Friday, November 25, 2011

Demo Buruh di Hari Guru

Ukuran Kebutuhan Hidup Layaklah yang menjadi biang kerok kerusuhan berdarah demo buruh di Batam kemarin, akan menarik untuk dilihat agak bergeser memikir dan menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Yang pasti, peristiwa itu dipicu oleh suatu sikap pengabaian pejabat pemerintah terhadap tangung jawab moral terhadap rakyatnya, yaitu mensejahterakan. Sejahtera berarti aman sentausa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan).

Ketika banyak pejabat publik menjadi penipu dan pencuri uang negara bernilai miliaran, buruh menuntut revisi penghitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak. Mereka merasa pemerintah yang diwakili pejabatnya telah salah memperkirakan kebutuhan layak para buruh yang dianggap tidak sebanding dengan tingginya tiap individu mengkonsumsi gaji. Secara teknis, penentuan Kebutuhan Hidup Layak memang dilakukan oleh pejabat mewakili kekuasaan negara, kemudian perwakilan buruh sebagai end user, dan organisasi pengusaha yang nantinya wajib membayar nominal minimal dari Upah Minimal yang ditetapkan. Besaran upah inilah yang dianggap layak oleh pemerintah dan dianggap tidak layak oleh buruh.

Mari sinis. Masuk akal jika angka yang ditentukan konsorsium tiga kepentingan tersbut kemudian diprotes oleh buruh yang menghitung kebutuhan hidup layak mereka dengan cara yang berbeda. Pejabat pemerintah sebagai regulator yang melegitimasi upah buruh menggunakan rasio matematis dari hasi survey sehingga tidak klop dengan kondisi nyata di masyarakat. Rasanya hampir (?) tidak ada pejabat negara yang tidak hidup makmur. Itulah makanya kepekaan terhadap kebutuhan kebutuhan dasar hidup dalam masyarakat biasa menjadi tumpul. Intinya, orang kaya tidak tahu dan tidak ingin tahu bagaimana rasanya menjadi orang miskin, sedangkan orang miskinpun tidak akan sanggup menyentuh angka angka ongkos yang dihabiskan untuk kebutuhan hidup layak bagi golongan kaya.


Tidak sesederhana itu, saudara. Upah Minimum yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah tentunya telah melewati tahapan tahapan perbandingan, bahasan bahasan mengenai kelayakan serta pertimbangan yang matang. Kepentingan pengusaha sebagai majikan yang memberi upah kepada buruhpun harus diamankan, karena dari kegiatan usaha itulah pundi pundi pendapatan daerah ikut membiayai ongkos managerial birokrsi pemerintahan dalam mengelola wilayahnya. Efek kegiatan usaha itulah yang menggerakkan roda ekonimi diwilayah yang dipimpinnya. Dilihat dari mekanisme yang dipakai dalam menentukan besaran angka, upah minimum sebenarnya adalah kesepakatan antara perwakilan buruh dan perwakilan majikan. Pengertian seperti itu tidak semua buruh dapat memahami; tetapi mereka tahu bahwa angka itu tidak sepadan dengan ongkos hidup. Bagi buruh, angka angka itu memang vital, lebih dari sekedar periuk nasi. Kebutuhan hidup layak tidak hanya makan, tempat tinggal, dan sandangan layak.

Ada tiga faktor inti yang menjadi pemantik pertikaian buruh di Batam; Pertama, zaman telah banyak merubah barang barang yang dulunya dianggap mewah menjadi biasa. Sementara ongkos kehidupan dan biaya pergaulan turut menanjak naik seiring membengkaknya volume komunitas mereka. Kedua, gaya hidup hedonis pejabat negara yang jauh dari kesederhanaan diam diam menjadi racun moral bagi masyarakat awam menengah, yang kemudian disimpulkan sebagai sebuah sikap tidak adil yang dipertontonkan. Ketiga, teknologi informasi yang sedemikian pesat ikut menyeret hampir sebagian masyarakat kepada dunia konsumtif dan imitatif.

Kaum buruh, sebagai komponen manual dari alat alat industri banyak direpresentasikan secara statistik dan menomor duakan aspek sosialnya. Sambil terus bekerja mereka menanggungkan beban mental atas rasa ketidak adilan majikan pemberi kerja, dan mencoba mengadu kepada pemerintah sebagai pemomongnya. Ketidak adilan dan ketidak bijaksanaan yang menjadi biang dari kekerasan. Tindakan represeif petugas Polisi beralasan juga karena mengemban kepentingan tugas sekaligus melindungi harga diri mereka sebagai petugas. Sayangnya, demo yang tujuannya mulia itu akhirnya berakhir dengan anarkisme, tidak ada konklusi, dan merugikan semua pihak; bahkan pihak yang tidak ikut ikutan dalam aksi itu.


Batam masih tegang, sementara nusantara memperingati Hari Guru Nasional, berbarengan lagi dengan pawiwahan agung kepala negara yang ngrabekke anaknya. Segitiga psikoligis; terliakan lapar, krisis tauladan, dan pembororosan seperti berebut perhatian dari rakyat Indonesia dewasa ini. Rakyat Indonesia yang tak berhenti berharap akan terciptannya negeri gemah ripah loh jinawi, aman, toto, titi, tentrem dan kerto raharjo. Barangkali, cita cita itu akan cepat terwujud jika setiap manusia lebih banyak bersyukur atas hidup hingga hari ini.


Selamat berjuang para buruh!
Selamat berulang tahun Bapak dan Ibu Guru!
Selamat ngrabekke pak SBY!

