Saturday, August 05, 2006

Bangku plastik biru beku

Gerbong gerbong keresahan dan kesedihan datang dan pergi, melintas dan kadang terhenti sejenak untuk bergerak dan lenyap dalam kubangan ingatan. Di stasiun beban kejut dari kedatangan sebanding dengan tonase dua hati, dua ingin, dua badan yang dipisahkan jarak semakin menjauh. Inilah sebuah tulisan tentang romansa stasiun, dimana miliaran cerita hati yang diceraikan dan dipertemukan silih berganti terjadi, dengan saksi yang itu itu juga, sederet bangku plastik berwarna biru, dengan suhu beku bagaikan es batu.

Kedatangan yang berjodoh dengan penantian acap melahirkan sebuah pertemuan, yang kemudian diikuti oleh kegembiraan yang membuat jarum jam melipat gandakan gerak rotasi. Pertemuan fisik sebagai konfirmasi bahwa hati benar adanya (Q), disimbolkan dalam moment hitungan menit ketika senyum lebar menyambut dan kemudian tangan melingkar terasambut. Detik itu jarak terbunuh dan rindu yang menindih perlahan membias dalam percakapan panjang dengan bahasa sederhana; cinta.

Demikian juga perpisahan yang masih disaksikan oleh bangku biru beku berderet mentertawakan kesedihan dari dua jiwa yang diceraikan oleh menggelindingnya roda ke arah yang berlawanan. Ketika pertemuan mengkonfirmasi bahwa hati benar adanya, demikian juga perpisahan. Beban yang timbul dari rasa yang membandul meniadakan senyum berganti dengan kelopak mata yang menggenang, mengaburkan pandangan. Sebentar lagi jarak akan mengambil haknya, tak peduli luka sedalam apa ketika peluit stasiun menghentakkan keberangkatan. Lambaian tangan sesudah ciuman terakhir menterjemahkan hati yang gulung koming tak menentu, keruh oleh kesedihan yang mengharu biru.

Sederet bangku biru dingin membeku tak berhenti sibuk mencatati kisah kisah dramatis pertemuan dan perpisahan di tempat yang sama. Ia tak peduli dengan bumi pijakan sebelum dan sesudah terjadinya pertemuan dan perpisahan ketika gerbong gerbong cerita memuntahkan muatanya di tempat yang sama; stasiun pemberhentian kisah kehidupan. Setiap individu adalah kereta dengan gerbong pengalaman masing masing dan dengan track nya masing masing. Tak saling bersentuhan kecuali ketika singgah di stasiun pemberhentian untuk kemudian melaju kencang ke bilik dunia lain lagi, ke stasiun lain lagi tanpa seorangpun pernah tahu dimana lagi mesti berhenti dan kapan lagi mesti kembali.

Demikian juga kisah hidup yang menjadi penumpang dari kereta kehidupan, melulu saja berisi scenario tentang menanti kedatangan dan mengantar keberangkatan di stasiun pemberhentian. Di stasiun, diantara deretan bangku plastik warna biru yang dingin membeku, segala cerita berawal dan bermuara untuk terus berlalu dan berulang dalam siklus cerita setiap manusia. Dan, dari segala yang cerita yang tersaksikan, tak satupun mengerti persis tentang apa yang terasa, padahal semuanya hanya tentang rasa…

Mozes Kilangin Airport – Timika to Gambir 060805