Thursday, October 12, 2006

Sebuah mimpi buruk

Syahdan di suatu kala. Di sebuah ladang dengan tetumbuhan kacang tanah yang sedang tanggung umurnya, ada seorang perempuan berjubah panjang berwarna hitam, rambutnya panjang tergerai dipermainkan angin. Ia berteriak menyanyi dan menari membinasakan tetanaman kacang tanah yang sejuk di kaki jadi pijakan. Ia bernyanyi dan menari tanda kegirangan. Perempuan itu adalah sahabat kita yang kita kenal entah kapan entah dimana, bahkan aku lupa siapa namanya. Tapi wajah dan penampilan fisiknya begitu familiar buat kita. Perempuan itu terus bernyanyi dengan suara kencang, dari mulutnya menyembur nyemburkan nyala api merah kekuningan. Engkau tergesa gesa menusulnya, aku mengikutimu dari belakang dengan kecemasan yang kusembunyikan. Di wajahmu menampak kesal bersungut sungut. Ketika sampai di ladang kacang itu engkau terdiam, menangis di ujung pematang menyaksikan sahabat kita terus menari dan menyanyi kesetanan. Jelas engkau prihatin atas apa yang terjadi di pemandangan. Sedangkan aku, melompat riang ke tangah satu petak ladang dimana sejuk lembar tetumbuhan menyapa telapak kakiku. Aku ikut bernyanyi dan bermain lidah api bersama perempuan itu.

Ada gubuk kecil disana, seorang lelaki tua bertelanjang dada dan anak kecil yang juga bertelanjang dada di sebelahnya. Keduanya diam tanpa ekspresi, kulitnya hitam, matanya merah. Sorot mata keruhnya tajam, tak berkedip memandang aku dan perempuan itu menari dan menyanyi histeris. Aku terus melompat mengikuti nyanyian sahabat kita. Dua orang bertelanjang dada itu terus mengawasi, sinar matanya menelanjangi pengetahuan tentang diriku sendiri. Di ujung pematang tempatmu berada memuja rasa kini hampa. Engkau pergi lantaran kecewa. Perempuan berjubah hitam berambut panjang itu kini gembira mendapatkan teman menyanyi dan bermain lidah api. Tiba tiba api di mulutnya tak menyala lagi. Suara gemuruhnya tak ada lagi.

Nyanyian terhenti, tetarianpun diam. Bumi kembali sunyi. Tiba tiba aku merasa ada sesuatu yang besar dan berat menubruk dan membekap punggungku dari belakang. Sepertinya seekor anjing. Ya, seekor anjing yang besar dan hitam telah mencengkeram tubuhku dari belakang. Kedua kaki depanya berubah menjadi lengan lengan kekar yang kuat memegangi muka dan kepalaku. Aku memberontak sebisanya memberontak, memberikan pemberontakan terbaik sekuat tenagaku melawan rengkuhanya yang mengerikan. Terbayang gigi gigi tajamnya siap menghujam tengkuk, dan aku berkelahi sejadi jadinya melawan. Binatang itu tak berhenti menggeram marah. Suaranya menggemuruh memenuhi rongga pendengaran mas. Aku mulai cemas akan tergigit dengan kekuatanya yang aku rasa begitu perkasa. Aku bantingkan badan ke tanah, menarik kedua tangan binatang itu agar menyingkir dari tubuhku. Tetapi cengkeramanya begitu kuat. Aku gagal pada usaha pertamaku.

Pada satu detik aku memutar badanku, menyiku ulu hati binatang itu yang membuatnya menjerit kesakitan padahal aku tidak merasakan terjadi benturan. Sedetik kemudian aku hujani binatang itu dengan pukulan sekuat tenagaku, dan setiap kali menghujam tanpa benturan binatang itu surut mengendurkan cengkeramanya di tubuhku. Setiap pukulan membuat binatang itu berganti bentuk, yang perlahan berubah menjadi sosok manusia berwajah aneh, dengan pakaian serba putih. Wajahnya benar benar aneh, tidak punya ketetapan bentuk pasti. Warna kulitnya putih pucat seperti mayat. Wajah mengerikanya tampak murka oleh pukulan yang aku hujankan ke tubunya.

Inilah kesempatanku untuk lari menjauh dari monster yang kepayahan itu. Aku berlari menyusuri lorong sempit dengan tembok tinggi disamping kanan dan juga kiri mengarah ke luar dari areal perladangan. Rasa takut, letih dan cemas menggelayut disetiap langkah yang aku ayun cepat. Mahluk putih itu mengejar dan mengikutiku berlari, bayangan keganasanya menyerimpung langkah ringanku sepanjang lorong. Dibelakangku kini tampak anak kecil tak berbaju, mukanya merah karena marah dan ditanganya menenteng senapan laras panjang. Ia ikut mengejarku sekarang. Pada sebuah cabang lorong sempit itu, aku sembunyi menyambut pengejarku. Pengganggu pengganggu ini harus selesai di tikungan ini, pikirku. Ketika aku mengintip dari sudut tembok, anak kecil bermata merah itu ternyata telah siap membidikkan senapanya tepat ke arah bola mataku dari jarak sekitar satu meter. Serta merta kuhamburkan sangkar burung yang ada di samping kiriku untuk memecah konsentrasi bocah celaka itu. Anak kecil itu terganggu, dan sekali tendang maka selesailah perlawanan bocah sok jagoan itu, pikirku. Aku keliru. Ternyata anak kecil itu lihai menggunakan senjatanya. Badanya yang kecil lincah kesana kemari menghindari serangan kaki dan tanganku.

Tiba tiba aku ingat, aku harus kembali ke ladang itu. Tika ada disana, tadi ikut serta dalam perjalanan kita. Dia pasti tidak punya pikiran lain selain menungguku menjemputnya. Sungguh anak yang polos dan baru mengerti sedikit tentang permainan hidup orang dewasa. Sejurus kemudian bocah hitam itu telah berubah bentuk menjadi seekor anjing besar berbulu hitam yang semula menyerang. Aku berkelahi lagi sejadi jadinya, kepayahan kehabisan tenaga. Tapi aku yakin aku akan bisa mengalahkan mahluk celaka itu. Sat ketika aku jatuh tertelungkup melawan seranganya yang membabi buta, dan terbangun dengan nafas memburu, tersengal sengal dengan kedua tanganku mengepal, tersentak seketika duduk dari tidurku. Satu jam tidur yang mengerikan terbawa sampai kaki menapak alam kenyataan,. Iblis iblis itu ada disekitar kita, hidup di belantara mimpi. Mereka bersembunyi menunggu saat aku tertidur lagi entah kapan, untuk menyerbu dan memaksaku berkelahi lagi…


Gempol, subuh 061012