Wednesday, April 11, 2007

Sebuah drama duka seorang pecinta

: W
Ia merasa menjadi seorang pemain sandiwara yang paling kejam, tanpa hati dan perasaan. Lima tahun usia perkawinan yang menghasilkan seorang bocah hiperaktif ternyata tak cukup menghasilkan sebuah resolusi yang ditunggu tunggu, bahwa cinta takan timbul seiring dengan kebersamaan. Sepuluh tahun sudah bibit pemberontakan disemaikan dalam jiwanya, bukti penolakannya atas kenyataan tak nyaman tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan; membentur udara hampa.

Orang yang kini menjadi teman hidup dalam status suami istri yang semestinya berazaskan cinta, sebenarnya hanyalah salah satu kewajibanya menjalankan adat dunia; kecil, tumbuh, berumah tangga dan memiliki keturunan. Maka kewajibanya lunas sudah. Semalam ia menangis sendirian, merasa telah meracuni pasangan hidupnya dengan kepura puraan yang sempurna. Ia telah lakukan semuanya tanpa rasa, bahkan cinta yang sering diagung agungkan baginya hanya isapan jempol belaka.

Di dalam tangis sunyinya ia berdoa, semoga sang teman hidup dipertemukan dengan seseorang yang benar benar akan mencintai, mengabdikan hidup hanya kepada pribadinya. Ia percaya bahwa cinta adalah bentuk pengabdian penuh dari hidup seseorang kepada orang lain. Dan ia tidak memiliki itu untuk pasangan hidupnya. Lima tahun telah membuatnya miskin dan tersesat dari hikmah hidup bersama maupun hakekat investasi sosial. Mengurai penyesalannya yang panjang dan melelahkan, ia menemukan dirinya terjebak dalam himpitan masa lalu dan kesuraman masa depan. “Aku ingin pergi jauh sekali, ke tempat dimana tak seorangpun mengenali…” katanya suatu ketika. Ia ingin menghindari hidupnya sendiri.

Dikeringkannya air mata dengan ujung lengan bajunya, namun tetap saja butiran baru datang bertubi tubi mengaburkan pandangannya di remang lampu ruang tengah tempat tinggalnya. Dunia menjadi begitu luas tanpa batas, dan ia hanya sendiri saja duduk ditengahnya. Apa yang didapatkanya bukan apa yang diinginkannya, sedangkan waktu terus saja melaju meninggalkan cerita cerita tentang kesia siaan yang ia tanggungkan sendirian. Tak seorangpun tahu tentang apa yang berkecamuk didalam dirinya. Sering ia khayalkan tentang teman teman sebayanya yang hidup normal dengan rumah tangga mereka, dengan kehidupan cinta mereka. Kehiudupan normal? Apa definisi kehidupan normal itu sebenarnya? Ia menjadi bingung dengan apa yang diarasakannya sendiri.

Apa yang tidak membahagiakanya, ia tidak mampu mangurainya. Ia bahkan tidak mengerti apa itu bahagia kecuali ketika masa sebelum sepuluh tahun lalu, ketika seorang figure manusia sejati masuk dan menjadi panutannya diam diam. Tanpa sadar lalu ia leburkan khayalan dan harapan kepada manusai idaman ini, sementara sang idaman sendiri mengepakkan sayapnya tinggi tinggi, jauh jauh menjelajahi alam ketidak tahuanya, meninggalkan dirinya dalam peraman rasa cinta yang makin hari makin menggungung tanpa terekspresikan sempurna. Itulah masa masa bahagianya, ketika ia bisa melihat orang yang dikasihinya berlelehan keringat berkelahi dengan mimpi masa depanya. Menjadi dekat dengannya merupakan sebuah azimat bagi optimisme masadepanya, sampai suatu saat ia harus menerima kodrat bahwa sang idamanya bukanlah kandidat peneman hidupnya.

Cintanya mati, di jiwanya hanya ada satu nama dan terus subur mengakar mengabaikan kenyataan sehari hari. Betapa keras dan berat ia berusaha untuk mengingkarinya, menolaknya dan membenturkan dahi kepada kenyataan sekeras batu karang dihadapanya, bahwa ia sendirian kini. Cengkeraman pesona tak sanggup ia lawan, dan ia kepayahan menanggungkan nestapa sepanjang jalan hidupnya. Ia berkelana dari neraka ke lorong lorong pengab, mengharap kematian datang menjemput dan pahlawannya terlambat menemukan kesadaran akan betapa besar cinta yang harus ia kandungkan sendirian.

Ketika malam melewati ujung bumi, tangisnya tak jua berhenti. Sang buah hati tergolek dengan mimpi mimpi di dipan kayu sebelah kanannya, di bibirnya tersungging senyum ceria, tanda bahwa ia tengah berada dialam surga kecilnya. Tiba tiba ia merasa menjadi egois dan sangat keji kepada bocah kecil buah pernikahanya, yang tidak mengerti apa apa urusan orang dewasa. Bocah kecil yang muncul dari akibat keputusan yang ia buat sendiri, sedangkan hidup hanyalah menjalani apapun keputusan yang ia buat. Sorot mata lugu bocah itu mengikat langkah kaki hatinya, dan celotehnya membelenggu jiwanya untuk berontak dan pergi dari alam kenyataan yang mengkerdilkan.

Ia jadi lemah, tak berdaya, tak bisa memutuskan apa apa, bahkan sesudah sepuluh tahun perjalanan cinta yang sia sia…ia bertambah bingung, hanya menunggu usia melintas di atas kepala...


Andong, 070408