Monday, February 06, 2006

Sebuah kisah biasa

Sejak 10 bulan terakhir, SI POLAN merasa tidak dapat tertawa lagi. Yang ada dalam benaknya hanya dua pertanyaan, teruskah atau berceraikah? Berat badannya menurun drastis, sulit tidur, dan tidak selera makan, jantung pun sering berdebar keras. Ia juga menjadi mudah marah dan bila dia sedang sendiri diluar dari istri dan anaknya, maka benda mati sering menjadi sasaran kemarahanya.
Kepercayaan terhadap istri hilang total, sehingga ke mana pun istri pergi sendiri, walaupun untuk belanja, selalu diidentikkan dengan pergi untuk mencari lelaki. Pertengkaran berlanjut tidak terhindarkan. Sebenarnya istrinya sudah meminta maaf berulang kali bahkan bersumpah tidak akan mengulangi “perbuatan” tersebut. Akan tetapi, sumpah yang diulangyapun dilanggarnya berulang pula. Hal itulah yang memupuskan kepercayaan SI POLAN terhadap istrinya.

Sering terlintas pikiran untuk bercerai, tapi ia juga takut akan berdampak sangat buruk terhadap kelangsungan kehidupan anak perempuannya yang berumur delapan tahun. Sementara itu, bila ia berpikir dalam-dalam dan mencoba menggali perasaannya yang dalam ia tidak tega membuat anaknya tidak beribu secara psikis dalam usia sedini itu. Pada sisi lain, timbul kecurigaan dan kekhawatiran mendalam, apakah peristiwa serupa tidak terulang di kemudian hari, bila perkawinan ini dilanjutkan? Ia pun juga menjadi trauma untuk memberikan kepercayaan baru, sehingga harus menanggung semua beban bathinya sendiri, kelelahan fisik dan mentalpun tidak terhindarkan.

Kondisi psikis SI POLAN , yang ditandai oleh konflik batin, berlanjut. Stres emosional semakin intens dan ketegangan emosional memuncak membuat SI POLAN mengalami keluhan-keluhan psikosomatis, seperti tidak bisa tidur, jantungnya sering berdebar keras, dan rentan terhadap meledaknya kemarahan dan kesedihan silih berganti tanpa henti. SI POLAN benar-benar menderita karena lelah fisik dan lelah mental.

Akumulasi Pengalaman Traumatik

Timbul pertanyaan, mengapa sedemikian beratnya ketidakpercayaan terhadap istri, dan mengapa sedemikian intensnya trauma psikis yang diderita SI POLAN ?
Dari anamnesis eksploratif, ternyata masa kanak-kanak dan remaja SI POLAN ditandai oleh kondisi perpecahan orang tuanya karena ayahnya hampir tidak pernah ada untuk melindungi dan membimbing pribadi kecilnya. Sampai semua anak-anak ibu SI POLAN berkeluarga, Ibu SI POLAN tidak pernah memutuskan untuk bercerai dengan ayahnya karena merasa lelah dan terbiasa menderita, tidak punya pilihan lain kecuali menyelamatkan anak anaknya.

Walaupun perceraian itu tidak pernah terjadi, tetapi SI POLAN merasakan kesedihan yang mendalam. Menurut SI POLAN , ayah adalah seorang yang gagah dan’ dandy,’selalu berpenampilan modis dan kelimis. Pertengkaran yang terkait dengan kehadiran perempuan lain dalam perkawinan memberikan efek traumatis yang ternyata tidak sederhana, sehingga dalam memilih istri, SI POLAN pun menetapkan pilihan pada wanita yang tampil sederhana, pendiam, sambil berharap agar SI POLAN tidak mengalami apa yang dialami ibunya.

Dengan peristiwa istrinya tersebut, di samping SI POLAN tersentak oleh akumulasi trauma psikis tentang sikap perempuan sebagai istri yang tidak setia, bayangan negatif tentang sikap laki-laki pada umumnya yang sering didengar dan dipercakapkan dengan teman teman pergaulan menjadi kenyataan. Jadi dapat dipahami, bila efek akumulasi pengalaman traumatik ini begitu eksesif dan intensnya.

Cubicle, 060206