Friday, March 24, 2006

Sepatu Mas Jaman

Mas Jaman, berumur tigapuluhan sekian. Staff bagian perencanaan disebuah perusahaan swasta yang dikelola langsung orang orang asing, Australia. Dia pekerja yang rajin dan inovatif. Selalu diciptakanya sendiri kesibukan kesibukan ketika hampir semua pekerjaannya sedang mengalami low priority. Dia memang cakap di bagiannya bahkan belum sekalipun mendapat komplain dari atasanya.

Musim hujan suatu pagi. Seperti biasa mas Jaman datang dikantor tigapuluh menit sebelum waktu mulai bekerja, 08.00 WIB. Perjalanan dari rumahnya yang berjarak lebih 20 kilometer dari kantor degan sepeda motor membuat sepatu yang dipakainya basah dan sedikit kotor. Sang atasan tiba tiba saja menghardik keras kepada mas Jaman, soal sepatu yang tak sepatutnya dipakai kekantor pagi itu; kotor dan tak terawat. Diperlihatkanya sepatunya yang mengkilap oleh semir dan kalis dari setetes airpun, sebab sang boss pastilah bermobil kekantor, dengan sopir yang digaji oleh kantor, dengan penghasilan kantor yang sedikit banyak diciptakan oleh mas Jaman juga.

Ia berusaha sebisa mungkin menstabilkan diri dengan keadaan. Meskipun begitu, hatinya sungguh tidak terima. Perasaan pribadinya tersinggung oleh ulah sang boss yang dianggapnya memang membawa permasalahan rumahnya kekantor pagi ini. Bathinya memprotes keras, tapi mulutnya diam sebagai bawahan. Kalau yang jadi permasalahan adalah karena kualitas pekerjaanya, dia akan memaklumi dan menerimanya dengan lapang dada. Tetapi ini soal sepatu, yang tidak ada sekuku hitampun hubunganya dengan tugas pekerjaanya. Dan hanya dia yang tahu, sepatu itu satu satunya yang dia punya sesuai dress code kantornya!

Mas Jaman bukan type pelawan, apalagi pahlawan. Maka perlahan diredamnya ketersinggunganya, diterimanya sebagai kritik untuk penampilan diri pribadinya, dan juga untuk citra penampilan kantornya. Hanya dua hari sejak itu ia harus segera menemukan cara untuk penampilan sepatunya.

Sejak dua hari itu, maka dia berangkat dan pulang kekantor hanya bersendalan saja, sementara sepatu yang telah dipoles dengan semir dan terlihat jauh lebih terawat disimpanya di locker kantor. Hanya ketika jam kerja saja dipakainya sepatu itu, sementara sendal jepitnya menemani keberangkatan dan kepulanganya kekantor. Dia menjalaninya dengan hati ringan, menemukan solusi untuk satu persoalan yang tak perlu menjadi singgungan atas harga dirinya yang terlalu ketinggian hanya oleh ucapan sang atasan. Justru mas Jaman mengucapkan terimakasih kepada atasanya.

Belajar dari mas Jaman, adalah menelaah sebuah resolusi konflik dari sudut yang paling individual. Berfikir positif atas kritik yang diterima kemudian mengimprovisasi pandangan yang melahirkan sebuah sikap arif berarti sebuah pembentukan karakter yang bijaksana. Zaman yang pekak dengan gembar gembor retorika reformasi dengan pola pola penonjolan individualisme seperti ini, justru yang diperlukan adalah karakter mas Jaman yang dengan arif memandang suatu ketidak nyamanan atau ketidak sukaan dari luar kotak pemikiran egonya sendiri. Jika saja Indonesia memiliki duaratus juta saja mas Jaman, maka negeri ini akan memiliki karakter yang membanggakan seperti yang dicita citakan Bung Karno dulu ; nation character building!
Karena sampai sekarang, bangsa ini tidak punya karakter yang jelas.


Simatupang, 060324