba sepanjang serjarah peradaban manusia, warisan dari sifat mahluk hidup yang dilengkapi dengan akal rangsang dan nurani - menjadi barang legal yang boleh dilakukan kapan saja dan dimana saja sesukanya. Sedangkan persetubuhan adalah ekspresi tertinggi dari nilai kasih sayang yang divisualisasikan dengan segenap perasaan terdalam bernama nafsu. Buah terlarang yang semestinya tidak boleh dimiliki pada orang yang tidak terikat pernikahan, sebab pernikahan memang adalah legalisasi hubungan badan suami istri! Selebihnya adalah pembagian kewajiban dan hak sebagai sebuah lembaga bersama.

Surat nikah hanyalah kertas, pengikat lembaga itu yang sejatinya adalah itikad nurani untuk setia menjaga komitmen perkawinan dan memberi nilai positif terhadap diri sendiri. Orang yang berbuat baik akan menilai dirinya baik dan itu baik untuk memotivasi diri untuk menjadi orang yang baik. Kaki kiri dan kaki kanan bisa tidak simetris pada saat kita berjalan, tetapi toh keduanya membawa tubuh ke arah dan tujuan yang sama. Dua individu asing tetap menjadi dua individu asing, menjaga kerahasiaanya masing masing demi membela arah dan tujuan yang sama pula. Bentuk hubungan akan berkembang mengikuti kemauan zaman, mengikuti arus takdir kedua individu asing tersebut. Rapuhnya akta nikah dan sumpah dihadapan Tuhan sebagai tali pengikat hubungan dibuktikan dengan banyaknya pasangan yang mendaftarkan diri mereka di pengadilan untuk proses perceraian. Sebuah penyelesaian yang elegan dari ketidak sesuaian yang ditemukan kemudian setelah sebelumnya hakul yakin bahwa pasangannya adalah jodoh yang dikrimkan Tuhan. Bukan soal salah memilih orang sebagai pasangan, tetapi lebih kepada arogansi ego masing masing yang terlalu tinggi sehingga menutupi sumpah maupun komitmen yang ditandatangani hitam diatas putih. Akta nikah tidak bisa menjadi pengikat dua keinginan, sebab tali hatilah yang sebenarnya menjadi satu satunya pengikat dua individu asing untuk menjalani sesuatu bersasma sama dengan rasa yang sama dan semangat yang sama.

Mungkin dulu alasan sepasang manusia menikah adalah karena mereka sama sama terlalu takut untuk kehilangan pasangannya (menjadi bukan pasanganya lagi). Lalu berikrar dengan disaksikan orang lain bahwa mereka sepakat untuk menjalani hidup bersama selamanya. Dalam suka dan duka, susah senang, sehat dan sakit. Amboyy...betapa indahnya kata kata utopia yang membuai. Itulah nilai tertinggi dari hubungan dua individu asing yang kemudian menjadi suami istri; menjalani hidup bersama, merencanakan dan mengalaminya bersama sama. Karena itulah sebabnya disetiap peradaban manusia suku manapun pasti ada ritual pernikahan meskipun cara yang dilakukan berbeda beda. Dan setiap perkawinan menghasilkan cerita peradaban yang berbeda beda. Dan, cerita perkawinan terindah hanya bisa terbentuk oleh hubungan dua individu berbeda jenis kelamin untuk saling menyenanangkan, saling menjaga, serta saling membiarkan pasangan menjadi diri sendiri. Maybe!


Tasikmalaya – Garut - Jakarta 100124

Friday, January 15, 2010

Usai Perang

Pesta iblis akhirnya usai. Perang telah selesai. Luka luka diteliti dengan seksama. Korban ditaksir berdasarkan bobot penghargaan atas sebuah hubungan; tak ternilai dengan materi. Duapuluh enam hari musuh mengamuk didalam selimut yang melelahkan berlalu, menyisakan serpihan kebahagiaan yang berserakan pecah berantakan. Air mata kering, sumbernya mati karena dikuras setiap hari. Panas dendam telah menghanguskan hampir ke seluruh aspek kehidupan, bahkan yang tidak berhubungan dengan peperangan. Dimana mana, perang hanyalah memproduksi korban. Sedangkan perang, selalu dimulai dari sebuah pengkhianatan sederhana.

