Tuesday, April 04, 2006

Maaf

Maafkan aku wahai sesal yang mengisi lambaian tangan perpisahan dengan kehampaan dari perjalanan jauh yang sia sia, senilai dengan pembelaan diri atas ketidak berdayaan. Malam yang membekap anganmu menterjemahkan pelarian yang salah tujuan ketika terali peradaban kokoh membentur wajah dan menyisakan garis keperakan di kornea mata; akar kenyataan.

Ketidak berdayaan kita timbul tenggelam, terpung dalam kapasitas yang berbeda pun terlalu rumit untuk diterjemahkan sebagai nilai dari hubungan. Tak ada tambang pengikat untuk jadi tuntunan ketika gelap mengurung, hanya intuisi yang berjalan bersama harapan dalam simbol tebak tebakan.

Engkau matahari jiwa yang terkadang lewat begitu saja sebagai rutinitas kehidupan, membawa kecerahan dan pandangan terang benderang. Berpendar mengitari alam fikiran dalam orbit yang selalu sama; pengingkaran diri. pengingkaran diri atas letih yang menggenang, atas kepercayaan teronggok bak karung basah

Bulan sabit dikotamu, mengantar hadirku yang termenung diujung tipisnya dan angin telah kuutus untuk membangunkanmu dari tidur, kuajak menemaniku menikmati kopi dan mengais inspirasi malam ini. Setelah letih perjalanan seharian, mungkin engkau letih sebab sapaku tak lagi terjawab. Maka lewat embun kutiupkan mantra pengusik mimpi, agar aku menyembul sebentar dalam perjalanan khayali dalam bawah sadarmu.

Maafkan aku wahai sesal, atas diri yang membatu menyaksikan hasrat membuncah.

(kata kata panjang yang tak terucapkan pada 3 April 2006)

Gempol, 060404

“Truth hurts”

Sebuah pameo terpampang didepan gerbang sebuah dunia hubungan antar manusia, sangat pribadi dan berkarakter terikat jelas olah kewajiban hukum, tanggung jawab dan sosial bernama perkawinan. Dua kata itu mengandung penjabaran atas pencarian kebenaran yang terkadang ketika ditemukan terbungkus dengan keperihan. Keperihan menjadi lebih terasa ketika digarami oleh sandiwara sempurna atas kebohongan yang kemudian terkuak oleh hukum alam. Becik ketitik, olo ketoro, temen tinemu tetap menjadi konsep baku yang tetap mutakhir bagi hukum alam sepanjang sejarah umat manusia.

Ketika kebenaran yang menyakitkan hati itu ditemukan, maka kesakitan akan menuntun pencarian untuk menemukan lebih banyak lagi kebenaran kebenaran lainya. Kebenaran yang sedang dibicarakan disini adalah kebenaran yang tertutupi oleh segala daya upaya kebohongan, seperti menyimpan tahi dalam bungkusan kado indah gemerlapan dan mempertahankan si kado dengan segala pembelaan yang diperlukan dengan kekuatan fisik maupun mental. Perilaku culas pasangan yang beberapa tahun lalu telah sepakat untuk memasuki dunia perkawinan yang notabene adalah penjara pergaulan, menyebabkan nilai komitmen itu sendiri membias menjadi sesuatu yang menghawatirkan, terombang ambing ditubir jurang.

Menemukan bangkai kebenaran yang dengan rapi dikamuflasekan dalam kepura puraan yang hampir sempurna menyebabkan kekecewaan yang meruntuhkan setiap senti dinding kepercayaan yang terbangun dan kokoh menjadi pelindung dari serangan syak wasangka. Bangkai kebenaran yang tak tercium aromanya karena mata tertutupi oleh kepercayaan yang secara total diabdikan sebagai modal bagi sebuah rumah tangga. Runtuhnya bangunan berkomitmen itupun menyebabkan kepercayaan menjadi satu bend mati yang telanjang, mudah dipermainkan musim yang melintasi sesuka hati.

Nasi telah menjadi bubur, kehidupan kebenaran telah mejadi bangkai yang ditemukan membusuk dipekarangan nurani. Dengan tangan gemetaran membujuk amarah, bangkai harus dikuburkan agar baunya berhenti membuat muntah, dan nasi yang jadi bubur tetap harus jadi santapan dengan improvisasi sesuai kekuatan hati. Menyesali penemuan kebenaran yang menyakitkan tetap menjadi warna, meskipun masa lalu telah menjadi batu yang harus juga dikemas dalam tas punggung bernama pengalaman, untuk mau tidak mau dimasukkan menjadi muatan meneruskan perjalanan mencari kematian.

Muatan baru dalam tas pengalaman memerlukan kekuatan ekstra agar kaki tetap punya pola langkah, agar mata tetap terbuka dengan dagu terangkat menatap udara. Nasehat bijak didatangkan dari delapan penjuru angin tanpa definisi, yang berujung kepada satu titik yang tak terbantahkan sebagai alasan terakhir: kehendak sang pencipta. Sebuah jalan pintas yang membungkam protes dan gugatan atas ketidak sesuaian perbuatan dalam aturan peradaban manusia yang berazaskan nurani dan tenggang rasa.

Akal budi menggerutu mengutuki kedurjanaan, meskipun tak ada sesuatupun yang dapat berubah hanya dengan kutukan. Rute perjalanan telah dipilih yakni mengikuti arah matahari pergi. Revolusi yang radikal tetap diperbolehkan tetapi hanya akan menghasilkan korban yang kemudian menjadi momok bernama penyesalan dimasa depan. Nasehat bijak berlalu bagai angin sebab telinga hanya berisi desisan mengerikan dari si Medusa dan jerit kesakitan dalam hampa rongga dada. Ketika bait terakhir dari angkasa berhenti menghibur, maka yang ada hanyalah fikiran yang menata ruang yang porak poranda.

Lalu sebuah nasehat lagi datang dari dalam diri, hanya dengan menyodorkan kaca benggala agar diri bercermin, melihat kebenaran diri sendiri dari luar kubus inklusif bernama ego, melihat dengan jeli setiap gajah yang tak tampak dipelupuk mata. Memandang diri sebagai pencipta dan penemu kebusukan yang menyakitkan, kemudian mengevaluasi diri dalam filsafat yang menyakitkan. Sebab hanya itu yang tersisa sebagai penghiburan. Dan pengingkaran terus berjalan karena memang tak sebanding kuantitas antara sebab dan akibatnya.

Gempol, 060404