Monday, December 12, 2005

Dua ton beban sesudah makan malam


Warung tenda itu begitu meriah dengan pembeli dan aktifitas memasaknya, dengan semua crewnya laki laki, sebagian berlogat jawa bagian barat sekitar Tegal atau Banyumas. Sepuluh meja yang disediakan menampung total sekitar delapan puluh orang dalam dua lajur dipinggir jalan yang seharusnya mungkin menjadi trotoar. Hampir selalu terisi penuh dengan orang orang yang datang makan, berkelompok, juga sekeluarga kadang kadang, bahkan berdua dengan pasanganpun tak terlewatkan. Dan hampir keseluruhannya adalah etnis tionghoa. Bahasa cina (entah mandarin entah hokian karena kedua duanya aku tak menguasai) terdengar disana sini disela gemuruh suara kompor pompa dan masakan didalam kwali penggorengan. Semua sibuk melayani, seperti semua sibuk menikmati hidangan istimewa; seafood.

Diseberang kali mati yang airnya diam sesekali bau anyir tercium. Genangan air ditepi jalan sisa hujan terlindung oleh mobil mobil mengkilat para tamu yang berjejer sepanjang tenda. Orang yang jajan bermobil menjadi sumber rezeki bagi tukang parkir. Kemegahan WTC Mangga Dua dan Hotel Novotelnya menampakkan kemahalan yang angkuh diseberang jalan raya dengan lampu beraneka rupa, dengan dagangan yang ditawarkan memenuhi hampir seluruh kebutuhan hidup dunia.

Duduk membaca menu, menuliskan pesanan makanan; baronang bakar, cah kangkung cumi, kerang dara rebus dan kerang hijau saus padang. Tukang majalah datang dengan berbagai judul dari femina, kartini, tempo sampai cosmopolitan. Lambaian tangan penolakan mengusung barang barang itu pergi dari hadapan. Hmm…bagaimana akan membaca majalah jika tangan pasti sibuk dengan lumuran bumbu masakan?? Orientasi bisnis yang buruk? Atau hanya pandangaku saja yang terlalu skeptis menilai? Semua berusaha menangguk rezeki, sebagian lagi memanfaatkannya disini.

Ketika hidangan tiba dimeja, dan tangan berlumur saus dan bumbu masakan, pengamen tunggal dengan gitar menyanyikan lagu yang belum pernah terdengarkan ditelinga. Mengharap duli meja didepan untuk menyisakan uang recehan, seribu atau limaratus rupiahpun jadi. Pandanganya mengharap, sedangkan tangan yang berlumur bumbu masakan mustahil menelusup kekentong untuk sekedar uang recehan. Lambaian tangan dan senyum kilat mengusirnya pergi dari hadapan. Mengamen hakikatnya adalah menghibur, bukan membuat orang jadi risih, bukan mengemis dengan modal gitar. Jadi adalah hak untuk tidak meladeni pengamen karena merasa tidak terhibur.

Hidangan tiba dimeja, memenuhi hampir semua permukaanya. Semua tersaji cepat dan panas baru masak. Baronang yang merah kehitaman, kerang hijau yang kering berlumur saus, kerang dara yang gendut gendut dengan saus plus bawang putih, dan cah kangkung cumi mengepul mengundang selera makan membuncah. Hidup terasa begitu nikmat dengan semua karunia yang diberikanNya.

Disudut belakang sebelah kananku, disebuah bangku plastik yang tak terisi oleh satu keluarga mulai dari kakek sampai cucunya yang sedang rusuh menyantap hidangan, seorang gadis cilik memangku keranjang, berisi makanan terbungkus dalam plastik plastik kemasan. Wajah tiong hoanya datar menawarkan dagangan tanpa kata kata, sebentar sebentar berjalan menjajakan daganganya kepada tamu yang datang. Tampaknya sepi malam ini daganganya. Rona wajahnya yang polos tertampak letih, sinar matanya yang bening berisi penuh harap, dan dari gerak tubuhnya terpancar semangat muda yang gigih. Dibelakang samping kanan, pandangan dan keberadaanya menikam empatiku, satu satunya pembeli pribumi ditempat itu.

Gadis tiong hoa kecil yang menjajakan makanan dalam keranjang, bayanganya mengikuti langkahku meninggalkan Kalimati dengan dua ton beban perenungan dalam dada seperti air kali yang menggenang mat. Seharusnya, aku membeli apapun yang dijualnya. Maafkan aku, wahai adik kecil…

Seafood 49, Kalimati – 11 Desember 2005 -