Friday, April 18, 2008

Si Lucky

Namannya Lucky, profesinya sopir mobil charter dari Surabaya yang ditugaskan mengantar kliennya mulai dari menjemput di bandara Adi Sumarmo Solo sampai kemanapun si klien memintannya. Kebetulan kali ini ke Purwokerto, untuk urusan pekerjaan tentu saja. Boleh mampir dimana saja, terserah apa kata tamu yang dibawanya. Puluhan kilometer jarak tempuhan, diiring musik cadas Van Hallen tahun delapanpuluhan atau musik sederhana dari Koe Ploes tahun yang lebih tuaan. Mengingatkan zaman bahwa diamasa lalupun kehidupan berjalan sama seperti hari ini dan kemarin, ada tragedi dan kegembiraan, ada hidup yang hidup dalam setiap hati manusia penjalan hidup.

Malam dingin luruh menusuk tulang belulang, mengantarkan bulan menelusup diatap rumah rumah tua di kota kecil Purworkerto. Hujan sesore tadi membasahi rumput di halaman kamar dimana mobil sewaan terparkir siap mengantar kemanapun dan kapanpun atas kendali Lucky, atas kuasa klien.

Hal demikian menciptakan gunung tebal pemisah antara klien dan sopirnya, hanya terbatas oleh dinding tipis kamar hotel tempat si klien menginap. Didalamnya sebuah ranjang ukuran nomor dua, selimut lembut tebal dalam lingkupan hawa sejuk pengatur suhu ruangan, dengan segala kemewahan hotel menjadi hak mutlak sang klien, sedangkan Lucky harus melingkerkan tubuhnya yang letih setelah mengemudi sesiangan di dalam mobil yang notabene bukan mobilnya sendiri pula.

Manusian menciptakan aturan, menentukan batasan dan hal demikian sudah wajar dalam budaya kapitalisme dimana uang menentukan status, keterpaksaan bahkan standar kenyamanan. Terkadang menjadi ambigu sendiri ketika privacy menjadi terganggu hanya oleh rasa iba, namun demikian tetaplah berjalan sesuai kehendak sang malam. Tubuh melunglai oleh letih yang membelai, dan embunpun mengurung mobil sewaan dengan tubuh sang sopir tinggal raga dengan ruh mengembara nun jauh ke tanah kelahiran.

Lucky mungkin tidak sesuai dengan namannya. Keberuntungannya menjauh oleh sebab profesi yang dipilihnya, pilihan yang mungkin bukan kesukaannya. Idealisme dan kecanggihan penalaran tak mampu menolongnya untuk keluar dari kungkungan nasib, menerima pasrah pada kehendak hidup dan menjalani setiap menit kehidupan dengan berusaha terus bersyukur dan menrimannya sebagai sebuah keberuntungan sesuai dengan nama yang disandangnya, hadiah dari ayah ibunya.

Hati sang klien mungkin tak semulia malaikat dalam buku cerita, namun ia tetaplah manusia yang memiliki nurani yang bersuara, menggugat logika yang membatasi hak kenyamanan. Kedua duannya sama sama hanyalah menjalankan pekerjaannya, berupaya bertahan hidup dalam persaingan yang kian hari kian mengetat jua. Lepas dari itu semua, dua duannya menjadi lelaki yang menjadi pahlawan bagi siapapun yang ada didalam hatinya.

Lucky di luar kamar, di dalam mobil dan sang klien si orang penting didalam kamar dalam kenyamanan yang membentangkan jarak antara kebersamaan seharian. Dan diantara sekian banyaknya kesamaan, hanya nasiblah yang membedakan.

Apa hendak dikata, kehidupan dunia memang penuh dengan aturan budaya produk manusia…

Marlboro Rocks Purwokerto 18 April 2008