Gempol 111125

Monday, November 14, 2011

Bingkai Cinta

Cinta itu bisa membuat orang menjadi bertingkah aneh. Yang hari ini cinta setengah mati, besok bisa dicekik atau mencekik mati gara gara cinta yang setengah mati itu. Ketika orang lelaki perempuan diperkenalkan kemudian seolah merasa ditakdirkan sebagai jodoh, maka perkawinan kemudian dijadikan legitimasi atas hubungan dua orang tersebut. Tujuannya samar samar jelas; demi terciptanya kebahagiaan lahir batin. Kesejahteraan jiwa raga dan kenyamanan akal dan pikiran. Perkawinan adalah bingkai yang meruangi hubungan cinta itu dalam lingkaran penuh rambu dan aturan. Pelanggaran terhadapnya bisa disebut sebagai penyimpangan sosial dan menistakan sakralnya makna perkawinan yang diagung agungkan. Dan bagi pelanggaran akut, maka perkawinan tinggal bermakna sebagai ikatan hukum antara dua orang yang penyelesaiannyapun melalui jalur hukum negara, kembali kepada syarat syahnya hubungan perasaan yang terwakili dalam tulisan diatas kertas. Disini cinta tak lagi dibicarakan.


Perkawinan menghasilkan rumah tangga, dan rumah tangga memunculkan banyak dinamika. Kuasa waktu kemudian membawa setiap cerita perkawinan dengan kisah kisah luarbiasa, kebahagiaan tertinggi tetapi juga penderitaan bathin terbaik bagi sebagian orang. Dalam perkawinan membujur garis pembatas yang memagari dimana jika semakin dilanggar akan semakin pudar hingga lama lama tak lagi terasa ada pembatas itu. Garis pembatas yang memisahkan antara dunia maya dan dunia nyata. Dunia maya tak terbatas daya jelajahnya, sedangkan dunia nyata hanya berisi simbol simbol peradaban yang ideal yang harus ditaati.


Pengalaman beberapa orang menunjukkan bahwa faktor lahiriah hanya punya andil kecil dalam mengenali orang lain. Kenal yang sebenar benarnya kenal adalah memahami latar belakang alasan atas setiap langkah pikiran yang dibuat orang yang kita kenal. Perbedaan perbedaan fisik seperti usia, maupun hal lainnya tidak cukup kuat intuk menyokong sebuah kesimpulan pengenal seseorang. Cara pikiran melangkah, cara otak mencerna dan sesudah diolah oleh nurani diubah menjadi energi budaya atau kepribadian adalah hal fundamental yang menentukan apakah seseorang berpotensi untuk membuat sebuah hubungan (apapun jenis bentuk dan sifatnya) menjadi nyaman untuk dijalani. Rasa nyaman yang lahir alami dan menjadi ruh sebuah hubungan sesungguhnya adalah intisari tujuan dari setiap perhubungan antara manusia. Rasa nyaman yang kemudian dikurung dalam bingkai hubungan suami istri, dengan keyakinan bahwa rasa nyaman itu tidak akan melewati garis bingkai yang mengkandangkan harap dan tujuan berdua. Abadi selama lamanya!


Tapi waktu punya kuasa. Garis maya pembatas mengikat sekaligus penuntun hati untuk patuh terhadap aturan main kadang tersamarkan oleh kilau dunia, kilau hal hal baru yang menawarkan petualangan lebih seru. Praktek perilaku tidak adil menciptakan kekacauan, dimana kemudian perkawinan berubah bentuk menjadi tirani kecil dengan sel sel penjara yang mengekang. Ikatan hak dan kewajiban dalam suami istri acap kali memunculkan raja raja kecil bermahkota arogansi di singgasana rumah tangga rintisan berdua yang diklaim sebagai ciptaan salahsatunya sendiri. Slogan slogan mulia dalam janji perkawinan perlahan kehilangan makna dan bingkai maya itu mejadi tandus oleh cinta yang sejak semula menjadi penyebab terjadinya. Dihuni oleh para hati yang gersang cinta, dengan bilur bilur luka disekujur permukaannya. Jiwa jiwa malang yang penuh cinta kepada pasanganya perlahan merana, diperlakukan culas tanpa bisa berdaya. Dan hanya dunia diluar bingkai semata tersedia penawar perihnya derita cinta. Hanya disana tersisa bahagia dari cinta yang terlarang.


Tinggallah kenangan cinta masamuda yang tersisa, teronggok menjadi barang mati tak bisa terulang kembali. Waktu bisa merubah orang, dan sebagian yang menundukkan diri pada cinta setengah matipun pada akhirnya terjebak dan terjepit dalam feodalisme suami istri. Ketidak adilan dan kesewenang wenangan akhirnya membuahkan ketidak adilan dan kesewenang wenangan baru yang terjustifikasi. Disinilah kemudian rasa cinta bertransformasi menjadi hitung hitungan matematis semata. Lex talionis, balas dendam dengan perbuatan yang sama tanpa berniat menyakiti demi menghormati rumah tangga. Ketika hukum balas dendam dianggap sebagai rambu baru dalam lingkaran bingkai cinta, maka rumah tangga sebetulnya telah kehilangan esensinya. Makna yang sesungguhnya tentang itu kemudian menjadi aus terganti ego yang menjulang. Kebahagiaan dicari dari luar bingkai ketika apa yang ada dalam bingkai hanya api dalam sekam, ibarat pasukan rayap yang telah melapukkan semua pilar pilar cinta penyangga perkawinan dari dalam. Tak jarang, pada saat badai datang, sang bingkai akan terhempas ke bumi dan hancur berantakan.


Hubungan antara manusia memang rumit, dan terlalu banyak hati yang baik menjadi sakit karenanya. Terlalu banyak kisah indah perkawinan yang berubah bentuk menjadi tragedi kehidupan pada akhirnya.




Gempol 111114