Monday, March 09, 2015

Ziarah Jejak

Tiba tiba sapamu mengguncang dunia beku. Menanyakan jejak jejak kaki kita yang membatu jadi catatan di langit rahasia. Dua kalimat saja, maka seolah Raflesia Arnoldi, cerita menyeruak kembali, seperti baru kemarin terjadi. Seperti tak pernah berhenti dipenggal waktu.

Terbaca rindu membuncah, rindu pada bunga bunga tetanaman kisah yang pernah kita semai sambil bergandengan tangan dulu. Sepanjang jalan buntu, dunia kecil berpelangi dimana sebatang pohon rindang mengakar di savananya. Kita pernah membagi tangis dan tawa yang menderu seiring rindu yang selalu menggebu, sampai segala drama terindah itu tumpas oleh logika yang rapi terjaga.

Setetes embun luruh di ladang gersang batin. Laksana ribuan tahun tak menemu sejuk, lesap dalam penghayatan rindu masa silam. Kita bersimpuh taklim dihadapan pusara kenangan. Menziarahi sejarah yang terkubur dibalik awan gemawan. Taburkan bunga sebagai pertanda, bahwa kita masih memelihara cinta nomor satu di dunia itu; meski hanya tinggal kuburannya.

Tak menjadi penting ketika hari hari kita dihiasi beling, seperti halnya langkah kakiku yang pincang pun kadang mendaki. Mungkin kita tak akan pernah menang menumpas bayi bayi iblis dengan matapedang, tetapi setidaknya kita pernah merasakan kemenangan; sanggup mengabaikan siksaanya barang setarikan nafas panjang.

Engkau tahu? Aku menjadi yakin bahwa makam cinta kita telah menjelma jadi surga yang mendamaikan diam diam. Dan kita bebas untuk sekedar berziarah dalam terawang.  Memang rindu menikam nikam seolah merajam, tetapi setidaknya telah dipaksakan tumbuh kesadaran baru tentang langkah terpisah yang harus kita jaga tanpa goyah.

Kita nikmati petualangan petualangan bisu yang maha sepi, lalu mencoba menorehkannya di langit khayali. Langit yang melulu berisi warna kelabu, tempat kita rajin memuja rasa. Pengharapan demi pengharapan berjajar bersama mimpi, dengan segudang kebarangkalian yang begitu kita yakini akan terjadi.

Di kota kota yang jauh kucabik cabik sepi yang yang selalu mengusung bayangan masa silam. Seolah berjalan di pematang tanpa ujung, kukumpulkan kisah kisah yang membias di angin musim penghujan. Kisah ini tak akan pernah berkesimpulan, seperti halnya pepamitan yang tak pernah bermakna perpisah. Sebab kita tahu, kita selalu menemukan jalan untuk pulang ke bawah pohon rindang, tetanaman riwayat teduh masa silam.

Paiton, 150309