Tuesday, October 09, 2007

Sembilan Oktober












: Chronicles

Tiap orang yang hidup pernah dilahirkan disebuah hitungan hari dalam kerucut bulan dan tahun tentu. Bahwa segala yang hidup dihasilkan dari ketiadaan, dilahirkan melalui proses beranak pinak.

Sembilan Oktober melahirkan banyak bayi bayi kehidupan baru. Bayi bayi yang kemudian tumbuh di ruh tiap jiwa, membawa kisah hidupnya sendiri sendiri serta melakonkan perannya sendiri sendiri, masing masing. Sembilan Oktober melahirkan juga sebuah dunia temuan baru, tak bertuan dan teduh menenangkan. Dunia Tak Bertuan. Dimana kemudian dua hati yang berjauhan dipertemukan, dileburkan segala keterasingan dalam ketelanjangan nurani yang penuh. Peleburan yang melahirkan senyawa yang menghidupkan dunia tak bertuan itu dengan drama drama kehidupan penuh warna cinta cintaan. Begitulah jika dua hati bersenyawa.

Langit, udara, awan, matahari dan lumpur menjadi bernyawa. Luka yang menganga telah menemukan tabibnya. Tabib ajaib dari daratan seberang, permaisuri sang naga yang di punggungnya tersimpan cerita hitam, tentang cinta yang melukai, melumpuhkan dan menjadi beban. Dibawanya kian kemari dalam diam, memelihara iblis dalam setiap sudut pikiran. Senyawa mematikan jarak. Dua hati sebelah menyebelah, tertaut dalam tali kalbu sehingga menyatukan syaraf perasa. Dunia tak bertuanpun kemudian memiliki nyawa, pikiran dan impian. Dua hati menjelajah rimba perawan hanya berjalan tanpa tujuan, berharap menemukan serpihan demi serpihan kebahagiaan masa lalu yang terlanjur menjadi setan.

Dunia tak bertuan menjadi perlindungan, dari bengisnya hidup penuh kepura puraan. Dua hati dua cuilan puzzle, saling menemukan sisi dan bersinergi. Bahasa hanya dengan hati, sebab logika mengikut atas kehendak sang raja. Hatilah sang raja itu, yang juga sahabat sang logika. Sungguh dua kubu yang gemar saling menentang, memprotes bahkan terkadang berperang. Entah terbuat dari apa hati mereka, sehingga menjadi malaikat yang terluka. Luka menganga yang akan menjadi codetan berisi cerita melulu tentang kekalahan. Ya, kekalahan setelah memutuskan diri menjadi pahlawan yang kesiangan. Penjelajahan melahirkan mendung dan hujan tangis setiap kali kereta diberangkatkan dari stasiun tua yang itu itu juga. Pun terkadang menuntun menjadi musafir, menyusur jejak sang Musa; membelah laut membunuh jarak.

Sembilan Oktober kini telah berabad abad lewat. Pohon teduhan yang tertanam telah rindang mengakar kedasar bumi. Sepotong demi sepotong kisah telah terbagi, dalam setiap detik yang terlewati. Jauh menjelajah di rimba perawan dunia tak bertuan, tak juga lelah kaki mengangkah. Menjelma mereka, menjadi matahari dan embun pagi. Yang satu menghidupkan, dan yang satunya memberi kehidupan. Hingga saatnya logika kembali memberontak, menginginkan diri menjadi raja. Ada saatnya matahari turun dan embun yang bekerja, ada saatnya malam tiba seperti halnya pagi yang datang tiba tiba. Waktu menjadi penguasa, dimana memakasa tunduk atas kehendak memberi penghargaan yang layak bagi bumi manusia. Semoga amputasi tak akan menyebabkan mati, hanya jasad yang dipisahkan oleh tajamnya pisau peradaban. Adat istiadat rekaan manusia dengan maksud memberi pagar bagi emosi yang tak memiliki perintang. Menyerah pada logika yang gagah bermahkota kini, tunduk takluk melepas raga. Waktunya mengemas kenangan, sambil tersenyum tak dipaksakan. Dendam dan sakit hati tak dikenal disini. Keajaiban demi keajaiban tercatat jadi pelajaran, tersimpan rapi di almari kenangan. Menjadi pijar setiap kali gelap menyergap ingatan, harta berharga yang tak terwariskan.

Sembilan Oktober menjadi saksi, kisah cinta sepanjang abad antara embun dan matahari.


Gempol, 071009