Wednesday, August 16, 2006

Enampuluh Satu

(renungan untuk peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia)

Enam puluh satu tahun sudah negeri ini dideklarasikan sebagai negeri yang bebas merdeka dan berdaulat penuh sebagai sebuah negara, lengkap dengan pemerintahan, territorial, dan tentu rakyatnya. Sebagai sebuah bangsa, nasion, enam puluh satu tahun bukanlah masa yang singkat untuk bisa memanfaatkan fungsi kedaulatan itu bagi kemakmuran seluruh isi negeri semakmur makmurnya. Lika liku perjalanan sejarah sebuah bangsa pasti selalu diwarnai tragedi, intrik maupun kesalahan kesalahan prediksi oleh sebab mengemudikan sebuah negara sama saja meletakkan dasar dasar yang akan dipijak dimasa yang akan datang yang notabene undpredictable.

Dari sistim kemasyarakatan yang monarkis dan terkotak kotak di zaman baheula tua kemudian disepuh sedemikian rupa dengan kebudayaan barat yang dibawa bangsa belanda dari belahan utara bumi pada zaman baheula lebih muda, mental kebangsaan kita mengalami transisi yang ekstrem, dari kebanggaan menjadi sebuah kaum yang kental dengan rasa handarbeni, hangrungkebi dan hangrosowani, kemudian dibalik grempyang menjadi kaum budak yang tunduk luruh dibawah kaki kaum penjajah, hanya karena orang putih dianggap lebih maju, lebih beradab dan tentu dipercaya lebih bijak. Hasilnya sama sama kita tahu, tigaratus limapuluh tahun lebih nenek moyang keturunan kita dikebiri sedemikian rupa hak haknya sebagai nasion menjadi budak di tanah kelahiran sendiri dan dijauhkan dari peradaban asal muasal.

Menilik dari sejarah pula, kita bisa simpulkan bahwa memang bangsa ini sejak zaman dulu adalah bangsa yang rendah hati, andhap asor dan tentu murah hati. Keramahan dan permakluman bangsa ini banyak diartikan sebagai kemalasan bahkan lebih mencolok lagi diartikulasikan sebagai kebodohan oleh kaum putih pada masa lampau. Apakah benar nenek moyang kita bodoh? Pendapat itu menurut saya sama sekali keliru. Bukan karena pandangan subyektif yang muncul karena kita ada karena mereka, melainkan lebih kepada penilaian bahwa setiap bangsa memiliki local environment – nya sendiri sendiri dan tingkat kecerdasanya sendiri sendiri. Hanya saja aturan dunia, tingkat kecerdasan lebih diukur dari penguasaan terhadap hal hal materialistik kemajuan ilmu pengetahuan. Pendeknya up to date mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan bangsa Polynesia yang menduduki kepulauan membentang dari Sumatra sampai Papua ini memang memiliki kareakteristik yang konservatif, memelihara budaya dan peradaban nenek moyang sebagai kebanggan dan jubah kebangganya. Sayangnya karakter seperti itu mudah ditembus melalui individu individu, pencekokan terhadap cara berfikir dan tentu propaganda yang menyesatkan maupun tidak menyesatkan tentang jati diri sebuah kaum.

Tigaratus limapuluh tahun lebih menjadi kambing congek bangsa lain tentulah meninggalkan bekas mendalam kepada perubahan karakter mental berfikir bangsa ini. Mental karakter bangsa terjajah! Gembar gembor kemerdekaan menjadi jargon mujarab bagi para agitator politik bangsa tanpa bisa melepaskan diri sendiri dari mental terjajah. Demikianlah kaum terjajah, yang mengidamkan kebebasan sebagai satu hadiah, yang bagi bangsa ini harus dengan susah payah dan pengorbanan luar biasa baru bisa diraih. Mimpi bagi kaum yang terbelenggu semuanya sama, kebebasan! Dan dalam kebebasan itu berisi bermacam macam nilai kebaikan yang menjanjikan, kebebasan sebagai ladang garapan untuk membangun negeri agar semua menjadi makmur.

Bagaimanapun juga kita patut berterimakasih kepada Belanda sang penjajah, karena mau tidak mau, suka tidak suka, banyak dasar dasar administrasi pengelolaan negara ini diletakkan oleh mereka. Belanda juga punya andil dalam membangun produktifitas asset negara maupun pengelolaanya. Dan yang lebih penting lagi, kita patut berterimakasih kepada Belanda sang penjajah karena diwariskan kepada kita bangsa terjajah ini sebuah semangat persatuan sebagai satu bangsa yang utuh dengan kesadaran bahwa kita terdiri dari ratusan ribu etnik, adat, budaya yang memiliki spesifikasi sendiri sendiri. Warisan berupa semangat persatuan itupun barangkali bukan tepat sebagai warisan sebab semangat itu terbentuk dari pengalaman empiris berkepanjangan ditambah dengan arus zaman yang memungkinkan orang untuk memiliki hasrat membangun dan maju melangkah kedepan, menyongsong tantangan zaman.

