Tuesday, January 05, 2010

Setetes embun penyejuk api

Malam menjadi tua. lampu lampu kota beku ditikam angin Januari, berkedip perlahan dikejauhan. Embun luruh ke bumi, tetesannya memaksa sejuk pada gambut yang tak henti mengobarkan api dendam, api yang terpendam nun jauh dibalik permukaan. Malaikat membisikkan kata bijak, dan bidadari mengirimkan tembang cinta paling indah sepanjang zaman. Sebuah tembang penyesalan yang mengalun melewati layu malam, menelusuri letih seharian mengikuti semburan magma dari timbunan amarah tak terkira.

Gerombolan iblis tertawa, berlari meninggalkan luka yang porak poranda. Mereka akan datang lagi dalam pola sesukanya, menyerbu dari segala penjuru, memuntahkan segala senjata selama tujuannya adalah untuk menyiksa. Mereka telah menduduki segala sisi hidup, mengintai untuk membantai prinsip kebaikan yang perlahan disemikan oleh kesadaran yang timbul tenggelam dipermainkan emosi dan logika. Kebijaksanaan sikap yang terkumpul dari sepotong demi sepotong pengalaman luluh lantak diinjak injak mereka yang riang berjingkrakan. Dan logika menemukan jalannya yang buntu. Langkah kaki menjadi mundur, pandangan matapun menjadi kabur.

Besok matahari akan datang lagi, memberi hidup bagi duri duri yang seolah mati. Barangkali juga akan memantikkan bara dibalik permukaan gambut yang telah jadi sanggeman ketika benih luka ditaburkan oleh angin dusta; berulang dari musim lalu ke musim berikutnya. Panas dan perih akan menghampiri, sumpah serapah akan jadi menu makan pagi, makan siang, makan malam dan doa sebelum tidur yang tak pernah lelap. Iblis telah merampas semua niat makan, tidur dan berkarya, tidak meninggalkan sisa untuk ruang kosong yang terlalu hampa. Tidak ada pembanding bagi bengis siksaanya.

Setetes embun layak dirindukan sebagai peredam perih dari luka menganga atas luka diatas codetan lama. Sesungguhnya luka hati tidak akan pernah sembuh secara sempurna. Ia meninggalkan larva sakit jiwa yang dapat bangkit dan tumbuh bagaikan belatung didalam dada, menggerogoti lambung hingga kepala. Ialah bayi bayi dendam yang disembunyikan dibalik terali bernama pengampunan tanpa permaafan, hasil dari peperangan panjang yang terus berulang dan hanya memproduksi kerugian. Mereka diredam dalam dinding rapuh bernama pengampunan sebagai pemenuhan atas tuntutan kewajiban dan aturan kepantasan manusia yang berperadaban.

Malaikat kecil yang hadir dari balik jendela kaca menjelang pagi, mengantarkan ramuan penawar sakit hati lewat bening malam ketika lampu lampu membeku di kejauhan. Memaafkan adalah obat mujarab bagi sakit hati sekronis apapun itu sakit hati. Memaafkan adalah melepaskan, merelakan, mengikhlaskan semua kejadian buruk yang menimpa di masalalu. Memaafkan adalah menerima masalalu sebagai bangkai waktu, yang berisi catatan yang tak mungkin dapat dimodifikasi sesuai selera. Apa yang terjadi sudah terjadi, dan tidak dapat direkontruksi kembali. Menerima kenyataan dengan tabah adalah cara kompromi yang pasti akan membahagiakan sekaligus membanggakan sebagai sebuah pribadi.

Tetapi sungguh tidaklah mudah untuk melepaskan, untuk berkompromi. Untuk dua hal itu diperlukan konsumsi energi positif yang luar biasa besar, serta kekuatan yang melebihi kekuatan manusia normal ketika dibutuhkan sekedar untuk menandingi rasa ketersinggungan sesaat. Menampung amarah yang datang secara acak, amarah ngawur yang membabibuta terkadang menimbulkan pesimisme bahwa hal hal yang semestinya normal akan bisa diterima sebagai kedaan normal. Kecacatan mental memang membuat seseorang menjadi berperilaku aneh, tidak bisa difahami hanya dengan sekali asumsi. Merumuskan konsep penyelesaian yang paling baik bukanlah perkara mudah ketika matahati kabur tertutup oleh debu pergelutan iblis dan nurani, dimana nurani berulang kali kalah tak berdaya dan teraniaya.

Sayangnya ’melepaskan’ acap kali juga dirampok oleh pikiran iblis, dipelintir menjadi kerelaan hati untuk melepaskan prinisip nilai nilai kebaikan. Itu artinya ketidak mampuan nurani untuk menahan agar iblis tidak menyusun skenario pembalasan dendam yang paling keji. Ketika perang batin yang hanya menghasilkan luka batin permanen terjadi, orang lain hanya bisa berdiri dibalik dinding kaca, tanpa bisa berbuat apa apa untuk membantu.

Kompromi dengan hati sendiri memerlukan energi luar biasa banyak, mengumbar emosipun menguras semua energi positif. Sayangnya dua duanya dalah pilihan simalakamayang harus dijalani ketika murka membabibuta. Inti dari kompromi yang sebenarnya adalah penyadaran diri atas status sebagai si kalah atas keadaan yang tidak seusai keinginan. Si kalah yang harus ikhlas dan rela menerima kekalahan berbagai bentuk yang terjadi pada pengalaman hidupnya. Siapapun yang bisa melakukan itu, sungguhlah ia manusia kuat yang punya prestasi hebat; mengakui dengan kepala tegak sebagai pecundang.

Jika masih sanggup; tanggungkanlah!
Jika sudah tidak mampu lagi; lepaskanlah!
Kata maaf bisa terucap dari mulut, jutaan kali dalam sehari.
Tetapi cinta dalam hati, tak bisa dipungkiri dengan ucapan miliaran kali


Surabaya, menjelang pagi 100105