Thursday, May 31, 2007

Tangisan pohon

Angin yang tersesat di tepi tembok bingung mencari pusaran untuk sampaikan kisah rindu dari tempat tempat yang jauh, mengabarkan kelahiran dan juga kematian sebagai proses metamorfosa alam semesta. Kelahiran dan kematian semua mahluk hidup dan proses penciptaan atas mahluk mati. Butiran cerita yang terbawa angin membentur dinding kaca pada akhirnya kemudian menjelempah di lantai tanah mencari pemilik sepetak taman yang dulu berisi kupu kupu yang menyanyi.

Menyaksikan batang batang dan daun hijau itu akhrinya terkapar tak berdaya diikat oleh seutas tali plastic, layu bercampur debu diatas beton adalah pemandangan yang menyakitkan. Betapa bertahun tahun hidup berisi pengalaman binasa begitu saja oleh tebasan parang tajam kehendak manusia. Pohon tidak berdaya melawan, tapi tangisannya terdengar sangat memilukan di palung kalbu terdalam.

Sebentar lagi angin besi akan menyeretnya menjauh, menelusuri got got lalu teronggok di penimbunan, berjuang sendiri mempertahankan kambium tetap dikandung badan. Tak berharap banyak pada kesempatan sebab ia hanya sebatang pohon, mahluk pasif penyaksi ribuan cerita manusia.

Halaman yang kosong menjadi pekuburan tanpa catatan kini. Lengang, bahkan sinar mataharipun terkurung oleh kanopi mati. Kehidupan berkurang lagi, melapangkan areal untuk kesenangan, demi habitat yang berkuasa.

Dan hujan turun menghempas bumi yang bolong, kecewa tak bertemu kekasih abadinya; sang pohon. Air menggenang bagaikan tanda duka liar menuruti pencarianya yang sia sia. Tanah lapang tak lagi menjanjikan apa apa kecuali tempat langit bercermin dari segala mendung hamparan bintang ketika malam.

Sekumpulan burung gereja termangu di kusen baja, memandang asing pada tanah yang memberinya ajaran tentang hidup bersama dalam faham mutualisme. Pohon yang biasanya bercerita tentang duapuluh tahun perjalanan hidup dan keculasan yang disaksikan dengan diam sekarang sudah tidak ada lagi.

Dan senjapun turun perlahan tanpa bayangan sang pohon di pintu gerbang berwarna biru…lengang.


Nutricia 070531

Friday, May 25, 2007

Dibawah sinar asli rembulan

: embun
Sinar asli sang bulan membawa pesan singkat dari seberang, mengabarkan malam yang telah berjalan pelan keseluruh sudut bumi. Empat cangkir kopi hitam dan sepiring obrolan sekedaran memenuhi rongga waktu dalam kehadiran, sedangkan angan mengembara jauh mencari cari seseorang yang rindu akan belaian. Sekelompok bintang mematahkan senja menjadi kenangan, sekian ribu jeda yang hanya berlalu tak mau menunggu barang sekejap jua.

Bukan hari yang berlaku berat, bukan pula mimpi yang menjadi liontin perhiasan sesiang tadi, tetapi adalah catatan yang tertoreh dari seutas kesempatan hari ini. Kecemasan tak diperlukan oleh mereka yang bisa diandalkan, berjalan pelan pelan dalam buaian rasa simpati yang mungkin berlebihan. Kasih yang menguatkan sementara iblis merubung di setiap penjuru pandangan, memprovokasi hati dari balik dinding kaca tebal pelindung diri dan iblis celaka.

Hari ini tidak ada yang istimewa kecuali rindu yang semakin menyesakkan dada. Bayangan manisnya menyumbat kepala dan meninabobokan jarak yang membentang memamerkan ketidak mungkinan akan tertebusnya rasa yang menikam. Bau tubuh terbawa dalam butiran udara yang mengembara ke seribu kota tanpa tujuan, sekejap singgah di penciuman maya yang lalu mengacaukan otak yang mengharap terlalu berlebihan atas datangnya keajaiban.

