Saturday, July 15, 2006

Klepto

Kaum (?) klepto barangkali ada sejak pertama peradaban manusia terciptakan, ialah mereka atau sesiapapun yang secara genetik maupun akhlak memiliki kecenderungan untuk menguasai hak milik orang lain dengan cara rahasia maupun terbuka.

Pada kelas yang rendah klepto sering disebut dengan julukan maling, pencuri, rampok, begal, copet, kutil dan sebagainya. Sedangkan pada level klepto yang lebih elegan orang sering menyebutnya sebagai koruptor, penggelapan, penipuan dan lain sebagainya. Intinya sama saja; mencuri atau mengambil atau menguasai hak orang lain tanpa seijin yang punya. Zaman yang lebih canggih lagi, maling di dunia maya disebut sebagai hacker dan memiliki klasifikasi sendiri dalam kejahatan maya atau cyber crime. Sedangkan kejahatan jalanan seprti maling ayam, maling jemuran, copet dan sebangsanya masuk kedalam klasifikasi kejahatan konvensional. Hukuman yang paling mengena tentunya adalah keroyokan massa, hakim di TKP, dengan sangsi babak belur atau bahkan mati ditempat; sebanding dengan nilai jual benda obyek kejahatanya; ayam dan jemuran. Kejahatan seperti ini (kejahatan-catat!) dalam dunia hukum lebih lazim disebut sebagai ‘pencurian’, sedangkan kualitas pelaksanaannya menentukan predikat nantinya, apakah pencurian biasa, pencurian dengan pemberatan, atau pencurian dengan kekerasan.

Obyek yang dicuripun tentu beragam, dari yang bertujuan material maupun yang bersifat pencurian informasi. Ketika seorang hacker mengacak acak isi mailbox e-mail, maka yang ia butuhkan hanyalah informasi dari lalulintas komunikasi e-mail si empunya account. Sedangkan pada tingkat yang lebih canggih, hacker kakap (maling kelas kakap) bisa mempergunakan informasi yang dicuri dari ID si korban untuk tujuan ekonomi, material.

Ketika infomasi yang bersifat pribadi diakses dengan seenaknya oleh si hacker, yang tercuri adalah privacy. Privacy yang hilang dicuri menyebabkan korban merugi secara moral, merasa seseorang dengan tanpa hak telah masuk mendobrak kedalam lemari simpananya, mendobrak gembok password dan membiarkanya teronggok tak bisa di akses lagi bahkan oleh si empunya account. Menjadi korban selamanya hanya berisi ketidak enakan. Berisi kegondokan, bahkan amarah yang terpendam. Pikiran yang pertama muncul ketika kita menjadi korban dari pencurian adalah tentunya apa yang telah hilang dicuri, kemudian menentukan kemungkinan kemungkinan siapa pelakunya lalu mengikuti motif apa yang menyebabkan si panjang tangan melakukan itu dan memilih kita sebagai korban. Dari sekian banyak rentetan itu kemudian akan muncul solusi pemecahan, berharap hal serupa tidak terjadi dikemudian hari.

Sikap reaksi dari si korban ketika sadar telah menjadi korban kehebatan (atau kerendahan budi?) si klepto adalah hal yang menarik untuk dibicarakan. Bahkan sebagian orang dengan legowo menerima saja apapun perlakuan orang terhadapnya, meskipun telah memilihnya menjadi korban. Orang yang seperti ini tentu bukan pertama kali mengalami menjadi korban, malah jangan jangan pernah kehilangan nilai yang lebih besar lagi yaitu kebanggaan diri atau mungkin martabat karena pencurian juga. Orang seperti ini telah mengalami satu kehilangan yang sesunguhnya, sebuah nilai yang tak tampak dari pandangan mata. Jadi segala sesuatu yang bersifat kepemilikanpun menjadi ikut hambar dari nafsu posesif. Berharap orang untuk tidak melakukan praktek permalingan apalagi memilih diri kita sebagai korban sama halnya dengan menjaring asap di udara. Ajaran budi pekerti maupun dogma hanyalah anjuran. Bahkan peraturan dan undang undang yang memiliki kekuatan memaksa sekalipun bisa diabaikan sedemikian rupa, dipermainkan sesuai ketrampilan berargumentasi.

Suka ataupun tidak, orang jahat memang ada dan hidup diantara kita, di lingkungan kita, membaur menjadi warna dari peradaban manusia di muka bumi. Dalam terminologi yang lebih halus ‘orang jahat’ banyak dinamakan sebagai orang yang kurang kesadaran. Mereka yang dengan sadar hati mentahbiskan diri sebagai kaum klepto, barangkali juga harus bergelut dulu dengan nurani sebelum kepintaran logika mampu mengalahkanya, menganggap bahwa perbuatanya tidak akan pernah ketahuan, dan kalaupun ketahuan tidak perlu sulit untuk menyangkalnya dengan kata kata. Kekurang sadaran akan pentingnya menjaga orang lain seperti halnya kita ingin juga diperlakukan sama oleh orang lain menyebabkan orang dengan mudah melaksanakan prinsip prinsip klepto atau permalingan.

Jadi benar kata bang Napi, bahwa kejahatan terjadi atas kombinasi tiga unsur penunjang; niat, kesempatan, dan kemampuan. Maka….Waspadalah….Waspadalah…!!!

(Khusus kepada hacker yang mengacak acak mailboxku, semoga rahmat dan karunia Tuhan selalu tercurah kepada saudara, semoga dimuliakan hidup saudara dan juga orang orang yang saudara sayangi. Amin)


Gempol, ketika hacker mengobrak abrik mailbox email 060710