Thursday, May 24, 2007

Sang Waktu

Betapa sederhananya sebuah kehidupan berproses mulai lahir, hidup lalu mati. Ya, begitu saja. Kemudian waktulah yang menjadi poros satu satunya perputaran dua titik antara lahir dan mati yang bernama hidup tersebut. Sang Waktu mengurai konskwensi logis dari sepotong sepotong kehidupan mikro dan menggumpal sangat besar menjadi keseluruhan berjalannya dunia fana yang ramai dan tumpah ruah dengan miliaran cerita. Sang Waktu terkesan mengendalikan semua alur cerita, padahal yang terjadi adalah waktu memberi peluang kepada setiap elemen hidup untuk merangkum segala lakon, hanya membiarkan berjalan tanpa kekang.

Sang Waktu menciptakan tiga dimensi masa yang tak bisa terputuskan hanya dengan kalimat ‘seumpama dulu’ atau ‘seandainya nanti’. Keduanya tidak mengandung isi, kosong dan bukan kenyataan. Tadi, sekarang dan nanti adalah tiga dimensi masa ibarat saudara kembar siam tiga orang dengan karakter yang berseberangan. Sang Waktu menjadi bejana besar dimana masa lalau, masa kini dan masa depan saling berpilin menjadi kesempurnaan misteri kehidupan. Ya, Sang Waktu sendiri adalah manifestasi dari kemisterian itu sendiri yang mengolah masalalu menjadi batu, masa kini menjadi kenyataan dan masa depan menjadi….bayangan.

Sang Waktu mengandung sisi sisi tajam kepedihan dan sekaligus anggunnya sebuah kebahagiaan. Bukan pula sebagai permainan Sang Waktu apabila warna langit berubah hanya dalam hitungan detik, melainkan sekali lagi konskwensi logis dari sebuah proses metamorfosa panjang kehidupan. Tidak sepanjang itu, saudara sebab satu mahluk hidup hanya boleh tunduk dalam kekuasaan Sang Waktu dalam sekejap saja, yaitu pada hidup diantara titik lahir dan mati. Masa lalu bisa menjadi hantu blao, bisa menjadi permen pemanis kenyataan dan tentu saja menjadi buku abadi bernama pengalaman. Sang Waktu setia mencatat semua kejadian dengan goresan goresan sejarah di setiap halaman buku yang mencatat setiap detik yang dilewati oleh alam fikiran yang akhirnya tersimpul rapi menjadi sebuah produk bernama kenangan. Dan kenangan, ada baiknya untuk disimpan di peti peninggalan dan tetap menjadi kenangan. Membangkitkannya kembali menjadi sebuah kehidupan akibatnya bisa sangat mengecewakan, sebab ia telah menjadi milik mutlak dari Sang Waktu; yang telah mengolahnya menjadi batu.

Masa lalu hanya sebutir pasir di padang pasir Sang Waktu. Hal yang sebutir inilah yang menjadi bekal warna dan rasa kekinian. Ia menentukan kelanjutan sebuah kisah, sebuah konskwensi logis yang disebut sebagai kenyataan. Tanpa masa lalu maka tidak ada kekinian yang tercipta dan tanpa kekinian maka masa depan telah kehabisan ruang sebagai cerita. Dalam kekinian Sang Waktu menjadi mata dan telinga, menjadi saksi atas sebuah kehidupan. Ia menjadi sebuah hidup yang terjalani yang dalam sekejapan mata berubah menjadi hanya cerita, kenangan hasil cetakan sang masa lalu. Bagi yang bijaksana kekinian adalah sebuah kesempatan emas untuk mengarang bentuk masa depan dalam sebuah rencana bahkan hanya sekedar angan angan. Pada saat yang bersamaan proses mengarang, menikmati setiap helai karunia dalam sebuah sikap syukur membuat hidup terasa tidak memerlukan beban apa apa karena tidak memilikinya. Tiap tetes air yang masuk lewat kerongkongan, tiap butir udara yang mengisi paru paru, dan tiap kelebat ingatan maupun pemikiran semua bersinergi menjadi rasa, dan itulah yang disbut kenyataan.

Selebihnya kenyataan menjadi hulu dari keinginan dan rancang bangunan masa depan. Bermula dari proses berfikir, kemudian menganak sungai menjadi berjenis jenis calon tingkah dengan bungkus jubah belabel ‘akan’. Dan masa depan menyimpan misterinya sendiri, tak teraba oleh rasa bahkan tak terdeteksi oleh hitungan matematis dalam bentuk ramalan. Masa depan adalah teka teki tanpa jawaban, sedangkan logika dan intuisi hanya menuntun kepada kemungkinan kemungkinan, padahal masa depan tidak lebih dari jutaan pintu kemungkinan yang akan terbuka salah satunya dengan kejutan maupun bukan kejutan dibaliknya. Dan Sang Waktu akan terus berjalan tak tergoyahkan meninggalkan mereka yang menyesali kejadian dan lambat menghampiri mereka yang menanti. Ia hambar bagai udara hanya berisi molekul yang menghidupkan kehidupan.

Maka, masalalu percuma disesali maupun dibuat mummi, kekinian bukanlah provokasi untuk diingkari, dan masa depan bukan dinding tembok tebal tinggi yang melemahkan nyali. Semua hanya proses pendek kehidupan yang terurai dalam penjabaran mikroskopik Sang Waktu. Ia akan setia menyediakan tempat bagi setiap cerita mahluk hidup dan benda mati.


Gempol lewat tengah malam, 070524