Monday, January 16, 2006

@#$$#$%^&^%

Menabur benih masa depan diantara hamparan puing kebanggaan, meyakini keyakinan bahwa manusia memiliki perasaan dan hati untuk bertenggang rasa, memiliki nurani untuk sekedar menempatkan diri menjadi manusia. Maka perjalanan menjemput jubah malaikat yang lama tertanggalkan menumpang harapan dan keikhlasan sebagai kendaraan.

Didasar lumpur aib tanganmu menggapai meminta simpati, memohon agar kesempatan datang lagi. Bahwa tragedy bermakna sebagai pembelajaran atas sikap salah maupun kekhilafan. Dari jauh telah kukemas satu paket rekonsiliasi dengan penyadaran bahwa diri memang layak menerima apa yang telah sepuluh bulang menghacurkan kepribadian dan memincangkan langkah bathin. Luka yang meradang perlahan kukesampingkan dan berharap kesadaranmu datang sebagai perban.

Lalu, dengan tali hati kugendong kaki lumpuhmu, membawamu keluar dari kubangan lumnpur penuh lintah mengerikan. Dan dengan tawa kau tikamkan belati karatan dipunggungku, tepat pada bekas luka yang kau hadiahkan sepuluh bulan lalu. Aku limbung, mataku buta dan jubah malaikatku compang camping oleh tanganmu yang berlumuran nista.

Aku pikir hati telah kebal sakit setelah kau hancurkan, aku pikir bathin telah imun dari luka setelah kau koyakkan, aku pikir nurani akan tetap berdiri tegak sewaktu kepercayaan kau khianati, ternyata aku keliru.

Kamu lebih keji dari iblis, lebih jahat dari segala bentuk setan. Hatimu buta, perasaanmu mati dan kau hanya tahu memaki. Aku tak kenal dirimu lagi, yang telah kujaga dan kucintai serasa hampir seluruh hidupku, yang kupertaruhkan keperihan dendam hati yang panjang berharap aku dapat imbalan akan penghargaan dan kasihanmu.

Ribuan kesalahan kau lakukan dengan sengaja, berharap aku akan hancur dan binasa. Tapi kamu akan kecewa, sebab aku akan tetap berdiri dan berharap suatu saat kau kembali menjadi manusia…


Ceger, 16 Januari 2005 - ketika diri sekarat dipecundangi iblis.