Jika terkatakan, tolong simpan cerita hari ini dalam catatan. Semuanya akan membawa kita kepada benang merah kesimpulan kalau saatnya kelak masa depan menjemput usia. Nanti sepuluh tahun mendatang barangkali kisah ini hanya akan menjadi segumpal kenangan pengisi hari hari sepi menunggu kematian tiba. Biarkan saja sekarang, kisah ini mengalir seperti angin yang menghambur menembusi genting di atap rumah ketika embun perlahan menyelimutkan sejuk bagi tidur yang menjanjikan damai.

Sepi ini menjadi warna sang malam sedangkan ruh berkeliaran mencari pembebasan. Riuh peradaban terbunuh mati hanya oleh bayangan wajah mempesona yang melekat di pelupuk mata, bayangan yang dibawa turun dari kayangan dengan jembatan pelangi di kegelapan, turun lewat sinar asli sang bulan di lorong sempit kesempatan. Ya, hari ini sebelum pulang, terbawa sosok utuhmu dalam setiap ingatan. So, how's your day hun?

Disini, rindu membuncah seperti sakit yang mendamba ramuan…

Gempol dibawah sinar asli rembulan 070525

Thursday, May 24, 2007

Sang Waktu

Betapa sederhananya sebuah kehidupan berproses mulai lahir, hidup lalu mati. Ya, begitu saja. Kemudian waktulah yang menjadi poros satu satunya perputaran dua titik antara lahir dan mati yang bernama hidup tersebut. Sang Waktu mengurai konskwensi logis dari sepotong sepotong kehidupan mikro dan menggumpal sangat besar menjadi keseluruhan berjalannya dunia fana yang ramai dan tumpah ruah dengan miliaran cerita. Sang Waktu terkesan mengendalikan semua alur cerita, padahal yang terjadi adalah waktu memberi peluang kepada setiap elemen hidup untuk merangkum segala lakon, hanya membiarkan berjalan tanpa kekang.

Sang Waktu menciptakan tiga dimensi masa yang tak bisa terputuskan hanya dengan kalimat ‘seumpama dulu’ atau ‘seandainya nanti’. Keduanya tidak mengandung isi, kosong dan bukan kenyataan. Tadi, sekarang dan nanti adalah tiga dimensi masa ibarat saudara kembar siam tiga orang dengan karakter yang berseberangan. Sang Waktu menjadi bejana besar dimana masa lalau, masa kini dan masa depan saling berpilin menjadi kesempurnaan misteri kehidupan. Ya, Sang Waktu sendiri adalah manifestasi dari kemisterian itu sendiri yang mengolah masalalu menjadi batu, masa kini menjadi kenyataan dan masa depan menjadi….bayangan.

Sang Waktu mengandung sisi sisi tajam kepedihan dan sekaligus anggunnya sebuah kebahagiaan. Bukan pula sebagai permainan Sang Waktu apabila warna langit berubah hanya dalam hitungan detik, melainkan sekali lagi konskwensi logis dari sebuah proses metamorfosa panjang kehidupan. Tidak sepanjang itu, saudara sebab satu mahluk hidup hanya boleh tunduk dalam kekuasaan Sang Waktu dalam sekejap saja, yaitu pada hidup diantara titik lahir dan mati. Masa lalu bisa menjadi hantu blao, bisa menjadi permen pemanis kenyataan dan tentu saja menjadi buku abadi bernama pengalaman. Sang Waktu setia mencatat semua kejadian dengan goresan goresan sejarah di setiap halaman buku yang mencatat setiap detik yang dilewati oleh alam fikiran yang akhirnya tersimpul rapi menjadi sebuah produk bernama kenangan. Dan kenangan, ada baiknya untuk disimpan di peti peninggalan dan tetap menjadi kenangan. Membangkitkannya kembali menjadi sebuah kehidupan akibatnya bisa sangat mengecewakan, sebab ia telah menjadi milik mutlak dari Sang Waktu; yang telah mengolahnya menjadi batu.

