Friday, April 21, 2006

Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904)

Semakin tua usia merambati nasib, ajaran luhur yang ditanamkan waktu kita SD waktu kita kecil tentang kepahlawanan semakin memudar karena berganti dengan nilai nilai cetakan dari pengalaman hidup sepanjang jalan. Pahlawan yang berakar dari kata ‘pelawan’ sudah tentu mengandung cerita tentang tokoh perlawanan pembela terhadap satu keadaan yang umumnya berlumur ketidak adilan. Si tokoh kemudian menjadi contoh panutan dan sekaligus tugu peringatan zaman atas jasa jasanya.

Pahlawan pahlawan non fiksi tecatat dengan tinta emas dalam sejarah setiap bangsa karena mereka membwa perubahan yang berdampak kepada jalanya roda sejarah selanjutnya. Rasa terimakasih dari generasi berikutnya kemudian dipelihara sebagai penghargaan kepada si pemberi perubahan kepada kebaikan tersebut, dengan peringatan peringatan, karnaval, bahkan upacara resmi kenegaraan terkadang. Dan itu terjadi ketika kita masih anak anak sampai remaja.

Hari ini semestinya juga berisi peringatan tentang sorang pejuang kesetaraan derajat gender, Kartini. Meskipun pada realitasnya sekali lagi, semakin tua pemeliharaan terimakasih dan hormat kepada Kartini makin menyusut. Setidaknya sejenak kita merenung tentang luhurnya cita cita dan kemuliaan budi pekerti wanita yang satu ini, yang pada zaman ketika beliau hidup dulu telah memiliki pemikiran pemikiran dan tindakan sehebat dan seberani itu, dan pada saat yang sama menerima dan menjalani realitas feoedalisme jawa dalam kungkungan system budaya rumah tangga yang super patriarki. Protes sosialnya elegan melalui gagasan gagasan yang mengalir melampaui semua batasan peradaban kala itu. Keterbatasan tehnologi, pengetahuan maupun komunikasi ditengah atmosphere kolonialisme saat itu dilumpuhkan hanya dengan sebuah keberanian dan keyakinan yang luar biasa cemerlang.

Setuju ataupun tidak, Kartini meletakkan batu fondasi kesetaraan gender hingga hari ini. Keberanian dan sikap sikap yang dituangkan dalam tindakannya saat itu telah menggeser paradigma perempuan yang hanya sebagai konco wingking dengan pameo surga nunut neraka katut - nya, atau anak bawang, atau lebih ekstrim lagi sebagai pelengkap dunia lelaki. Kartini melihat kesetaraan itu melalui mata nalurinya yang bening, namun toh tetap mengikut kodratnya sebagai wanita dengan keterbatasan dan pemahaman yang menyeluruh tentang kondisi zamannya yang kemudian melahirkan satu retorika bernama emansipasi.

Zaman melaju, wajah dunia berubah dan manusia dengan peradaban dan budayanyapun ikut berubah. Yang tidak pernah berubah adalah ‘manusia’ dengan kemanusiaanya, dengan kodratnya. Kepintaran dan kemajuan ilmu pengetahuan sering memperdaya artikulasi emansipasi sebagai satu dalih untuk menipu kodrat gender. Sebagian kecil perempuan mengartikan emansipasi sebagai satu hak mutlak untuk berbuat dan bertindak sama atau bahkan melebihi dari lelaki. Yang rendah akal budi ini mengartikan emansipasi sebagai persamaan kodrat, bukan hak. Padahal, sejak hari pertama dilahirkan dari rahim bunda antara laki laki dan perempunan membawa kodratnya sendiri sendiri yang tentu tidak sama. Perbedaan kodrat itupun oleh alam memang telah sedemikian rupa menjadi satu kelengkapan yang harmonis, ideal.

Bagi kaum hawa yang bijaksana menyikapi emansipasi sebagai hak perempuan untuk mendapatkan haknya sebagai perempuan, hak diperlakukan oleh laki laki sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan dan memperlakukan laki laki sesuai kodratnya sebagai laki laki. Kesadaran akan hak rembesan dari emansipasi ini tidak lantas memunculkan sikap pengingkaran terhadap kodrat wanita, sebagai ibu dan induk sebuah kaum, sebagai guru bagi tiap generasi dan sebagai penyandang keindahan mahluk Tuhan bagi kaum laki laki yang tidak serta merta keberadaanya diperuntukkan untuk kaum laki laki.


Sejenak mari kita diam, mengirim do’a yang khidmat untuk Kartini, sebagai sesuatu yang pantas untuk kita haturkan sebagai rasa terimaksih kita yang tidak terhingga.


Gempol, 060421