Thursday, May 22, 2008

Rindu Buta Tuli

Aku rindu pada perempuan itu, yang pernah mengigit pundak dan mencubit pahaku, meremas hati. Yang pernah membagi setiap helaan nafas dengan oksigen yang sama, menelusuri sifat dan menjelajahi persekutuan asing yang menyenangkan dalam debaran jantung kencang. Matanya menatap harap, seolah menemukan separoh dari langit yang melingkupi duniannya. Harapan yang menempatkan di singgasana paling rahasia dalam hati dan hari harinya. Menempatkanku sebagai laki laki bagi keperempuanannya.

Tiga abad tak bertemu, hatiku tertimbun rindu. Rindu yang beranak pinak memenuhi setiap lorong di rongga dada hingga kepala. Pada tatapmu yang teduh merayu sempat menjadi titipan serpihan hatiku yang hancur berantakan kala itu. Menyediakan panic button dan; piranti komunikasi istimewa yang hanya kita berdua memahami cara menggunakannya. Begitu pribadi dan berlumur tawa bahagia.

Aku rindu cerita tentang ketidak mengertianmu atas hidup yang berjalan misterius, terkadang melenceng dari garis harapan. Pada hari hari yang sunyi, kita pernah saling menemukan diri. Aneh! Justru di kesunyian itu kita bertemu di halte tempat kita biasanya setia menunggu. Dunia yang sepi, tempat kita berteman dengan iblis dan matahari, kedua duanya jauh dari jangkauan kendali kita. Kecil dan berpelangi, tempat kita tak pernah berjanji, hanya bertemu dan kemudian bertemu kembali. Apakah kita memang berputar putar dalam selasar yang sama di bidang labirin bernama nasib?

Di peraduanmu yang sunyi dan maha luas, tubuh ringkihmu kau serahkan pada malam. Jutaan bintang nun jauh di atas atap rumahku menyambangimu, di tempat yang jauh tak terjangkau oleh hangatnya jemariku yang ditelikung rasa merindu atasmu.

Ah, perempuan indahku…aku rindu, sungguh sungguh merindukanmu…

(simpanlah rindumu untukku, agar dihamburkan nanti ketika kita bertemu suatu hari…di taman hati…)

SCBD - 080521

Thursday, May 08, 2008

Ranting Patah Si Pohon Rindang

: sahabat hati

Sangkakan rinai gerimis selimutkan sejuk kesegaran, rupanya yang datang curah hujan sekepalan sekepalan tangan. Bagaimana lagi mesti menghormat ketika kepala telah merunduk serendah mata kaki, merelakan arogansi ego merontok oleh pengharapan akan sebuah penghargaan. Telah menyengaja kokoh menjadi penjaga hati rapuh laksana sebutir telur, menyembunyikan air mata kepasrahan di setiap jamban singgahan. Aku telah begitu keji membunuh egoku sendiri sebagai bukti tertinggi nilai cintaku padamu dan apa yang telah terbangun sepanjang usia perkawinan.

Lama lama aku menjadi budak yang bertuankan ketaatan kepada nilai nilai sesuai aturan kepantasan, tatanan perdaban. Aku rela memperbudakkan diriku padamu, itupun sebagai bukti betapa aku mencintai dan menghormatimu. Aku menyembunyikan sedihku atas ketidak mampuanku mengurai simpul simpul kemacetan di dalam sindroma demotivasi laki laki yang terjadi di dunia batinmu, kekasihku.

Hari ini ada kesedihan datang, hati perih terinjak injak oleh sikapmu yang seperti layang layang kehilangan kekang. Sebaik baiknya kewajiban telah terbayar tunai sejak subuh hingga petang, memanfaatkan keberuntungan yang langka di kehidupan. Andai aku bisa memberi pasti engkaulah orang pertama yang akan kubagi. Tetapi Tuhan memberikan apa yang tak bisa terbagi dengan individu lain. Tuhan menganugerahi kita dengan property intelektual yang kini menjadi pupuk penyubur yang memberi kehidupan atas dunia kecil; perkawinan kita. Tetapi bahkan pupukpun telah sengaja kau pilih untuk menjadi kambing hitam si penerima kesalahan ketika usia merongrong perlahan.

Pohon rindang, peneduh segala kesenangan, surga kecil ditengah ganas gurun tak bertuan, rantingnya patah tertebas tajam pedang atas nama dominasi gender. Patah melayu, getahnya meleleh menyusuri lekuk lekuk dan pori pori kenangan dan penyesalan. Kekecewaan memproduksi rasa sakit hati sebagai akibat dari pengharapan yang menemui pepesan kosong, bertepuk sebelah tangan, kecele yang menyedihkan. Luka parah sampai ke ujung darah hingga tabib satu satunya yang paling sakti hanyalah sang waktu. Waktu akan rajin memberi asupan gizi pengalaman pengalaman baru, hingga sampai pada satu moment yang mengamini ketika bathin merasa bahwa hati yang pecah, ranting yang patah hanyalah satu dari cerita kejadian yang harus terjadi, harus dialami. Sang waktu akan dengan sendirinya meracik obat sakit hati dan memberikan kesembuhan. Dan setiap kesembuhan melahirkan rasa syukur yang amat mendalam, betapa kesulitan telah memberi kemudahan untuk melintas di jalan kehidupan yang makin terjal.

Bertahanlah sahabat hatiku, di setiap tepi mendung tebal selalu ada garis keperakan, pertanda kecerahan tetap ada di balik gelapnya dukamu saat ini. Biarkan sang waktu menjalankan tugasnya, mencatat setiap kejadian yang dialami bathin manusia, lalu menorehkannya pada dinding zaman sebagai cerita manusia, para pelakon sandiwara bernama kehidupan dunia.

SCBD - 080507