Monday, March 20, 2006

Tempat

(sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan suatu sore)

Bilik bilik labirin dalam jiwa, telah terisi oleh penghuni segala rupa. Iblis iblis yang didatangkan dari negeri dongengan pendurjana, pun masih berjejalan diluar ruang, diluar kulit ari tubuh. Kelengangan yang dulu melahirkan kearifan dan tak jarang melantumkan tembang merdu dramatisasi panca indera sekarang menjadi riuh oleh tempik sorak dan suara gaduh. Sang tuan tanah telah menggadaikanya dengan harga sedemikian tinggi hingga tak ada angka yang pantas untuk disebutkan sebagai ukuran.

Penghuni penghuni baru itu, memang tak tahu sopan santun apalagi tenggang rasa. Mereka mencoreti dinding, merobeki langit langit dan menghancurkan lantai dengan suara gemuruh pesta urakan. Segala benda yang ada didalamnya dikhawatirkan menjadi rusak oleh ulah mereka yang menangan. Mereka menjadi virus didalam rumah hati yang mereka kunci dari dalam, penuh rahasia. Tak ada yang melawan sebab ia hanya budak rumah hati belian, yang lantas digadaikan. Kehilangan status kepemilikan, dan kemudian menjadi rumah pesta para iblis, pesta pora dari pagi siang sore malam ke pagi lagi. Pesta itu berupa: badai!

Tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menunggu pesta mereka usai, setelah nurani sanggup mengkompromi bahwa pesta memang pekerjaan si menangan. Mengangkat tangan dan mempersilakan mereka tinggal didalam dengan selamat adalah pilihan. Maka si tuan tanah kehilangan pulalah segala yang merasa menjadi miliknya yang tak berharga. Rumah hati yang digadaikan itu! Itulah satu satunya yang kini patut dianggapnya sebagai benda berkepemilikan. Tapi si tuan tanah lupa jalan pulang. Ia terlalu sibuk menghamburkan uang gadaian untuk senang senang, pesta pora (seperti iblis) sampai tandas tak bersisa, tanpa isi angka. Ia lupa tempatnya berada, karena terlalu mabok oleh kenikmatan sebuah pesta dengan dress code binatang.

Seorang yang baik hati, yang diludahi dulu di tempat pesta menolongnya ketika ia tersesat dan sendirian dalam pencarian jalan pulangnya. Dituntunya si mabok dengan kekuatan yang ia punya sebagai orang nomor kesekian dalam skala prioritas si tuan tanah pemabuk. Diantarkanya sampai pintu rumah hati itu terbuka dan dia masih menemukan miliknya yang disangkakan hilang, fikiran yang penuh kemabukan tatkala itu. Ketika mabuknya perlahan berkurang, dan dia nyaman menjadi penguasa rumah hati. Dia perlahan berfikir…Ah betapa nikmatnya berpesta!

Maka digadaikannya lagi rumah itu, dengan harga yang lebih mahal kepada sekelompok iblis paling bengis. Kemudian rumah itu kehilangan bentuk, menjadi suram tanpa cahaya, hanya jeritan yang kadang terdengar dari dalamnya. Spooky istilahnya (meminjam terminologi dari seorang istimewa). Si tuan tanah setelah uangnyapun kandas ditempat pesta, terhuyung huyung mabuk pulang kerumahnya, lalu terkapar pingsan diemperanya. Pintunya terkunci dari dalam. Ketika siuman, ditemukan dirinya terkapar telanjang di emperan rumah tanpa bentuk. Inilah rumah yang dianggap tetap menjadi miliknya. Kini reot dan buruk, kehilangan bentuk dan…dia tak menemukan pintu ataupun jendela disana! Rumah itu telah jadi batu! Maka ia tetap menggelesot di emperanya, menghayalkan ribuan pesta yang pernah dilakukan sambil menyaksikan matahari melintasi langit bumi setiap hari. Sampai pangeran kodok akan datang untuk menyihir kembali rumah hati jadi rumah teduhan.

Atau, sampai ia pergi lagi mencari pinjaman, setidaknya diemperan rumah tanpa pintu itulah tempatnya berada...


Gempol, 060320