Thursday, April 12, 2007

Tujuan

Ingat selembar bulu elang yang gugur dari tancapan sayap perkasa sang binatang di angkasa tak berraja? Selembar bulu itu terbang mengitari mayapada, menyapai embun gunung, awan pantai dan dan udara perbukitan, sejenak tunduk pada lembab hawa belantara yang mempermainkannya dalam tetarian dan membumbungkannya melewati langit ke tujuh nun jauh diatas batas perkiraan akal mahluk hidup. Gerakanya tak berarah hanya mengikuti keinginan sang angin membawanya mengembara, dan tak satupun pijakan untuk berhenti tersedia di pucuk langit sana. Ia kehilangan alamnya, kehilangan kesejatiannya sendiri. Sebuah kehilangan yang tak bisa digambarkan kecuali dirasakanya sendiri.

Dunianya yang kosong melompong dipagari oleh pikirannya sendiri, dan ia terkurung didalam tempurung ciptaanya sendiri, menciptakan lawan atas ketidak inginan serta keinginannya sendiri. Ia petarung yang kehilangan lawan kecuali dirinya sendiri. Ah sungguh tak banyak orang yang menemukan kebaikan dalam hidupnya, sedangkan semestinya hidup adalah berisi segala kebaikan seperti yang selalu dimintakan dalam mantera mantera pengobat jiwa bagi mereka yang terluka. Ia melanglang dari kehampaan demi kehampaan, merindukan sebuah tujuan.

Betapa bisu dan diam dunia yang ditinggalinya, betapa sunyi dan luasnya alam tempatnya mengambang dan tenggelam di ketinggian. Seluruh monolog ditorehnya di dinding langit, menjadi warna warna yang lekas saja pudar ketika suhu berganti lalu hilang ditelan keheningan lain lagi. Terkadang ucapan terbaik dari kata katanya adalah kebisuan yang membalut kecamuk angan angan.

Ia rindu kebahagiaan. Rindu rasa bahagia. Rasa mencintai. Ia bahagia bisa mencintai keseluruhan pokok hidupnya dulu. Dan ketika cinta yang diagungkan perlahan mati, maka membusuk pulalah akar kehidupanya. Waktu telah menjerang semua persediaan harapanya, hingga yang tersedia hanya wadah pemanis tanpa isi, bolong bolong dan compang camping ditingkahi musim yang datang pergi silih berganti. Tapi di kehampaan ini kebahagiaanpun ikut mati rasa. Mengharap kebahagiaan sedangkan itu bukan hal layak untuk didapatkan. Ketika hidup berjalan dengan baik, itulah hadiah yang mengejutkan dari hidup, dan kebahagiaan melekat pada sifatnya yang sementara.

Hatinya mati, sebuah kematian yang perlahan dan jauh dari kerumunan. Tak ada kabar tentang kematiannya kecuali kesunyian yang menjadi saksinya. Kematian yang menggugurkan setiap harapan satu demi satu bagai daun hingga tak tersisa lagi samasekali. Telah dipoles wajahnya dengan gincu untuk menyembunyikan wajahnya yang kuyu yang kehilangan tempat di bumi tempatnya berada. Kepada udara ia pasrahkan cerita, menekuri jejak demi jejak baru tanpa ia tahu akan tiba dimana. Kesunyian hanya pembungkus alam fikirannya, sedangkan yang dikandungkannya kekacauan keadaan serta masa lalu dan masa depanya yang berhamburan.

Sungguh ia hanya ingin perjalanan terakhirnya, dari kekosongan dan kehampaan berubah menjadi punya tujuan…


Gempol, menjelang subuh 070412