Masa lalu hanya sebutir pasir di padang pasir Sang Waktu. Hal yang sebutir inilah yang menjadi bekal warna dan rasa kekinian. Ia menentukan kelanjutan sebuah kisah, sebuah konskwensi logis yang disebut sebagai kenyataan. Tanpa masa lalu maka tidak ada kekinian yang tercipta dan tanpa kekinian maka masa depan telah kehabisan ruang sebagai cerita. Dalam kekinian Sang Waktu menjadi mata dan telinga, menjadi saksi atas sebuah kehidupan. Ia menjadi sebuah hidup yang terjalani yang dalam sekejapan mata berubah menjadi hanya cerita, kenangan hasil cetakan sang masa lalu. Bagi yang bijaksana kekinian adalah sebuah kesempatan emas untuk mengarang bentuk masa depan dalam sebuah rencana bahkan hanya sekedar angan angan. Pada saat yang bersamaan proses mengarang, menikmati setiap helai karunia dalam sebuah sikap syukur membuat hidup terasa tidak memerlukan beban apa apa karena tidak memilikinya. Tiap tetes air yang masuk lewat kerongkongan, tiap butir udara yang mengisi paru paru, dan tiap kelebat ingatan maupun pemikiran semua bersinergi menjadi rasa, dan itulah yang disbut kenyataan.

Selebihnya kenyataan menjadi hulu dari keinginan dan rancang bangunan masa depan. Bermula dari proses berfikir, kemudian menganak sungai menjadi berjenis jenis calon tingkah dengan bungkus jubah belabel ‘akan’. Dan masa depan menyimpan misterinya sendiri, tak teraba oleh rasa bahkan tak terdeteksi oleh hitungan matematis dalam bentuk ramalan. Masa depan adalah teka teki tanpa jawaban, sedangkan logika dan intuisi hanya menuntun kepada kemungkinan kemungkinan, padahal masa depan tidak lebih dari jutaan pintu kemungkinan yang akan terbuka salah satunya dengan kejutan maupun bukan kejutan dibaliknya. Dan Sang Waktu akan terus berjalan tak tergoyahkan meninggalkan mereka yang menyesali kejadian dan lambat menghampiri mereka yang menanti. Ia hambar bagai udara hanya berisi molekul yang menghidupkan kehidupan.

Maka, masalalu percuma disesali maupun dibuat mummi, kekinian bukanlah provokasi untuk diingkari, dan masa depan bukan dinding tembok tebal tinggi yang melemahkan nyali. Semua hanya proses pendek kehidupan yang terurai dalam penjabaran mikroskopik Sang Waktu. Ia akan setia menyediakan tempat bagi setiap cerita mahluk hidup dan benda mati.


Gempol lewat tengah malam, 070524

Friday, May 11, 2007

Angin tinggi di siang hari

Ombak yang pasang bisa tampak jadi gelombang, sebagian bahkan terhayati sebagai badai dadakan. Kesurutannya akan mengagetkan siapapun sebab terkadang hidup seperti terasa di awang angan, tak mungkin kembali menginjak bumi.

Sebuah “kesalahan” ibarat sebuah bola yang terlihat dari seribu sisi jendela. Tergantung siapa dan bagaimana si penilai menyimpulkan pengetahuannya kemudian menjatuhkan argumentasi tentang makna “kesalahan” itu sendiri. Tetap menegakkan tameng ego (pembelaan) dengan mengatakan bahwa “aku tidak salah” barangkali saja adalah sebuah reaksi yang salah dari sebuah “kesalahan” yang dialamatkan kepada diri. Reaksi yang salah dari sebuah kesalahan akan berentet menjadi tindakan tindakan selanjutnya yang bisa jadi makin salah. Pembelaan terhadap diri sendiri bisa berubah bentuk rupa sebagai seliter bensin yang tertuang ke dalam nyala bagi orang lain.