Perempuan yang khianat, laki laki yang khianat. Khianat terhadap janji, khianat terhadap diri sendiri. Manipulasi perasaan atas kuasa nafsu. Dan sudah menjadi ciri wanci, bahwa setiap penghianat pastilah akan di laknat. Laknat dunia akherat sebagai bentuk pemaksaan pertanggung jawaban atas perbuatan yang khianat. Perbuatan khianat yang melahirkan perang, yang menyisakan kerusakan parah untuk waktu yang panjang. Kecacatan permanen terhadap kemapanan emosi yang menganggap sebuah kebahagiaan akan bisa abadi. Sungguh sebuah perang yang mengerikan, ketika ribuan pedang menghambur dari kegelapan; sebuah upaya pengelabuan yang gagal. Itikad yang terkandung didalamnya sudah menunjukkan nilai negatif atas komitmen tali hati.

Sambil menunggu asap gelap tersibak dan terang menjelang, perih perih dihitung dan dirasakan sekali lagi. Badan yang tercacah dengan luka menganga masih bisa ditahankan, tak seberapa sakit dibandingkan dengan nilai harga diri yang dirampok si durjana. Di dalam sepi setelah musuh pergi dengan membawa selimutnya sekalian, sebuah catatan perang ditulis sebagai eksplorasi atas gores demi gores luka yang diderita. Kisah yang akan menceritakan panjang lebar tentang sebuah kepingan peristiwa atas persekutuan yang cidera. Sudah waktunya mengemas impian dan lalu memasang nisan diatas kubur kenangan. Dunia yang beku dan muram menancap di liat dan pekatnya lumpur kekalahan.

Luka luka harus segera disembuhkan dan sisa perang harus segera dibersihkan, keadaan harus segera bisa dipulihkan. Kekalahan harus diterima, sebab para pengacau telah pergi bersembunyi; saling melindungi dan tidak pernah ada tanggungan yang mereka jawab. Pengecut memang selamanya demikian dan akan terus menjadi pengecut sampai akhir zaman. Memang sebaiknya mereka pergi dan tidak kembali, menjauh dari segala bentuk tanggung jawab untuk hidup yang lebih enak, dan untuk dunia yang lebih tenteram dalam persembunyian. Sayangnya, mereka bersembunyi hanya persis didepan mata!

Akhirnya pesta perang para iblis harus selesai. Saatnya menunggu sang waktu menyembuhkan luka, merestorasi hati kemudian membersihkannya dari serpihan beling yang menancap di didnding langit pikiran. Jalan kedepan akan penuh dengan tantangan yang harus dapat diretas sendirian. Tidak akan mudah dan memerlukan kekuatan melebihi rata rata, bahkan hanya untuk sekedar menerima kekalahan. Butuh hati berukuran raksasa untuk dapat menghayati indahnya dikhianati. Toh semua sudah terjadi dan berlalu, menjadi masalalu yang benda mati. Setidaknya manis dan getir perjalanan yang pernah terlewati memberi pelajaran baru tentang isi hidup. Pengalaman memperkaya pemahaman atas nilai sebuah hubungan serta ukuran ketaatan azas tenggang rasa.

Maka ketika perang iblis usai, perang barupun dimulai. Satu kelas lebih tinggi dari perang sebelumnya, karena perang baru adalah bentuk perlawanan dari kebangkrutan nurani oleh sebab terkurasnya cadangan kesabaran. Perang yang lebih bermartabat karena misinya adalah mengembalikan nilai kehidupan kedalam norma peradaban berdasarkan kebijaksanaan. Meneruskan cita cita sederhana; menjadi orang baik dan memenjara dendam yang ibarat Da;jjal. Merapikan kembali segala yang porak poranda, mengenangkan peristiwa ini sebagai satu episode yang telah selesai penayangannya. Sampai hari hari akan berjalan seperti sedia kala...

Bambuapus, 100115 - 0238

Thursday, January 14, 2010

Membaca Luka

When love goes wrong, nothing goes right.

