Sunday, September 03, 2017

Korupsi


 

 
Ketika liburan Idhul Adha tiba di hari terakhir, jalanan sepanjang Surabaya Jember melalui Pasuruan, Probolinggo, Randuagung bumi seiolah dipanggang oleh perkasa matahari. Panasnya memaksa orang waras untuk mencari teduhan atau sekedar menghindari sengatannya secara langsung. Deru kendaraan orang pulang liburan, dan orang merangkai riwayat kehidupan masing masing menjejali jalanan dengan berbagai cerita perjalanan yang mereka simpan diam diam. Rasanya semua orang tidak ingin diabaikan, justru pengen didahulukan atau setidaknya dianggap lebih penting dari orang lain. Konsep meras berhak diatas hak orang lain itulah yang menggerogoti tata krama adat nusantara di jalanan. Maka setuju jika Bang Ali menyimpulkan bahwa kehidupan sosial di jalanan adalah cermin dari isi keadaan sosial di seluruh negeri.

Setiap hari ada saja berita tentang pejabat yang ditangkap, atau dianggap turut bertanggung jawab dalam tindak pidana korupsi alias mencuri uang yang adalah hak negara. Dan kesemuanya meraka adalah orang orang yang memiliki status sosial tinggi, entah dari jabatannya atau entah dari jumlah harta yang dititipkan Tuhan kepadanya. Maklum, respect sosial bisa datang kepada orang yang berkuasa. Dan kekuasaan bisa datang karena adanya harta benda yang melimpah, kekuatan uang bisa menempatkan seseorang dalam status sosial tinggi di lingkungannya. Orang kaya akan lebih disegani ketimbang orang tidak kaya. Sialnya, orang yang merasa kaya justru merasa memiliki hak lebih banyak dari pada hak orang lain yang tidak kaya.


Sesungguhnya sikap arogan karena kekuasaan itu sudah menjadi gaya hidup kaum penguasa sejak zaman dulu. Ketika sikap yang kemudian diterjemahkan sebagai sikap hedonis itu menjadi gaya hidup, maka etika moral otomatis akan terabaikan. Mencuri uang negara kemudian dianggap sebagai dosa kolektif, atau bahkan kesalahan kolosal. Bukankah kejahatan yang dilakukan oleh banyak orang menimbulkan aspek beban moral yang semakin sedikit bagi pelakunya? Korupsi oleh pejabat setingkat bupati atau walikota, atau Dirjen, atau kepala ini itu dan bahkan di level level kepangkatan dibawahnya sekalipun semestinya tidak patut dilakukan. Persepsi ‘tidak patut’ tersebut boleh jadi keluar dari ukuran rakyat jelata yang tidak memiliki akses kekuasaan setingkat pejabat negeri. Bukan lantaran hak pribadinya yang terzolimi, tetapi ukuran ketidak patutan itu memantul dari kesadaran bahwa uang yang dimaling adalah uang milik negara. Uang milik negara adalah iuran setiap warga negara yang dikelola oleh management negara dan diperuntukkan bagi kesejahteraan yang merata. Patriotisme yang melahirkan definisi ketidak patutan itu. Patriotism atas rasa ikut memiliki uang negara sebagai asset property bersama warga bangsa. Tidak untuk memperkaya diri pribadi.

Jadi sebenarnya gaya hidup-lah yang patut diduga sebagai akar dari mental korup para pejabat. Dan sekali lagi perbuatkan meng korup uang rakyat semestinya tidak patut dilakukan oleh pejabat sebab pelaku sendiri sudah tentu dari golongan orang yang memiliki jabatan, kekuasaan dan kekayaan. Kaum elit di lingkungan rakyat kebanyakan! Segala kebutuhan hidup sudah disediakan oleh negara yang juga alokasi dari uang rakyat, bahkan jabatan memberikan akses kepada hak hak istimewa bahkan terkadang kemewahan. Berada terlalu lama di awan terkadang membuat orang canggung rasanya memijak bumi. Terlalu lama diistemewakan oleh kekuasaan terkadang membuat orang mengabaikan kesadaran bahwa ia adalah manusia biasa, yang lemah tanpa daya. Menjadi koruptor tentu saja sepaket dengan sikap sombong dan imitative.

Barangkali jarang terpikirkan bahwa mental pencuri uang negara bisa juga lahir dari kondisi birokrasi yang ada di lingkungan ‘pengabdian’nya. Seorang pejabat yang berkuasa atas suatu mandat negara diharuskan menjadi penerus pesan dari atasannya, para pengambil kebijakan. Persoalan persoalan kritis di kemasyarakatan dijawab secara politis, berlindung dibalik tameng birokrat dengan jawaban jawaban yang di plot sebagai blunder. Pokoknya blunder. Ketidak terus terangan lingkungan pengabdian itu bisa juga menjadi virus yang mengembang biakkan keberanian seorang pejabat untuk berbuat koruptif, atas jasanya menjadi penyampai pesan blunder terhadap sesuatu yang mestinya saklek.

