Tuesday, April 04, 2006

Maaf

Maafkan aku wahai sesal yang mengisi lambaian tangan perpisahan dengan kehampaan dari perjalanan jauh yang sia sia, senilai dengan pembelaan diri atas ketidak berdayaan. Malam yang membekap anganmu menterjemahkan pelarian yang salah tujuan ketika terali peradaban kokoh membentur wajah dan menyisakan garis keperakan di kornea mata; akar kenyataan.

Ketidak berdayaan kita timbul tenggelam, terpung dalam kapasitas yang berbeda pun terlalu rumit untuk diterjemahkan sebagai nilai dari hubungan. Tak ada tambang pengikat untuk jadi tuntunan ketika gelap mengurung, hanya intuisi yang berjalan bersama harapan dalam simbol tebak tebakan.

Engkau matahari jiwa yang terkadang lewat begitu saja sebagai rutinitas kehidupan, membawa kecerahan dan pandangan terang benderang. Berpendar mengitari alam fikiran dalam orbit yang selalu sama; pengingkaran diri. pengingkaran diri atas letih yang menggenang, atas kepercayaan teronggok bak karung basah

Bulan sabit dikotamu, mengantar hadirku yang termenung diujung tipisnya dan angin telah kuutus untuk membangunkanmu dari tidur, kuajak menemaniku menikmati kopi dan mengais inspirasi malam ini. Setelah letih perjalanan seharian, mungkin engkau letih sebab sapaku tak lagi terjawab. Maka lewat embun kutiupkan mantra pengusik mimpi, agar aku menyembul sebentar dalam perjalanan khayali dalam bawah sadarmu.

Maafkan aku wahai sesal, atas diri yang membatu menyaksikan hasrat membuncah.

(kata kata panjang yang tak terucapkan pada 3 April 2006)

Gempol, 060404