Saturday, May 27, 2006

Garda Bangsa vs FPI = premanisme berkedok agama.

Jika anda bingung mengartikan judul diatas, maka bisa disederhanakan dengan Ormas Islam vs Ormas Islam, kedua duanya organisasi massa berbasis sektarian. Mau lebih sederhana lagi, sebut saja Gusdur cs vs Habib Rizieq cs. Kedua duanya adalah pemimimpin yang notabene imam dalam organisasi bebasis massa. Dan dimanapun, organisasi berbasis massa seperti ini rentan memicu dan menimbulkan konflik horizontal, dengan fihak manapun yang tidak persis sefaham dengan kolompoknya. Dalam konteks ini menjadi lebih parah karena kedua duanya berbasis agama sama, Islam yang seyogianya adalah sebuah faham yang mengajarkan kedamaian kepada penganutnya.

Perseteruan dua kolompok Islam yang dipicu soal pro kontra Rencana Undang Undang Pornografi dan Pornoaksi tersebut telah melenceng jauh dari esensi yang sebenarnya. Orang jadi lupa sama azas kesederhanaan, melupakan pokok pangkal permasalahan serta nilai nilai ajaran dogmatis tentang cinta kasih dan sopan santun. Satu kelompok menentang RUU APP karena dianggap hanya akan menjadi sampah undang undang setelah sekian peraturan, ketentuan dan undang undang selama ini mandul dalam implementasi (yang sebenarnya disebabkan karena unsur unsur pelaksananya yang impotent), satu kolompok lagi mendesak agar RUU APP itu segera di sahkan oleh DPR. Kedua duanya sama; untuk mereduksi kebejatan akhlak bangsa, mengatur batas batas eksplorasi syahwat!

Tetapi sekali lagi, masing masing yang berkepentingan adalah yang paling benar, dengan argumentasi yang paling sahih. Masing masing imam adalah yang harus diikuti dan dibela, kalau perlu dengan kerelaan untuk mati. Oligarki bergaya sektarian ini tidak lebih dari pada premanisme yang berkedok agama, menggunakan eksperimen eksperimen destruktif sebagai titik penekanan terhadap obyek garapan. Orang, bahkan anak anak (tunas harapan penerus generasi – pen) sudah tidak asing lagi dengan kata kata hujatan, makian bahkan pengkebirian martabat terhadap kepentingan diluar satu kelompok. Yang memprihatinkan lagi, kebangkrutan nilai tanggung jawab telaah moral telah jauh memutan didalam kelompok yang semestinya memiliki idealisme dan tanggung jawab terhadap perbaikan moral; agama. Ajaran sesat tentang moral itu digambarkan secara gamblang oleh Gus Dur cs dan Habib Rizieq cs yaitu budaya kekerasan.

Islam (baca : muslim) sebagai satu komunitas yang bisa menimbulkan efek positif maupun negatif yang massif di negeri tercinta ini seakan telah menjadi pecahan pecahan beling dengan sisi sisinya yang tajam mengerikan, siap melukai siapa saja yang bersinggungan. Pada pandangan yang lebih umum, kaidah tentang persatuan dan kesatuan bangsa yang semestinya bisa disokong oleh toleransi beragama sebagai modal vital dan sekaligus ladang persemaian bagi benih benih baru yang akan melestarikan budaya damai dan cinta kasih telah mengalami degradasi nilai yang sungguh memprihatinkan. Inilah saatnya kita mempertanyakan integritas pemimpin sebuah kaum kepada sanubari kita masing masing, bukan asal berteriak lantang dan mengacungkan kepalan tangan dengan pengertian yang dangkal mengenai arti sebuah pembelaan. Kebenaran bisa menjadi sumir dengan olah bahasa yang sedemikian absurd, dan menentukan kebenaran berdasarkan ‘kata orang’ adalah apriori semata; sebuah tindakan yang sebenarnya amat berbahaya bagi masa depan bangsa.

Jadi, benturan dua kelompok massa Islam yang terjadi sejak Selasa lalu (060523) sejak Gus Dur dengan lantang ‘menghujat’ FPI, mempertajam image buruk tentang Islam dengan anarkisme dan premanisme. Pembelaan apapun yang mengatas namakan perdamaian dengan kekerasan justru akan menimbulkan impact ganda atas image yang disangkakan. Jika beberapa kalangan menganggap penganut Islam berperilaku ekstrim, hal itu memang dibuktikan kebenaranya oleh Gus Dur cs dan Habib Rizieq cs dengan mengedepankan pendekatan yang arogan, alih alih dialog yang bisa menyejukkan iklim negara yang memang sedang gerah atas hampir segala hal ini. Siapa yang salah, tak perlu kita tentukan, sebaiknya kita tanyakan kepada lembar lembar rumput patah yang terinjak injak massa yang marah kepada sesamanya atas nama Tuhan itu, sebab sang rumput tak sanggup lagi bergoyang.

Apakah kita akan wariskan budaya kekerasan kepada anak cucu kita? Mari tebarkan kasih dan damai kepada seluruh penghuni bumi, satu satunya warisan yang layak bagi generasi mendatang…

Gempol, diantara petir dan gelap malam 060527