Tuesday, January 01, 2008

2008

Pijar bunga api dilangit basah menembusi gerimis yang mengambang. Keduaan berkawinan dengan perayaan atas usia yang bertambah tambah juga. Selamanya dalam hukum kefanaan, segala hal yang lahir akan menjadi tua lalu mati, musnah seperti tak pernah terjadi. Bahkan batu karangpun perlahan menjadi gerang, tanah kehilangan nyawa dan mati membawa petaka. Gunung gunung jugrug, balok jegot menenggelamkan rumah rumah, menenggelamkan kesukaan dan harapan. Tak tersisakan lagi asa, hanyut ke laut untuk kelak menjelempah bagaikan bangkai ikan dipantai yang kesepian, atau tersangkut di semak semak jadi tontonan sementara.

Segala sesuatu ada masanya, demikianlah perjanjian atas penciptaan dunia. Bumi semakin renta, rapuh oleh waktu yang terbantai dan cerita hidup yang silih bergantai laksana adegan wayang purwa. Mereka yang muda tak mengenal ketuaan, seolah selamanya hidup berisi perayaan. Keyakinan yang kelak akan menyesatkan isi hidup dalam harapan yang hanya menggapai gapai udara hampa, lalu bermetamorfosa menjadi sesal abadi penghuni kurungan hati.

Setiap detik yang baru lahir adalah keajaiban hidup yang tak terbanding dengan apapun yang ada. Setiap detik baru adalah hamparan harapan yang terkadang lebih banyak disia siakan. Bukankah jutaan tahun kehidupan juga berawal dari satu detik perawan? Dan setiap detik yang tergilas mati oleh jarum arloji menjadi tidak penting lagi. Tidak penting lagi apa yang pernah terjadi kecuali menjadi pelengkap ‘sandangan’ bagi mahluk hidup yang mengalami. Sebagian menggendongnya jadi daging penambah beban langkah kaki. Bukankah semesetinya yang berlalu dipelihara sebagai sejarah, benda mati yang kelak akan menjadi usang lalu rapuh sebelum musnah seperti halnya segala sesuatu?

Tahun baru. Setiap tahunpun ada tahun baru, dan setiap tahun pula resolusi diam diam dipupuk dalam ingatan. Bergantinya tahun, bertambahnya umur bumi berarti semakin rapuh demikian juga kehidupan. Peradaban akan berjalan mengiringi zaman, masa silam menjadi anak anak tangga pijakan menuju kekinian. Almanak di dinding sebentar akan terpuruk di gerobak abang pemulung, menjadi bangkai tak berarti, menjadi sampah penjijik pandang. Tidak ada waktu yang terlahir baru, semuanya hanya maju satu millimeter dari utas panjang cerita kehidupan. Kelahiran dan kematian selamanya bersandingan. Terompet dan jejingkrakan menyempurnakan kenaifan. Pesta merayakan ketidak mengertian akan bertambahnya usia hidup yang mengandung konskwensi pendewasaan.

Tiap butir air yang telah jatuh dari langit akan tetap menjadi air esok dan kelak. Dua butir gerimis yang datang menghampiri tanah malam ini akan menjadi limpahan bah yang menghanyutkan segala sukacita kelak. Biji buah akan tumbuh menjadi pohon, sebagian mati ditengah perjuangannya, mati tanpa menjadi pahlawan. Dan atas kuasa air, pepohonan akan memberi kehidupan sampai akhrinya kematian datang menjadi titah semata. Demikianlah hukum alam berjalan selama jutaan tahun. Dan dari tiap butirnya, kebijakan terkandung penuh makna.

Hidup adalah perjalanan dari dua titik bernama keabadian. Dan tahun demi tahun berisi catatan tentang kelahiran, tragedi, lalu kematian. Dan yang baru, adalah anugerah hidup; detik pertama setelah kematian detik sebelumnya. Mari memberi pada bumi, seperti yang selalu bumi berikan kepada kita; cuma cuma.

(Kita semua pengembara di dunia ini. Dari rumput manis sampai rumah pagan. Dari kelahiran sampai kematian. Kita mengembara diantara keabadian. - Broken Trail)

Gempol, 080101