Wednesday, December 05, 2007

Pejalan sunyi

Dia yang kecil melangkah ringan, garis dibibirnya datar, menatap tak lurus tak juga menunduk, hanya berjalan saja menjauh dari kerumunan, pergi menjauh searah tenggelamnya matahari diujung bumi ketika senja mengurung padang belantara rerumputan. Malam sebentar lagi menyembunyikan ngarai dan lembah, jurang dan perbukitan bahkan pokok pokok pohon rindang yang biasanya menyajikan keteduhan akan segera lenyap dari pandangan. Sayup sayup masih terdengar di telinga mungilnya teriakan sang ibunda, berisi pesan kebaikan seperti layaknya seorang ibu kepada bayinya yang belajar mengenal kehidupan; “ jangan bicara dengan orang asing, jangan lupa bersihkan belakang telinga ketika mandi, jangan berenang sendirian, dan larangan larangan lainya yang mencerminkan betapa besar keinginan sang ibunda agar anak emasnya bebas dari segala sengkala dan celaka.

Pelukan terakhir, ciuman terakhir, dan doa yang menyamudera menyertai langkah mungilnya kini. Tekad sudah dibulatkan, niat sudah dikuatkan, dan berangkat adalah pilihan. Menejelajah belantara, menemukan kesejatian hidup diantara rahasia pepohonan dan lebatnya belantara. Ia terusir dari kelompoknya, terusir oleh perasaan ‘tahu diri’ yang ia artikulasikan sendiri dalam pikirannya. Betapa ia telah berusaha mengesankan siapa saja bahwa ia tidaklah berbeda dengan anggota komunitas lainya, tetapi tetap saja ia berpredikat beda. Orang orang yang dikenalnya telah serta merta menempelkan stigma rumit bagi dirinya sebagai orang negative, dengan pikiran dan sikap yang negative. Sungguh, ia hanya ingin menjadi yang sewajarnya. Ia terusir dari tempat dimana ia mengenal udara sebagai kehidupan dan cinta sebagai oksigen bagi jiwa.

Kaki kecil, langkah kecil bergerak zigzag menjelajah padang ilalang dan rumpun perdu, membawa rasa terbuang dalam angan angan. Mata mungil menembusi setiap lorong udara, mencari makna dari apa yang tak terlihat dari pandangannya. Bumi damai penuh cinta dimana semua tersedia melimpah, nun jauh dari bengis kelakuan para sebangsanya menjadi tujuan langkahnya. Sepanjang jalan sepi menelikung, menghadirkan sosok sosok raksasa yang lahir dari gumpalan masasilam yang berantakan.

Diperjalanannya ditemukan guru pemandu jiwanya, ialah yang mengajarkan etika dan tatakrama, tenggang rasa serta pentingnya mengalahkan diri sendiri untuk kehidupan disekelilingnya. Embun, angin, mendung, langit, pohon, daun, tanah, ranting, batu, satwa, rumput, dan segala yang hidup dan mati dari bagian bumi memberinya ajaran tentang kasih akan kehidupan, makna akan kesementaraan.

Kesendirian mengajarnya menjadi pribadi dewasa yang kuat dari terpaan puting beliung sekalipun. Kesunyian menjadi dunia miliknya, lengkap dengan monolog demi monolog panjang antara hati dan logika. Berinteraksi dengan sesama ternyata memberinya begitu banyak goresan luka, goresan luka yang diakibatkan oleh harapannya sendiri yang membentur karang terjal dan menghempaskannya dalam kekecewaan yang hanya layak dikonsumsinya sendirian. Mempertahankan diri dalam lingkaran matarantai sosial rekaan hanyalah membebani mereka yang merasa lebih penting dan baik bagi kehidupan. Dirinya hanya secuil dari mata rantai makanan terbawah yang tidak memiliki pilihan selain lari, sembunyi dan menunggu kebaikan para pemangsa kebahagiaan.

Ia menjadi raja atas bukan siapa siapa dan atas bukan apa apa. Savana maha luas menjadi istananya, dan berjuta anak pemikiran menjadi kawan dan musuhnya. Dunia dibawanya dalam pikiran, mengembara mengumpulkan helai demi helai pengalaman yang kelak akan dianyam menjadi sebuah mahakarya warisan bagi kehidupan selanjutnya. Ia tak punya tujuan, ia tak perlu tujuan. Ia berhenti ketika hati memintanya berhenti, ia berlari ketika pikiran memerintahkannya demikian.

Segerombolan orang mengaku teman tetap ada dalam angan angannya, mereka menyeringai dengan pedang bernama ego terhunus ditangan, siap mempersembahkan sobekan pada kulit dan dagingnya. Dalam kesendiriannya, ia menjadi seorang lemah yang perkasa, menempuh lebih jauh dari siapapun yang kini jauh ditinggalkannya, belajar lebih banyak dari siapapun yang dulu merendahkannya, dan bersyukur lebih banyak dari siapapun yang pernah menganggapnya permainan bagi kesenangan belaka. Ia kini punya dirinya sendiri seutuhnya, tempat kesalahan dan kebenaran ia muarakan dalam diam.

Pernah suatu ketika dikirimkannya pesan rindu lewat daun gugur kepada mereka yang pernah mengenalnya sebagai seorang pribadi, dan makian serta penghakiman didapat sebagai balasan. Dalam setiap nafasnya, ia titipkan doa kebaikan bagi sesiapa yang karena keadaannya pernah menjadi duri bagi hatinya…

Ciracas, 071205