Membacai catatan tentang luka, seperti membangkitkan iblis dari kuburnya. Berhamburan menyerbu muka, dada dan kepala. Kenangan menikam perih seperti jantung tertancap kujang karatan. Memang benar, hanya karena nila yang setitik, susu sebelangapun bisa tercemar. Hanya dengan hujan yang sehari orang lantas bisa begitu saja melupakan kemarau yang setahun penuh. Satu luka bacokan yang tepat ditengah bahagia niscaya akan sanggup melumpuhkan sisa jatah kehidupan. Ia menjadi bibit dari semua jenis malapetaka di alam batin. Luka luka yang menyusul sesudahnya tidak lebih dari siraman air cuka diatas luka lama. Menyebabkan lupa atas rasa segala bentuk kesenangan dunia.

Membacai lagi catatan catatan lama, seolah olah menemukan lagi pribadi baru yang menipu jiwa. Semuanya menjadi asing, bahkan terhadap wajah sendiri yang terpantul dari genangan air mata. Riwayat yang tercatata di altar langit berjatuhan laksana hujan dari jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang tetap menjadi rahasia sendiri. Kaki dan tangan seolah terikat ketika gerombolan iblis bertamu pada malam penuh kegelapan. Mereka telah menyeret mata menuju subuh lalu tertawa pergi menyembunyikan keji ketika matahari tiba menuntut pertanggung jawaban aktualisasi diri. Iblis iblis itu mereka persis seperti orang orang pengecut yang kelak akan mati membusuk dimakan belatung.

Seharusnya hati bisa menjadi kuat setelah melalui beribu malam dalam perkelahian bisu. Semestinya semuanya menjadi lebih terang setelah reda sang hujan. Tidak seharusnya memang luka yang sama terjadi berulang kali. Tidak seharusnya juga orang yang dipercaya menikamkan belati pengelabuan di dipunggung yang tersandar. Seharusnya memang tali pengikat hati dilepaskan, direlakan sang putri menjadi selebritis laris di langit maya tempatnya memuja rasa. Tempat manusia memang di bumi, di dunia nyata dengan manusia nyata; tempat bahagia dan duka yang nyata.

Keikhlasan laksana seberkas cahaya yang mampu menuntun diri untuk selalu ingat pada sesama ketika mata hati gelap oleh badai khianat. Seharusnya!!
Kuta Bali - 100114

Wednesday, January 13, 2010

Dunia Maya

Dunia maya adalah padang kehidupan dengan orang oroang virtual, saling berteman tanpa harus merasakan menjadi teman yang sejatinya. Teman yang sebagai malaikat tidak bersayap itu. Dunia maya juga adalah kehidupan tak nyata yang didasarkan atas angkasa tak bertuan, tak berpagar dan tak berambu. Disana manusia saling tampilkan nafsu. Jalinan sosial yang terbentuk dari interaksi nafsu berupa lorong lorong labirin penuh kejutan menyakitkan. Sebagian pengecut di dunia nyata bersembunyi rapi jali di dunia maya, mempertontonkan kepengecutannya yang sejati di dunia yang bahkan tidak nyata.

Sebagai wahana angkasa, orang yang maju akal pikirannya tidaklah bisa menolak daya tariknya. Sebuah lapangan besar berisi permainan hayal rupa rupa dan sangat rahasia. Seperti pasar tradisional dimana setiap sesama boleh memilih dan dipilih untuk dimanterakan supaya menjadi nyata, seorang yang menyentuh dan teraba. Kita tidak bisa memagarinya supaya kita tidak ada didalam pengaruh kesaktiannya ketika kita ada di bagian luarnya, akan tetapi kita juga tidak bisa melindungi diri dari niat itikad untuk masuk dan berselancar didalamnya ketika kita sendiri sudah menjadi bagian darinya.

Jejaring sosial, ludah laba laba yang menjerat peradaban dengan kebiasaan baru dan seolah olah dunia baru; mempertemukan, menyatukan dan juga mampu menceraikan bahkan menghancurkan hidup nyata. Sebuah kehidupan nyata yang dipunggah ke atas panggung khayali manusia dirangkai dengan tali hati. Kehidupan ’seolah olah’, kisah kisah cinta atas kuasa bohong hingga segala pencitraan nafsu binatang niscaya ada disana, tidak diakui oleh pemiliknya sendiri; si empunya diri. Acap kali gesesekan antara dunia maya dan dunia nyata menimbulkan gempa yang menggemparkan. Bahkan mematikan matahari di dunia nyata!

