Wednesday, March 29, 2006

Membangung karakter dengan dongeng

Radio RRI Madiun pada jam setengah lima sore pada 1977an, setiap hari Jum’at pak Har akan membawakan dongenganya dalam bahasa Jawa. Suaranya yang terdengar khas bijaksana dan intonatif selalu mengantarkan cerita cerita yang selalu menakjubkan, tidak rugi menanti seminggu penuh setelah cerita yang berdurasi setengah jam tanpa iklan itu. Dongenganya membuat dunia otak anak anakku secara naluriah mencari dan menggabungkan inti makna cerita. Dirumah Mbahe, dari radio merk National dengan tulisan hitam Nusantara dalam cetakan miring, radio dua band dengan dua tombol bertuliskan suara dan gelombang. Dan mika transparan pelindung angka penunjuk gelombang frekwensi yang kutandai dengan garis dari pisau lipat, angka dimana Pak Har selalu datang setiap Jum’at sore untuk ‘putra putri’ nya yang setia.

Masa itu memang dunia hanya berisi sesuatu yang serba penuh keingin tahuan dan mudah sekali berkembang menjadi angan angan panjang, bahkan sebagian tertanam menyatu dengan darah dan otak, latar belakang kepribadian. Mbahe juga suka mendongeng, tentang hal hal yang bagiku serba mungkin dan memang ada, entah didunia sebelah mana yang nanti akan aku jelajahi kalau sudah dewasa. Mendengarkan Bue membacakan cerita dari buku pinjaman dari perpustakaan sekolah adalah masa yang luar biasa indah, menjelang tidur. Itulah waktunya Bue menitipkan mimpi indah bagi anak anaknya yang mencerna esensi cerita dengan caranya sendiri sendiri dalam bathin. Gaya Bue membaca dan juga sampai ke detail dialognya menayangkan gambaran multivisi dalam otak, serba indah, tentang dunia antah berantah disatu tempat dibumi ini juga.

Impresi tentang si baik hati, si malang, si licik jahat, si tekun, si cerdik dan karakter karakter lainya pasti ada dalam cerita Pak Har, Mbahe, Bue maupun dalam buku bacaan dongeng. Setiap karakter membekas sebagai sebuah cermin dalam dunia permainan selepas cerita itu menghilang dari pendengaran maupun ketika kata terakhir dari cerita ditulis ‘sekian’ atau ‘selesai’ atau ‘bersambung’ sekalipun.

Betapa kaya dunia anak anak dulu dengan dongengan dongengan indah, dari legenda, fabel sampai sekedar fiksi belaka, semua merangsang otak untuk mencari dan membuktikan kebenaranya nanti jika dewasa. Fabel dimasa kanak kanak tentu bukan cerita konyol jika kita memandangnya sekarang. Dunia anak anak siapapun orang dewasa pasti pernah melewatinya, dan masih bisa biarpun sedikit menengok kembali rasanya, cara memandang sesuatunya.

Ketika televisi tiba tiba menjadi benda yang menjamur, tokoh tokoh dongeng ini berganti serta merta dengan tokoh tokoh kartun, jagoan jagoan tak terkalahkan dan alat alat tehnologi diluar jangkauan akal pemikiran, yang justru menciutkan nyali untuk kelak melakukan pembuktian atau pencarian. Terlalu gamblang menyugukan ketidak mungkinan kecuali kesan, bahwa lebih jauh lagi dibelahan bumi yang lain sana orang sudah punya super hero yang individual, bisa terbang, tak terkalahkan dan berwajah tampan. Kekuatan kekuatan gaib dimiliki sebagai sarana pemberantas kejahatan sampai menghancurkan monster yang mengancam keutuhan planet bumi. Haih!

Dan zaman semakin instant. Dunia pandang anak anak tak berubah dari sejak tahun satu. Dunia imajinatif yang kemudian menjadi pijakan arah uraian langkah langkah sikap sepanjang perjalanan umur menyikapi setiap kejadian yang menghampiri sepanjang masa penghabisan umur. Menjadi karakter sebuah kepribadian setelah menginjak dewasa kelak.

Cerita dongeng, selalu mengandung pengetahuan dan nilai moral yang sederhana dan dapat dengan mudah dicerna oleh mesin berfikir anak anak, karena sesuai dengan pola fikir kanak kanak. Setiap dongeng selalu mengajarkan tentang perjuangan hidup, meniadakan tembok tembok sosial seperti etnis, agama, suku, dan asal muasal. Dongeng adalah konsumsi anak anak yang universal. Anak anak berlajar sesuatu dari dongeng dan yang utama mengenal norma norma sosial. Dongeng dapat membangun karakter kepribadian, tapi sayangnya hanya sedikit orang tua yang memiliki kemampuan mendongeng yang baik, yang sanggup meng’hipnotis’ sang anak untuk memasuki dunia cetakan karakter yang atraktif sekaligus menghibur.

Tanpa harus mengadopsi cerita kepahlawanan yang ngoyoworo dari negara lain seperti tokoh tokoh komik maupun kartun, Indonesia memiliki kekayaan dongeng dan legenda yang jika dikemas dengan apik dan kemudian semua orang tua peduli kepada anak untuk menyuguhkan itu kepada anak anaknya, dengan pesan moral yang bukan diktatif , maka atas ijin Tuhan pembangunan karakter bangsa itu akan tetap masih bisa dilakukan, dengan fondasi yang benar untuk menopang bangsa yang besar. Kelak, anak cucu kita akan memiliki identitas nasional sebagai bangsa Indonesia, dan kita di akherat akan ikut bangga.

060329

(Hormat dan salut untuk Mas Bambang Bimo Suryono - Jogyakarta)