Toh kenyataanya, semangat kesatuan itu pula yang menjadi ujung tombak dari terwujudnya kemerdekaan, pengakuan atas kedaulatan bangsa sendiri atas diri sendiri. Kesatuan melahirkan gagasan gagasan brilian tentang bagaimana mengelola sebuah bangsa, melahirkan individu individu idealis yang memiliki sitemap lengkap tentang rancang bangun sebuah pemerintahan yang absolute. Ketika ‘bola’ kedaulatan itu sudah berada di tangan, kemudian yang terjadi adalah debat demi debat panjang tentang pola pengelolaan yang dari satu kepala dengan kepala lainya tentu berbeda. Bahkan perbedaan itupun acap kali disikapi dengan cara yang berbeda pula. Enam puluh satu tahun sesudah Soekarno membacakan proklamasi, bangsa ini masih saja berkutat dengan definisi definisi yang melebar, dan sedikit melupakan arti harafiah dari kata “m.e.r.d.e.k.a” itu sendiri.

Penulis yang pendek nalar ini mengartikan kemerdekaan sebagai kebebasan sebuah negara, sebuah bangsa dari segala macam ancaman dan ketakutan. Kemerdekaan semestinya adalah sertifikasi dari kebebasan akan rasa tertindas, perlakuan tidak adil, maupun kebebasan dari rasa takut dari apapun. Makna kemerdekaan itu sendiri lebih detail seharusnya menjadi landasan mental nasion, setiap individu bangsa Indonesia. Sebuah pola pemikiran progresif yang menegaskan bahwa baik buruk, kemajuan maupun kemunduran bangsa ini terletak pada individu tiap gelintir manusia yang mengaku sebagai warga negara Indonesia. Kemerdekaan idealnya disikapi sebagai sebuah tonggak baru untuk melangkah maju bersama sama, membangun dan memelihara demi tercapainya kesejahteraan setiap gelintir manusia penghuni negeri. Kemerdekaan memberikan peluang seluas luasnya kepada kita untuk turut berpartisipasi secara penuh untuk mewujudkan gagasan gagasan agung itu.

Tetapi apa lacur? Mental karakter sebagai bangsa terjajah masih lebih mendominasi bangsa ini. Kebebasan bagi sebagian orang (kapanpun masanya) lebih dilihat sebagai peluang untuk memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi. Semangat kesatuan sesudah enampuluh satu tahun merdeka terasa lebih mengendur, berubah menjadi kotak kotak labirin oligarki. Dalam kaitan pengelolaan negara, tidak ada hal yang menjadi sederhana di negeri ini. Undang Undang Dasar sebagai landasan konstitusional paling sahih di negeri inipun sering hanya dilangkahi, atau dipajang di rak buku sebagai simbol, bukan pelaksanaan atas nilai yang terkandung didalamnya. Mental purba yang memandang hal hal yang datang dari luar dan tak diketahui pasti dianggap sebagai sesuatu yang lebih bagus dan patut untuk ditiru. Pendidikan generasi mendatang lebih didominasi oleh tayangan televisi yang lebih banyak menonjolkan kebobrokan akhlak maupun tontonan tanpa nilai yang dicap sebagai hiburan yang melambungkan mimpi mimpi dan membuat anak anak kita jadi gemar onani. Dari mana datang semua budaya baru itu sesudah enampuluh satu tahun merdeka? Dari kerajaan Majapahit? Samudera Pasai? Hikayat Hang Tuah? Atau kitab ramalan Ranggawarsito? Atau hikayat hikayat yang mengandung petuah luhur bagi pembentukan nurani generasi muda dari setiap pelosok negeri? Jawabanya kita tahu, bahwa semua bukan berasal dari itu semua. Tivi dengan canggihnya mencekoki otak anak anak kita dengan mimpi, menggembosi karakter tunas tunas muda bangsa ini menjadi kaum tanpa akar, hidup menggantung di dahan pohon mati.

Apa yang kita harap dari generasi muda dengan bahan mental dari tayangan tivi? Kita tentu tahu pasti bahwa enampuluh satu tahun setelah kemerdekaan, bangsa ini belum memiliki karakter bangsa, masih gentayangan mencari jati dirinya yang terus diingkari sebagai sebuah kaum monarkis absolute yang mengemban teguh wawasan kebangsaan, yang memiliki rasa memiliki, melindungi, dan berani membela terhadap kepentingan negara dalam bentuk apapun. Bukan lagi sikap berlawanan arah antara pemerintah dan warga negara, penguasa dan rakyat jelata. Indonesia masih tetap menunggu lahirnya sebuah generasi berkualitas yang akan bisa mengelola negara ini dengan bijaksana dan mengembalikan semangat nasionalisme sebagai tali pengikat keberagaman isinya. Jika semua orang mengerti betul bahwa fungsi gelintir individu adalah untuk negara, maka kita tidak perlu risau lagi melihat tayang tivi tentang betapa gigihnya Satpol PP melakukan law enforcement bagi ketertiban umum, razia gelandangan, pengemis, anak anak jalanan, pembongkaran lapak pedagang kaki lima, razia pelacur dan sebagainya. Darimana semua itu datang dan berkembang? Kita tahu, bahwa semua bermula dari ketidak becusan pengelola negara menjalankan fungsi elemental sebagai pengemban, pengayom, pelindung dan sekaligus pemimpin rakyatnya. Mari berkaca didepan cermin besar, betapa banyak atribut asing menempel di tubuh dan pakaian kita dan tak satupun menerbitkan patriotisme yang membanggakan.

Enampuluh satu tahun setelah kemerdekaan, kita masih tetap menunggu sebuah generasi terlahir dengan nation character yang jelas, dan tugas kita adalah membentuk embrio dari hari ini, dari diri sendiri.

Dirgahayu Indonesiaku, jayalah kembali engkau seperti di masa lalu…


Gempol, 060816