Bentuk bentuk pengingkaran atas kebenaran serta kehilangan logika sederhana tentang tatanan hidup di dunia nyata merupakan akibat dari pengaruh buruk yang ditimbulkan dunia maya. Sikap naif yang palsu, jiwa yang mendua, dunia yang mendua, hati yang mendua, lelaki yang mendua, perempuan yang mendua, tapi tidak dengan perih rasa akibat lukanya. Perih dan luka hanya milik individu yang tidak mendua. Perihnya terasa di dunia nyata, sebagai pantulan keras dari cermin dunia maya yang tak sanggup untuk ditentang untuk selalu memandang. Udara yang mengisi dunia maya bisa meracuni otak orang sedemikian rupa hingga lupa bahwa berbohongpun memerlukan logika. Membohongkan dunia nyata di dunia maya atau sebaliknya sesunggunya adalah perkara bodoh dan berbahaya. Akibatnya bisa membuat orang celaka. Benar benar celaka dalam arti harafiah di dunia nyata. Celaka tigabelas namanya!


Oleh karena teknologi memberi kita sayap untuk terbang sesuka hati kedalam dunia maya, ada saatnya mencabuti sayap, turun perlahan dan berpijak pada bumi, pada panas tanah merah sesudah dijerang matahari. Di atas bukit tak bertuan kaki dipijakkan, memandang mengeliling untuk menentukan tujuan sesuka hati. Tak apa jika sesekali kaki kita terantuk, toh sakitnya hanya sementara. Bukankah segala yang ada dalam hidup kita ini sementara?! Tetapi jika batin kita yang tertusuk, amboy..lukanya akan terasa perih abadi. Dunia maya hanya tinggal menjadi hantu yang patut untuk dibelakangi. Menemukan orang yang nyata dalam dunia nyata, apapun itu bentuk dan karakternya, adalah nyata dan sederhana. Memang demikianlah seharusnya kehidupan berjalan. Tenggang rasa maupun segala upaya bersosialisasi adalah yang senyatanya menentukan nilai dari seseorang. Didunia maya semua hanya kata kata di angkasa.

Kiranya aku rindu matahari ketika pagi dan langit senja di kala sore.

Kuta Bali - lewat tengah malam 100113

Tuesday, January 05, 2010

Setetes embun penyejuk api

Malam menjadi tua. lampu lampu kota beku ditikam angin Januari, berkedip perlahan dikejauhan. Embun luruh ke bumi, tetesannya memaksa sejuk pada gambut yang tak henti mengobarkan api dendam, api yang terpendam nun jauh dibalik permukaan. Malaikat membisikkan kata bijak, dan bidadari mengirimkan tembang cinta paling indah sepanjang zaman. Sebuah tembang penyesalan yang mengalun melewati layu malam, menelusuri letih seharian mengikuti semburan magma dari timbunan amarah tak terkira.

Gerombolan iblis tertawa, berlari meninggalkan luka yang porak poranda. Mereka akan datang lagi dalam pola sesukanya, menyerbu dari segala penjuru, memuntahkan segala senjata selama tujuannya adalah untuk menyiksa. Mereka telah menduduki segala sisi hidup, mengintai untuk membantai prinsip kebaikan yang perlahan disemikan oleh kesadaran yang timbul tenggelam dipermainkan emosi dan logika. Kebijaksanaan sikap yang terkumpul dari sepotong demi sepotong pengalaman luluh lantak diinjak injak mereka yang riang berjingkrakan. Dan logika menemukan jalannya yang buntu. Langkah kaki menjadi mundur, pandangan matapun menjadi kabur.

Besok matahari akan datang lagi, memberi hidup bagi duri duri yang seolah mati. Barangkali juga akan memantikkan bara dibalik permukaan gambut yang telah jadi sanggeman ketika benih luka ditaburkan oleh angin dusta; berulang dari musim lalu ke musim berikutnya. Panas dan perih akan menghampiri, sumpah serapah akan jadi menu makan pagi, makan siang, makan malam dan doa sebelum tidur yang tak pernah lelap. Iblis telah merampas semua niat makan, tidur dan berkarya, tidak meninggalkan sisa untuk ruang kosong yang terlalu hampa. Tidak ada pembanding bagi bengis siksaanya.