Diam adalah salah satu pilihan yang menyakitkan, terkesan melemahkan. Tetapi percayalah, diam justru memberikan banyak peluang untuk menyimpulkan dengan lebih jernih, dengan otak yang lebih sehat dan berharap akan dapat output untuk bersikap yang lebih wajar dan diterima. Disekitar kita, berinteraksi dan hidup diantara kita, adalah individu individu, pribadi pribadi yang menutup rahasia dunia dibalik tempurung tengkorak mereka masing masing. Setiap pribadi membawa rahasianya sendiri sendiri, dan alam dunia yang ramai mengharuskan kita untuk terus dan terus berafiliasi dengan pribadi pribadi misterius itu. Apa yang tampak lurus belum tentu tampak sama dari sisi yang lain, apa yang tampak benar belum tentu benar bagi isi kepala yang lain.

Kekuatan untuk melawan ketidak inginan dan mengejar keinginan selama ini harus dikendalikan. Melawan fikiran sendiri sama saja menyelenggarakan proses pengeroposan terhadap nilai diri kita sendiri. Orang lain, kehidupan lain, mahluk lain, boleh berbuat semau mereka meskipun wujudnya menyiksa, memfitnah dan menganiaya. Semuanya terjadi dalam alam fikiran, dalam pertempuran emosi yang melelahkan dan tidak menghasilkan apa apa kecuali kebangkrutan. Setinggi apapun standar pencapaian atas apa yang bisa kita karyakan bagi kehidupan, tetap bukan kedua tangan kita yang menentukan. Namun demikian, tetaplah yakin percaya pada kekuatan kita sendiri serta terus memuja Tuhan sebagai sang Maha Kuasa.

Tahukah? Kenapa kuda yang menarik delman itu matanya ditutupi? Karena, supaya ia hanya bergerak maju sesuai kehendak sang kusir. Jika kita membayangkan dunia pandangan kita seperti itu, maka yang tampak adalah inci demi inci jalan ke depan, tak terlihat apa yang disamping dan sekitar kita. Intinya adalah bahwa selama kita bergerak maju, maka tidak perlu khawatir dengan laju dunia disekitar kita. Orientasi hidup semestinya memang maju. Bagi kita yang memang idealis dan memiliki standar pencapaian yang tinggi (yang sudah ratusan kali terbukti sering menjadi palu godam pelemah langkah kaki). Sikap dan perilaku menjadi terbius oleh upaya maksimal untuk memberi sumbangsih maksimal dalam karya. Kembali lagi, disekitar kita ada jutaan manusia yang belum siap dengan konsep seperti itu.

Seburuk apapun kita terjatuh, bukankah seyogyanya kita masih tetap harus bisa bersyukur bahwa kita masih bisa bangun lagi, bahwa kita masih memiliki hidup yang bisa kita isi dengan beragam cerita dan sejarah seiring berjalannya sang waktu? Maka rasanya tidak ada alasan untuk tidak bersyukur atas apapun yang didapatkan sekarang. Sakit hati, geram, kesal, sedih, teraniaya, terabaikan dan banyak lagi jenis penyakit jiwa hanyalah iblis penjelmaan dari fikiran kita sendiri. Meladeninya untuk terus menganiaya akan menguras energi dan membusukkan hati. Setiap kejatuhan mengandung makna pembelajaran, dan setiap nilai yang dilontarkan orang kepada kita, adalah patut untuk kita terima sebagai sebuah pandangan, bukan penghakiman. Kita beranggapan bahwa kita mengerti siapa diri kita serta bagaimana cara berfikir kita, tetapi sebenarnya tidak. Kita samasekali tidak mengenal siapapun dengan baik, bahkan mengenal diri kita sendiri.

Little this and little that, little here and little there will keep you strong. And the strongest you thought you are, we are only human beings…Dan benar bahwa diri sendiri harus mendapatkan prioritas pertama untuk dipercayai, dihargai dan dijaga oleh kita sendiri…

Nutricia 070511

Thursday, May 10, 2007

Mengenal iblis

(Demons ternyata adalah perwujudan dari fikiran kita sendiri, ia ada untuk merusak dan menyesatkan kita, Mbun. …)

Iblis adalah bentuk dari pikiran negatif yang tercipta dari batin diri sendiri. Ia berkembang atau merana tergantung seberapa besar kita mengasihani diri. Cara memeliharanyapun mudah, tinggal membagi bagi mereka dalam kandang kurungan dalam cangkang ego, maka lestarilah kehidupan si iblis dalam jiwa dan tubuh seseorang. Ia ada karena keberadaanya diada adakan sebagai tindak kecengengan atas sesuatu yang menimpa. Sebuah tragedy yang dialami seseorang bisa dengan mudah menebar larva larva iblis ke dalam seluruh sendi fikiran seseorang. Alasanya adalah hati yang tersakiti atau lebih lunak lagi sebagai reaksi dari pembelaan diri.

