Tuesday, December 28, 2010

Surabaya Suatu Ketika

Dari balkon lantai tiga angin memempermainkan pucuk pucuk angsoka, menghembus menejelajah wajah sepi. Padahal malam masih juga belia.

Langkah kaki menyusuri pematang beton berliku, diantara kebun hijau berumput rapi.Kebun ini ditumbuhi warna warni bunga kamboja, batang pohonnya meliuk kekar diterangi lampu2 berwarna merah kekuningan laksana taman istana sang raja.

Pagar batas yang digaris dengan pohon bambu bambuan, menyususri malam, menyususri sepi, dunia tanpa suara. Pada saat itulah rindu yang sangat membekukan kalbu; rinduku padamu. Akhirnya badan sampai di restoran, satu lantai dibawah lobby. Rindu membagi moment surga denganmu.

Duduk di bangku kayu meja kayu berpayung kain terpal warna biru. Menghadap ke kolam renang, dengan bising mesin pompa sebagai iringan. Lalu gerimis kecil kecil, kopi sudah datang, tinggal nunggu kentang goreng disajikan. Di kolam renang dua remaja laki2 berenang. Badanya gendut gendut, mereka berpacu renang.

Kentang goreng sudah datang, pelayan melayani tamu ibarat seorang juara. Berdiri sambil setengah berteriak dipinggir kolam, bapak bapak sekitar 50an bertingkah seorang pelatih. " Dik...dik..! Gaya dada dik! Begini lho, tangannya kedepan, kebelakang teratur jangan begini begini" katanya sambil memperagakan gerakan berenang yang salah, sambil berjalan mengikuti laju renang dua bocah gendut yang jelas megap megap menggapai tepi kolam yang licin dengan sisa kekuatannya yang menipis. Seolah bertemu malaikat penyelamatlah ketika jari tangannya menyentuh porselen permukaan kolam. Keduanya mangap mangap merampas oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh mereka.

Setelah gaya bernafas ekstrim perlahan tenang, selebihnya adalah suara kecipak air, keduanya tidak lagi beradu balap renang lagi, dengan orang aneh yang tiba tiba menjadi pelatihnya berteriak teriak memerintah dan menyalahkan. No way!

Kolam semakin sepi, ketika bapak pelatih tadi tampak datang lagi (padahal tidak jelas kapan bapak itu perginya, tapi tahu tahu dia datang lagi), kali ini membawa kamera pocket warna silver, dan bersiap memotret sudah sejak dari kejauhan. " Papa...papa.....foto pa!” Rupanya masih ada kehidupan, dari dalam kolam renang. Salah satu dari 10 pohon palem dari yang mengelilingi kolam memang menghalangi pandangan. Rupanya pelatih itu bapak perenang kita, dan perenang kita adalah anak dari orang aneh ditepi kolam.

Kali ini si bapak diikuti seorang wanita paruh baya yang nampaknya adalah istri si aneh, ibu dari anak anak gendut di kolam. Sekarang si bapak sibuk menjadi fotografer dengan kaidah yang benar, terutama jika dilihat dari posisi posisi badannya pada saat mengambil gambar. Mulutnya sesekali mangap, memberi instruksi kepada obyek fotografinya yaitu anak2 gendut di kolam. Kedua bocah gendutpun tidak kalah berisiknya, bersahutan meminta perhatian sang tukang foto. Bapak itu semangatnya menggelora. Gaya tubuhnya sekarang lebih menggila, miring kanan, miring kiri, maju mundur penuh ekspresi.

Istrinya menempel ketat sang suami, berusaha turut andil dalam mengintip display dan me-review hasil jepretan suami tercinta. Si bapak berjongkok rendah, istrinya berdiri tepat dibelakangnya, setengah membungkuk turut menikmati sensasi fotografi bersama suami dan anak2nya. Posisinya singguh membahayakan dirinya, sebab jika sang suami tiba2 berdiri tak ayal akan membentur dada istrinya. Naaah! Kejadian juga! Dada busung si istri terbentur kepala si suami yang tiba tiba berdiri.

Formasi keduanya sekonyong konyong berubah, sama sama sempoyongan dan saling menyalahkan. Kata katanya pendek dan tegas, setengah menyentak dalam bahasa Jawa! Hanya sekejap kejadian itu kemudian si ibu menjauh kembali ke dalam bangunan, lalu proses memotret terus berjalan. Kilatan lampu blitz dari kamera pocket warna silver terus menyentak nyentak mata, seolah beradu dengan kilat di langit penanda cuaca. Gerimis perlahan turun semakin serius, butiran airnya seolah lenyap terbentur payung terpal warna biru.

Ya, gerimis turun dan kolam renang kembali sunyi, sesepi hati malam ini.


Surabaya 101228

Friday, December 24, 2010

Sendal

Jika diantara dua orang, yang satu tunagrahita dan calon yang satunya tunanetra, maka manakah yang akan lebih bijaksana dalam memimpin?

Dalam menjalankan fungsi kekuasaanya, penguasa tunanetra seharusnya lebih bisa bijaksana dibandingkan dengan penguasa tunagrahita. Sebabnya, ketunanetraanya adalah berkah untuk tidak melihat isi dunia yang terkadang menyilaukan mata dan bisa merubah perilaku orang. Ia mendengar dan memahami keadaan disekelilingnya dengan penginderaan bathin, dengan merasakannya sebagai pengalaman empiris yang menempatkan diri pribadinya adalah bagian dari sebuah sistem masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban, serta cita cita politik yang sama. