Thursday, February 09, 2006

Kisah si Gaby

(Sebuah perenungan dari masalalu tentang setitik nilai manusia)
Balian Beach Bungalows, Desa Lalang Linggah – Selemadeg Tabanan-Bali pada suatu saat ditahun 1992. Dihalaman samping bangunan utama, seekor monyet terikat dengan rantai, terikat pada ‘kandang’ sederhana dari kayu disebuah cabang pohon Angsoka. Didekat pohon itu dua bangku dari beton menghiasi. Monyet jantan berumur sekitar dua tahunan itu bernama Gaby.

Pada mulanya memang rasanya ngeri mendekatinya, melihat caranya bereaksi dan juga pandangan mata liarnya. Tapi dia binatang kecil yang terikat, meskipun gigi gigi tajamnya terkadang membuat perasaan bergidik dibuatnya.

Keakraban muncul ketika hampir setiap hari tugasku memberinya makan dan mengajaknya bermain main. Makanan buah buahan, juga dan membiarkan Gaby untuk berada diatas tubuhku, sambil ngeri dan sesekali geli. Singkat kata, Gaby menjadi teman akrab, menjadi monyet yang hampir tiap hari akan bisa dengan mudah menjerit menyambutku setiap saat mendekat.

Lalu pada suatu kesempatan, entah sebab apa tiba tiba setelah baru saja dia berada dilenganku, dia meradang, mengamuk dan menggigit ketiakku. Sakit juga tidak begitu, tapi kaget saja bahwa Gaby masih menyimpan keliaranya, bahkan kepada orang yang setia memberinya makan dan mengajaknya bermain setiap hari. Aku tak mengerti jalan fikiran monyet ini. Yang terjadi adalah marah, menganggap dia mengerti kata kata yang kuucapkan, maka dengan kata kata kuperingatkan untuk tidak mengigit lagi.

Tugas tetap harus berjalan, kehidupan berjalan. Beberapa hari setelah insiden itu, Gaby mengulanginya lagi, kali ini tengkuk yang jadi sasaranya, digigit dengan semena mena padahal memar dan gores diketiak belum juga hilang warna merah kebiruanya, bekas gigi giginya yang menggores kulit. Kali itu aku yang begitu muda hilang kesabaran, kupegang tali pengikatnya dan menamparnya dengan marah, dengan kekuatan untuk ukuran seekor monyet, cukup membuatnya menjerit dan diam. Tingkahnya jadi ketakutan terhadapku. Dan menit berikutnya penyesalan mengganjal isi kepala, bahwa aku telah menjadi lebih binatang dari Gaby sendiri. Tetapi sejak itu, Gaby tak pernah lagi menggigitku, menjadi monyet manis yang sopan dan menyenangkan untuk diajak bermain dan menerima jatah makan dari tanganku. Rupanya dia belajar dari kekerasan yang terjadi.

Empat belas tahun kemudian, situasi yang sama dan lebih serius ternyata harus terlewati. Seorang manusia yang konon mahluk yang diciptakan paling sempurna ketimbang mahluk lainya dimuka bumi menganiaya batinku dengan semena mena. Tanpa sadarpun reaksiku sama seperti Gaby, menasehati dengan kata kata dan sikap dan memberinya kesempatan setelah berbulan bulan ‘mengorbankan diri’ menanti keajaiban kesadaran nurani. Tetapi rupanya hal itu bukan sesuatu yang berarti, kehancuran pendalaman dan kerusakan alam bathinku tak bararti apa apa baginya setelah sebelas bulan yang melelahkan syaraf itu, diulanginya lagi penganiayaan bathin itu dengan cara yang lebih keji dan sempurna. Rupanya dia tidak bisa menyerap sikap dan cara ‘halus’ itu menjadi pengertian untuk pelajaran perilaku, maka tamparan mendarat untuk pertama kali selama sepuluh tahun lebih kebersamaan.

Si mahluk yang notabene binatang yang paling sempurna itupun ternyata memiliki sifat melebihi binatang, bahkan ketika dia harus berlaku culas. Akal fikiranya memperparah kesempurnaan itu, menjadi peculas yang paling sempurna dibanding mahluk bernama binatang jenis apapun. Kali inipun aku kehilangan akal sehatku, mencoba mencerna jalan fikiranya yang kelewat ‘biadab’, atau mungkin kebiadaban yang sempurna itu, pun sikap belajar dari pengalaman tak jua kunjung datang menghampiri. Haih!

Rasa sakitnya lebih sakit karena dia juga dibekali dengan akal budi dan nurani dimana seharusnya tenggang rasa bersumber, dimana seharusnya perilaku bermuara. Tetapi barangkali memang benar teori bahwa manusia adalah binatang yang paling sempurna, demikian juga kesempurnaan dari sifat kebinatanganya justru melebihi binatang itu sendiri.

Gaby, yang hanya dibekali instinkpun bisa belajar dari kesalahan, seperti menerima resiko dari kekeliruanya dan kemudian ‘bersikap’ merubah perilaku. Sedangkan, seorang manusia yang dibekali akal untuk inisiatif, nurani untuk tenggang rasa, logika untuk mengukur rasionalitas, dan hati untuk wahana nilai justru dengan semua bekal keunggulan itu seperti sengaja melanggarnya, menindas semua batas pembeda antara manusia dan binatang, dan menjadi binatang yang paling sempurna.
Memprihatinkan!

Gempol, 060209