Friday, December 08, 2006

Hari mati di pagi hari

Kesedihan fikiran datang tanpa di undang, ia adalah hasil dari larutan pengalaman yang menyesakkan di masa dulu. Harapan .letih menyembul nyembul mengelabuhi hati, menyangkakan matahari akan terus bersinar hingga tengah malam tiba. Menjalani separuh bumi tanpa hati, bagaikan melangkah di kegelapan, tanpa tujuan dan rambu pernunjuk jalan. Demikianlah isi malam, hanya kerlip bintang di kejauhan menyisakan sedikit harap bahwa ditempat yang jauh dan tersembunyi seseorang tengah memelihara diri dalam perasaanya yang tersembunyi. Ufh, bahkan untuk berkhayalpun hati terlalu letih terkadang.

Angin membawa kabar dari timur kejauhan, dimana seseorang mengingatkan betapa kata kata bijak dimasa lalu masih berlaku hingga kini, menemukan kesejatianya setelah sekian tahun hanya menjadi penghias layar monitor, bahkan terlupakan dalam gugusan persoalan yang dibuat buat. Waktu telah merubah segalanya menjadi cerita baru atas cerita lama, dan segala yang hidup menjadi semakin tua. Bayi bayi baru dikandungkan sebagai persiapan bagi kelangsungan pencatatan biografi, selamanya berjalan demikian dan terus menerus tanpa berkesudahan.

Pagi ini matahari mati di bumi, tak menyentuh kaca jendela bahkan bunga bunga anggrek biru dan jingga tak terjamah oleh hangatnya, diam terpekur meratapi sisa embun yang merana di dahan kering tanpa nyawa. Angin telah pergi mengembara, menyapai rumah rumah kosong yang berlumut ditinggal pemiliknya yang sakit hati. Barang baranya menjadi usang, berganti pemilik jadi bukan manusia lagi. Jutaan ngengat tengah membangun sarang untuk menghapus catatan kehidupan dirumah itu, dan angin hanya mampu mengusap dinding bata merahnya yang terkelupas dipermainkan musim.

Musim? Masih berartikan ribuan musim yang berganti semau hati jika yang ditemui tetap saja pagi siang sore dan malam hari? Haiyh….haih…kisah tentang cacing tanah yang kepanasan tak lagi terdengar ketika hujan, juga cerita tentang hangat dekapan ditengah hujan tak lagi terbacakan ketika panas sengangar mengepulkan ubun ubun. Ah, betapa keinginan tak memiliki dinding pembatasan, betapa angan angan hanya berjalan mengikuti mata angin yang buta.

Kesedihan yang datang menyelimuti pagi, mematikan separuh hari dalam kekosongan panjang yang tak menyisakan apa apa, kecuali waktu yang terbuang sia sia, tanpa jejak kaki maupun catatan tentang perjalanan…

Aku rindu padamu, ibu…


Nutricia, 061208