Ketika waktu berjalan begitu lambat, kegiatan si larva yang dititipkan oleh takdir untuk membusukkan akal kita telah membentuk menjadi kerajaan hantu dalam fikiran, mati dan hampa rasa, hanya bau busuk semata. Segalanya menjadi musuh dan langkah tertancap di beton penyesalan. Akal sehat dimabokkan oleh cacian yang terus menerus meluncur ke angkasa. Seluruh layar kehidupan menjadi muram dan jalan setapak dihadapan kehilangan rambu pijakan. Kekuatan hati yang dulu dibanggakan bisa bangkrut dalam hitungan hari bahkan waktu kehilangan harganya yang begitu berarti. Hidup serasa dikelilingi tembok ketidak yakinan, ketidak pastian dan ketidak berdayaan. Mengelilingi begitu ketat sehingga mematikan kemungkinan untuk melintasinya. Terkurung dalam kerangkeng negeri iblis ciptaan yang tak tersadari.

Pada titik terendah maka segala hal dan setiap mahluk hidup bisa menjadi penjelmaan dari iblis ‘ciptaan’ diri sendiri, memiliki kekuatan dahsyat untuk merusak atau sekedar memporak porandakan tatanan yang kita bangun sejak lama, bahkan sebagian tatanan hidup yang kita bangun sejak zaman masih kanak kanak. Segalanya menjadi terdramatisir dengan bumbu tragedy di awal cerita, menampakkan kemuraman kemuraman panjang yang seolah menjadi lumpur yang membenamkan kehidupan dan segala isi ceritanya yang nyata. Kebahagiaan menjadi menjauh, dan amarah menggumpal menyumbat aliran darah dan menimbulkan berbagai penyakit; psikosomatis.

Iblis memiliki sifat yang sama dimanapun berada, yaitu memprovokasi akal sehat untuk menjadi buta dan ngawur dan mengatasnamakan penderitaan bathin sebagai lagu sepanjang hari. Beruntunglah bagi sebagian orang yang memiliki saluran untuk mengekspresikan polah sang iblis dalam fikiran melalui bentuk bentuk karya seperti tulisan maupun karya seni lainnya sebab dengan begitu ia akan memiliki tonggak sejarah untuk ditelaah nanti jika badai derita ciptaan iblis mulai reda. Tidak ada sesuatupun di muka bumi yang abadi, segalanya menjanjikan perubahan buruk maupun baik. Demikian pula umur sang iblis, hanyalah tergantung kepada seberapa lama seseorang akan memeliharanya supaya tetap ada dan hidup di dalam fikiran, menjadi penguasa dan raja atas keadaan.

Karena keberadaanya memang dipertahankan secara tidak sadar oleh emosi, maka kepergiannyapun akan sesederhana datangnya. Mengabaikan adalah cara terjitu untuk mengaburkan daya rusak si iblis. Mengabaikan apapun yang dibisikkan sebagai provokasi, mengabaikan dampak kerusakannya terhadap laju pemikiran bahkan mengabaikan keberadaanya didalam diri kita sendiri. Seorang sahabat hati berpendapat bahwa ibils tidak akan mati, ia hanya bersembunyi tertimbun debu tipis penampilan sang matahari. Benar, bahwa mereka tidak mati, iblis adalah dzat yang tidak bisa mati, selama pikiran masih berfungsi. Ia ada dan terus mencari celah untuk memprovokasi fikiran, menyulut emosi untuk menghujamkan belati karatan masa lalu ke dalam jantung sendiri. Iblis sebagai pengejawantahan pikiran negatif kita akan terus menjadi oposisi yang mencari kesempatan untuk menyesatkan kepasrahan kita kepada hidup, dengan kata kata yang membakar dan pernyataan pernyataanya yang vulgar. Ia ada, didalam diri setiap manusia yang mengenakan jubah pembela dan berlagak sebagai hakim yang memalsukan tindakan pembelaan diri kepada siapa saja yang bingung untuk menentukan langkah bijaksana.