Ketika korupsi semakin hari semakin menjadi jadi, maka dapat di simpulkan bahwa penindakan terhadap perilaku tidak patut tersebut ada yang kurang pas. Korupsi menghasilkan kekayaan diatas rata rata pejabat biasa, dan kekayaan diatas rata rata meimbulkan kuasa. Resiko hukuman badan atas pelanggaran pidana yang ambigu tentu dapat dianggap sepadan dengan kekayaan dan kekuasaan yang diapatkan. Jika sudah terlanjur kaya, maka menjadi pesakitanpun akan tetaplah pesakitan kaya. Dan pesakitan kaya tentu memiliki kuasa atas lingkungan tempatnya berada. Maka korupsi menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi. Orang tidak lagi menganggap bahwa kemartabatan adalah ukuran sosial politik yang tak dapat dipungkiri. Zaman sudah berubah menjadi semakin menjauh dari konsep kemartabatan. Kapitalisme tanpa sadar sudah menjadi adat kebiasaan dan tradisi sosial kita. Dan kapitalisme mengabaikan prinsip prinsip etika kemanusiaan, atau konsep konsep keseharusan.

Tanpa bermaksud menebarkan syak wasangka, berita berita terpercaya menyuguhkan fakta bahwa pelaku korupsi dan atau antek anteknya berasal dari berbagai lini birokrasi. Mulai dari pemegang kuasa yudikatif maupun legislative. Dari sector hukum dan peradilan yang semestinya menjadi pribadi pilar pilar penegak keadilan layaknya adegium fiat justicia ruat caelum (adegium ini mengandung perasaan anggun, gagah sekaligus bangga sebagai abdi law enforcement), dari sector kerohaniawian yang semestinya lebih mengerti dan mengamalkan apa itu perilaku amanah dan akhlak yang baik, dan sector sector lainnya yang memiliki fungsi begitu ideal sebagai alat atau aparatur membina negara yang gemah ripah loh jinawi. Kenyataaanya keleluasaan akses kepada kekuasaan itu yang diselewengkan dan disalah gunakan sebagai kesempatan untuk mencuri uang negara. Tentu mereka itu hanya oknum.

Jika golongan elit boleh menjustifikasi perbuatan malingnya sebagai bukan ketidak patutan sosial, maka tidak heran kemudian jika perilaku masyarakat kebanyakan menjadi seolah olah urakan, mementingkan diri sendiri dan mangabaikan kepentingan orang. Dan yang lebih mengenaskan lagi mengedepankan car acara kekerasan serta intimidasi atas nama kekuasaan. Setiap orang memang memiliki kekuasaan masing masing setidaknya kekuasaan atas kebebasan dirinya sendiri. Kondisi anarkis ini menjadi bukti bahwa menghormati orang lain berarti menurunkan ego pribadi. Dan orang enggan untuk menurunkan ego pribadi. Seorang koruptor yang sudah dikenal public sejak semula akan tampil dengan senyum imitasi dibalik seragam berwana dan bertuliskan “pesakitan yang terkonfirmasi”.  Mereka akan menjalani kehidupan penjara yang tidak sebegitu lama, dan mendapatkan hak hak istimewa sebagai narapidana kaya. Biaya untuk itu tidak perlu mengahabiskan hasil malingnya sampai sepertiga.

Budaya permisif terhadap pelanggaran nilai nilai luhur kemartabatan para oknum pejabat negara, dan anggota elit masyarakat jelata melahirkan hukum rimba yang mengerikan dan tidak menjadi perhatian. Hanya lantaran sebuah amplifier rusak orang sudah dengan mudah membunuh sesamanya, menukar nyawa orang lain yang jelas jelas tidak sebanding dengan nilai ekonomi dari sebuah ampli bekas. Orang makin dijauhkan dari kemartabatan, oleh sebab harta sudah menjadi ukuran baru pengganti kemartabatan. Penjahat penjahat kelas teri yang bernasib nahas ketika perbuatan mereka gagal harus siap menjadi pelampiasan atas kebuasan sesama manusia. Sepertinya ngeri membayangkan bahwa nyawa tidak lebih berarti dari sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Tidak banyak yang menyadari bahwa kebuasan kaum bawah adalah manifestasi dari busuknya perilaku para oknum pejabat yang semstinya menjadi panutan dalam membangun karakter bangsa. Penjahat kelas teri adalah yang paling tepat untuk menjadi pelampiasan atas frustrasi sosial rakyat jelata. Bukan lagi soal kemiskinan, tetapi lebih kepada soal hak pribadi yang merasa dianiaya. Mereka yang bernasib sial akan mati hangus di selokan atau diperlakukan bagaikan bukan manusia hingga tinggal menjadi pengisi berita criminal. Lalu lesap tak ada cerita lanjutnya. Padahal mereka yang mati hangus dibakar massa atau mati dengan badan cerai berai diamuk warga juga adalah pejuang bagi orang orang yang disayanginya. Para korban pembunuhan massa direnggutkan begitu saja dengan cara sadis dari orang orang yang disayanginya dan menyayanginya.

·        Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam. Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhaan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan.

Sumber: Mereka Yang Dilumpuhkan (1951)

 

 

 

Jember, 170903