Setetes embun layak dirindukan sebagai peredam perih dari luka menganga atas luka diatas codetan lama. Sesungguhnya luka hati tidak akan pernah sembuh secara sempurna. Ia meninggalkan larva sakit jiwa yang dapat bangkit dan tumbuh bagaikan belatung didalam dada, menggerogoti lambung hingga kepala. Ialah bayi bayi dendam yang disembunyikan dibalik terali bernama pengampunan tanpa permaafan, hasil dari peperangan panjang yang terus berulang dan hanya memproduksi kerugian. Mereka diredam dalam dinding rapuh bernama pengampunan sebagai pemenuhan atas tuntutan kewajiban dan aturan kepantasan manusia yang berperadaban.

Malaikat kecil yang hadir dari balik jendela kaca menjelang pagi, mengantarkan ramuan penawar sakit hati lewat bening malam ketika lampu lampu membeku di kejauhan. Memaafkan adalah obat mujarab bagi sakit hati sekronis apapun itu sakit hati. Memaafkan adalah melepaskan, merelakan, mengikhlaskan semua kejadian buruk yang menimpa di masalalu. Memaafkan adalah menerima masalalu sebagai bangkai waktu, yang berisi catatan yang tak mungkin dapat dimodifikasi sesuai selera. Apa yang terjadi sudah terjadi, dan tidak dapat direkontruksi kembali. Menerima kenyataan dengan tabah adalah cara kompromi yang pasti akan membahagiakan sekaligus membanggakan sebagai sebuah pribadi.

Tetapi sungguh tidaklah mudah untuk melepaskan, untuk berkompromi. Untuk dua hal itu diperlukan konsumsi energi positif yang luar biasa besar, serta kekuatan yang melebihi kekuatan manusia normal ketika dibutuhkan sekedar untuk menandingi rasa ketersinggungan sesaat. Menampung amarah yang datang secara acak, amarah ngawur yang membabibuta terkadang menimbulkan pesimisme bahwa hal hal yang semestinya normal akan bisa diterima sebagai kedaan normal. Kecacatan mental memang membuat seseorang menjadi berperilaku aneh, tidak bisa difahami hanya dengan sekali asumsi. Merumuskan konsep penyelesaian yang paling baik bukanlah perkara mudah ketika matahati kabur tertutup oleh debu pergelutan iblis dan nurani, dimana nurani berulang kali kalah tak berdaya dan teraniaya.

Sayangnya ’melepaskan’ acap kali juga dirampok oleh pikiran iblis, dipelintir menjadi kerelaan hati untuk melepaskan prinisip nilai nilai kebaikan. Itu artinya ketidak mampuan nurani untuk menahan agar iblis tidak menyusun skenario pembalasan dendam yang paling keji. Ketika perang batin yang hanya menghasilkan luka batin permanen terjadi, orang lain hanya bisa berdiri dibalik dinding kaca, tanpa bisa berbuat apa apa untuk membantu.

Kompromi dengan hati sendiri memerlukan energi luar biasa banyak, mengumbar emosipun menguras semua energi positif. Sayangnya dua duanya dalah pilihan simalakamayang harus dijalani ketika murka membabibuta. Inti dari kompromi yang sebenarnya adalah penyadaran diri atas status sebagai si kalah atas keadaan yang tidak seusai keinginan. Si kalah yang harus ikhlas dan rela menerima kekalahan berbagai bentuk yang terjadi pada pengalaman hidupnya. Siapapun yang bisa melakukan itu, sungguhlah ia manusia kuat yang punya prestasi hebat; mengakui dengan kepala tegak sebagai pecundang.

Jika masih sanggup; tanggungkanlah!
Jika sudah tidak mampu lagi; lepaskanlah!
Kata maaf bisa terucap dari mulut, jutaan kali dalam sehari.
Tetapi cinta dalam hati, tak bisa dipungkiri dengan ucapan miliaran kali


Surabaya, menjelang pagi 100105