Mengenali iblis yang hidup dalam alam fikiran kita, adalah sama saja dengan mengenali diri kita sendiri dengan sangat diam diam. Semakin keras kita melawannya, semakin dahsyat pula daya rusakknya untuk jiwa kita…



Gempol – Nutricia, 070509

Friday, May 04, 2007

Penjaga Gudang Pangan

(cerita dari jakarta - 4)
Bang Ali Sadikin waktu jadi gubernur DKI meyakini bahwa Jakarta adalah kampung raksasa, kampung yang sangat besar. Orang orang yang tinggal di dalamnyapun otomatis adalah sekumpulan orang kampung juga. Persaingan hidup yang ketat dan keras, membuat banyak orang didalamnya dihinggapi penyakit kampung besar bernama ; kampungan. Bukan menyoal tata peradaban maupun tata sosial, tapi lebih kepada endemi penyakit mental yang perlahan menjangkit menjadi budaya baru, budaya kampungan. Krisis rasa malu, krisis toleransi dan krisis krisis budi pekerti lainya.

Kampung identik dengan ketenangan, kesahajaan, persaudaraan, gotong royong dan nilai peradaban yang tinggi, tetapi akrab dengan kesulitan demi kesulitan. Kampung adalah tempat dimana anak anak dilahirkan, dibesarkan dan diperkenalkan dengan alam, sedangkan Jakarta menampung sekian juta individu yang berdatangan dari kampung kampung di seluruh negeri. Masing masing kampung memiliki spesifikasi tradisi sendiri sendiri, dan ketika tradisi itu dibawa ikut serta ke Jakarta maka akan terjadi transformasi budaya baru lengkap dengan tradisi barunya. Budaya baru itu bisa berupa bentuk kebudayaan neo kapitalisme dan segala hal yang bersifat materialistic. Uang, barang, kasta, bentuk rupa, gengsi, kekuasaan dan segala jenis warna indah dunia ada disana.

Korupsi meskipun sudah berumur ribuan tahun, tetap mengalami pertumbuhanya sesuai dengan irama zaman. Jakarta tentu tidak luput dari giliran dihuni oleh para penggemar korupsi ini, yang baragam bentuk serta berbagai modus operandi. Korupsi bukan sekedar kata akta yang akrab kita dengar setiap hari namun juga bisa kita lihat di sekitar kita, atau bahkan barangkali tanpa sadar kita sendiri ikut ambil bagian dalam melaksanakan dan melestarikan kegiatan nista ini. Seorang bekas pejabat tinggi era Pak Harto yang pernah sekantor suatu saat bilang, bahwa korupsi itu seperti kejahatan legal bagi siapapun yang memiliki kemampuan. Wewenang dan kekuasaan mempermudah terjadinya hal ini, diselewengkan demi kepentingan diri sendiri yang umumnya adalah memperkaya diri.

Penegakan hukum yang loyo serta lemahnya komitment pelaku birokrasi atau penyelenggara negara ibarat oksigen bagi titik api yang tersembunyi. Menipisnya budaya malu dan tahu diri membuat banyak pejabat menjadi begitu tenar di media massa, ketenaran karena menilep uang negara yang notabene uang rakyat juga. Rakyat pasti gemas ketika menyaksikan orang yang berwenang ngurusin kesejahteraan pangan rakyat ternyata kelimpungan sendiri, kekenyangan uang dari hasi tilepan. Ibarat tikus mati di lumbung padi, si pejabat memperlihatkan aksi serakahnya dengan membagi bagikan uang yang hanya beberap miliar rupiah kepada sanak saudara dan anggota keluarganya, yang lainnya disimpan di dalam ember kamar mandi dan dimanapun sesuka hati.

