Monday, August 20, 2012

Mudik


Kehilangan momentum bertubi tubi ternyata bisa membuat orang frustrasi. Seseorang yang tidak lagi merasa punya kampung halaman sama halnya telah kehilangan akarnya, kehilangan rumah sejatinya, dimana segala persoalan bermuara, diamana semua jenis kebahagiaanpun menyegara. Rumah dimana setiap pengembaraan berakhir dengan cerita kisah kisah tempat yang jauh dan menyenangkan. Dan kehilangan kepemilikan secara batiniah terhadap rumah menjadikan jiwa seolah yatim piatu, bocah lola yang tidak memiliki tempat sebgaimana mestinya.

Kampung halaman yang sering dilewatkan tanpa kehadiran pada moment moment hari raya, moment istimewa, sejatinya tetap berada dalam kalbu, menjadi penaung dan pengingat semua ajaran tentang kesederhanaan dan budi pekerti. Manakala kampung halaman itu kemudian kehilangan bobot karena habisnya masa pakai, rontok satu demi satu dimakan zaman dan digantikan dengan cerita cerita baru yang dianggap lebih seru, maka pulang kampung hanya akan menjadi acara seremonial penyemarak ritual tahunan.

Ketika jutaan orang berbondong menuju timur, kaki akan melangkah ke selatan, beda tujuan. Menyaksikan orang begitu bergembira menyambut hari raya, paling tidak ada juga terbersit kegembiraan yang tak perlu dikatakan. Sebuah kegembiraan yang maha sunyi, empati diam diam sambil membenamkan keinginan. Toh jika kita kembali kepada kesahajaan, hari raya hanya akan berlangsung paling lama dua hari. Kedua duanya pun sama, berasal dari siklus waktu yang berulang tak henti itu; antara Seinin hingga Minggu. Ada baiknya juga mengistimewakannya, pertanda memberi hormat kepada warna peradaban. Mudik adalah ritual ziarah kenangan masa kecil, satu bab tentang awal muasal kehidupan manusia.

Wajah wajah lelah terslemurkan oleh ceria, harapan berlimpah akan datangnya saat bertemu dan berbagi cerita dengan sanak saudara, handai taulan yang lama tidak dijumpa. Jalalnan menjadi riuh oleh para musafir, kegembiraan meluap kemana mana disepanjang jalan. Dan sebagian lagi menyaksikan ingar bingarnya dengan diam diam, dengan perasaan nelangsa yang ditekan sedemikian rupa sehingga tidak terlihat di permukaan. Dunia berjalan dalam sunyi, senyap yang menyergap. Segalanya berjalan dalam diam, angan angan dan keinginan semua dibenamkan dalam percakapan monolog tentang lebaran.


Di jalanan, jutaan orang hilir mudik mengangkuti rindu yang menjadi energi langkah melaju, menziarahi masa lalu. Sejenak mempecundangi bumi perantauan dengan lagak dan gaya sebagai orang baru.

Tasikmalaya 120816