Sunday, July 13, 2008

Mozaik buram masa silam

: TS

Malam luruh, sinar bulan menjuntai ditimpa gemuruh tetabuhan dan pekik sorak sorai. Sunyi semata menyelinap dalam dada justru ketika semua suara tumpah ruah dalam pesta akbar di kota purba. Bau kotoran burung layang layang yang berbaris rapi di kabel listrik mengurai kembali kepingan kepingan sejarah diri, memaksa ingatan menengok akan kenangan yang telah lama terkubur waktu. Jalan jalan berisi bayangan, suara suara yang datang dari masa silam.

Satu slide kenangan datang menikam, berisi keperihan akan sepotong hati yang tak sengaja tergores terlalu dalam. Mempersembahkan dosa yang kelak jadi penyesalan peneman pikiran sepanjang jalan. Seseoarang telah menghilang, meninggalkan tangis dalam keabadian. Canda tawa dan tatapan berpengharapan telah buram digilas cerita penutup yang tiada berkesimbangan. Ada sebuah hati yang merana sia sia, datang dari masa lalu dan mencabik senyum jadi sebentuk garis vertical di wajah mengkusam. Asmara yang membuncah kala itu sungguh tak tertipukan hanya dengan lima tahun tanpa berita.

Waktu berjalan, bumi berputar dan cerita penghuni jagad terus saja berganti gantian. Tak ada yang bisa menentukan. Mereka yang datang dari masa lalu menyempatkan menebus lunas pertemuan, melulu berisi cerita kepahlawanan. Telinga hanya mendengar kekosongan sebab hati mencari yang diinginkan, dan yang diinginkan telah memutuskan pita suara, hilang dari pendengaran kabar berita. Kenangan cinta selamanya berisi pedih perih mengabaikan petuah bahwa selamanya kisah manusia adalah cerita hidup biasa.

Uh, kota ini berisi siksa yang memperkosa ketenangan fikiran, menghadirkan isak tangis yang menggenang oleh hati yang tercabik kenyataan. Lima tahun berlalu, dan sedu sedan itu masih mengisi tiap butiran angin yang mengembara disetiap lorong dan atap bangunan. Setiap helaan nafas menyedot kenangan, dan mengunduh lara yang tersemaikan di jejak perjalanan dulu, dan kota ini menyempurnakan kepedihannya.

Wahai kau penduka, penghuni belahan bumi masa lalu. Dalam danau nurani telah tertampung hujan air mata milikmu jua. Disana telah hidup beranak pinak penyesalan dan pohon pohon ampunan, atas masa lalu yang mendukakan. Meski mungkin takkan pernah terbaca olehmu, kutulis jua dengan tinta air mata, kisah panjang atas kekhilafan, tertebus hukuman bagi diri yang tak memuliakanmu seperti pengharapan. Lewat seluruh angin yang mengisi kotamu malam ini, kutitip salam dan setanggi penyesalan atas apa yang pernah merejam hati kita dimasa silam.

Aku turut berbahagia, masa depan ada dalam genggaman tanganmu yang basah oleh air mata …


Soundrenaline - Pekanbaru 080713