Sang penjaga gudang makanan tidak akan lucu jika ia mati kekenyangan. Pikiran kotor dan serakah menyeret keinginan manusiawi yang sulit dicari batasnya. Barangkali otak pintarnya telah terkooptasi dengan stigma tentang budaya kerja penjaga gudang makanan, karena memang sejarahnya mengatakan demikian. Soal rasa malu, tahu diri apalagi pengabdian sebagai pengemban sebuah amanah rakyat jelata, sudah dilupakan sehari setelah pelantikan. Itu hanya slogan, hanya landasan filsafat yang mandul. Moralnya bangkrut digerus nafsu duniawi semata. Kesadaran intelektualnya telah mengijinkan dirinya sendiri untuk menjadi maling dengan suka dan rela membunuh martabatnya sendiri. Uang, semakin banyak memang semakin enak rasanya dan tidak ada yang bisa membantah itu di Jakarta…

Mari saudara, kita pelihara budaya malu dan tahu diri dalam pribadi kita masing masing…

(ditulis sebagai renungan akhir pekan, bukan sebagai penghakiman tetapi pengingat kepada nurani kita sendiri bahwa ada yang jauh lebih berharga daripada uang dan kesenangan dalam hidup; integritas diri)


nutricia 070504

Wednesday, May 02, 2007

Kenangan cinta

Sore ini gerimis mengantarkan kenangan, menggubahnya menjadi kerinduan yang menggebu, begitu diam lindap di dalam ruh sang kalbu. Begitu rahasianya pikiran manusia. Obrolan tentang seribu satu pertanyaan meliuk dan menukik diantara angin yang dilumuri butiran air dari langit, terjawab hanya oleh rintiknya yang lalu terhempas di jendela dan jadi cerita masa lalu. Hanya angin yang membawa kabar tentang keberadaanya, tentang kehidupannya dan tentang fikiranya. Semua gelap, kosong tanpa warna apa apa, hanya pertanyaan semata.

Mengenangkan cinta, mengenangkan seraut wajah penuh pesona, mengenangkan manis kehangantan kasih mesra yang pernah begitu dekat dalam hati. Cinta yang tadinya seperti benda mati yang tak akan mati ternyata bisa juga berubah menjadi kenangan. Waktu begitu perkasanya merubah semua hal diatas bumi, tapi waktu juga tak berdaya mempengaruhi bentuk atas apa yang tak kasat mata; kehidupan nun jauh di pendalaman rasa.

Cinta yang terkenang menjadi ilham bagi kehidupan. Ya, seluruh isi kehidupan manusia adalah cinta dan sisanya hanyalah sampah pemanis cerita semata. Terkadang masalah datang bukan dari diri sendiri, masalah itu bukan punya diri. Tetapi sering fikiran mengolah masalah itu menjadi milik sendiri, menjadi masalah pribadi sendiri dan membiarkan diri tersesat kehilangan petunjuk oleh karenanya. Jika mengikhlaskan diri untuk terlibat dalam kehidupan orang lain, sama halnya dengan tulus terlibat dalam masalah orang lain juga yang mana itu menjadi inti dari kasih sayang.

Mengenangkan cinta yang telah menjadi sejarah seumpama memandangi lukisan di galeri dinding hati. Relief relief kehidupan menjadi ornamen yang tersimpan rapi di ruang batin, memperkaya khasanah rasa dalam hati. Mengharapkanya bangkit dan hidup kembali, sama halnya dengan menimbuni keindahan itu dengan hal baru yang bisa saja menghapusnya selamanya.

Ah, betapa beruntungnya kita mampu memelihara kenangan dalam ruangan batin, kemudian betapa bersyukurnya kita pernah menjelajahi perjalanan dalam buaian keperkasaan sang cinta, dan membiarkan jadi sebuah kenangan panjang tentang isi kehidupan masa silam...ya, hanya kenangan cinta.

Nutricia, 070502