Friday, June 09, 2006

Hikayat lemah sangar

Aku ingat sebidang tanah tandus di sebelah timur kampungku dulu, yang melulu berisi semak dan tumbuhan perdu. Tidak produktif, gersang dan mandul. Tempat itu menjadi arena bermain sekaligus lahan gembala hewan piaraan sewaktu aku kecil dulu, berada di kepungan sawah sawah oncoran yang subur, ia menjadi seperti pulau yang ditengah lautan sawah. Orang menyebutnya sebagai lemah sangar. Dongeng nenek dulu, tanah itu menjadi gersang demikian karena pada suatu ketika di zaman dahulu kala seorang ksatria pernah menangis dan meneteskan air matanya ke bumi, radius puluhan meter dari tempat air mata ksatria itu menetes akan menjadi gersang dan mandul, tak memberi janji berarti bagi kehidupan. Pesan moral dari nenek barangkali agar lelaki ksatria dipantangkan untuk menangis apalagi meneteskan air mata, sebab seorang ksatria adalah figur yang mumpuni dalam segala suasana.

Sebidang tanah gersang itu dulu, suatu kali terbakar hangus, terbakar oleh tangan manusia juga dengan tujuan kesenangan belaka. Rumpun rumpun rumput wlingi dan ilalang yang selalu berbau wangi hangus tanpa sisa, perdu perduan seperti orok orok, pohon duri, jlegor dan lainya tinggal menjadi onggokan onggokan gosong. Praktis kehidupan yang tadinya gersang menjadi semakin terpojok di rangkaian paling belakang rantai kehidupan. Kemarau kemudian memperpanjang gersangnya, menyisakan lemah sangar menjadi gurun kecil tanpa kehidupan, bahkan tanda tandanyapun tiada.

Kemudian atas kuasa alam, turunlah curah hujan. Dibawah tanah yang tak terlihat oleh mata harfiah, akar akaran hidup dalam kerahasiaan bentuknya. Hidup bersama para pemangsa dan sekaligus juga peneman yang dikodratkan harus demikian. Sejuk air hujan yang menelusup jauh kedalam bumi, sekedar mencari jalanya kembali ke angkasa itupun menyapa akar rumput yang mati suri, juga mengilhami biji biji rerumputan yang sempat gugur sebelum api memusnahkan rumah penghidupannya. Hujan seperti mengirimkan nyawa bagi mahluk mahluk hidup yang pasif ini, kemudian matahari membwa pemupuk semangat setiap pagi. Maka lemah sangar itupun perlahan ditumbuhi helai helai mungil berwarna hijau; daun kehidupan meskipun hanya rumput tanpa nilai materi. Tetapi kehidupan tetaplah kehidupan; berkah dan anugerah terbesar dimuka bumi.

Si akar rumput dan bebijian begitu perkasanya menahankan siksa api kebakaran dan juga tikaman matahari musim kemarau. Semangatnya hanya mengabdi kepada bumi, berharap silsilah tetap terjaga sebagai imbalan atas keberlangsungan kehidupan secuil lemah sangar tempat ia dan komunitasnya ada. Telah dibangunya sebuah investasi sosial sebaik kemampuanya sebelum ludas oleh satu percikan api durhaka. Sifatnya yang bukan pelawan telah dikalahkan kemudian diabaikan bahkan mungkin ditertawakan ketika perlahan ia luluh tak berdaya, hangus terbakar. Tak perlu menakar seberapa besar kontribusi kepada kehidupan, sebab pemberian bukanlah menjadi ukuran pengabdian.

Dinyatakan kalah dan salah (karena ia tumbuh di sebidang lemah sangar), ia tak mampu memberontak ke permukaan tanah kering yang memenjara amarahnya. Pembelaanya terhadap ketidak adilan yang hanyalah semata ketidak relaanya atas ego yang dilecehkan ketika jalinan ruhnya hanya berisi pengabdian bagi keberlangsungan satu gelembung kehidupan yang menjadi kebanggaan. Pemberontakan bisunya hanya menyisakan letih jiwa, merana tak menentu dipecundangi harapan dan keinginan basi. Lalu ia berhenti berharap apapun dari apapun, hanya menjalani kodrat sesuai amanat bumi. Kekalahan bertubinya melahirkann kontemplasi panjang tentang kekalahan itu sendiri, bahwa memang kehidupan berjalan atas konsepsi menang dan kalah bagi sebagian mahluk penghuni bumi. Terus memprotes kekalahan yang tidak adilpun hanya akan mempertajam setiap sisi makna kalah itu sendiri; tidak lebih baik dari sang pemenang. Tidak berharap apapun dari apapun adalah menerima kekalahan sebagai hal yang wajar (juga segala hal yang terjadi dalam kehidupan adalah kewajaran semata), seperti melepaskan seikat balon ke udara, ikhlas menerima kenyataan. Ikhlas tanpa menyembunyikan pertanyaan apapun, tak mengharap apapun.

Akan sampai kemudian datangnya hujan menggemburkan tanah dan matahari memberikan penghargaan terhadap peluang yang wajar. Giliranya kini, menjalani kewajiban untuk hidup menjadi sebatang rumput dalam komunitasnya yang sama; lemah sangar yang gersang tak bertuan, menjadi jelmaan dari ksatria sejati yang menangisi diri.


Gempol, 060609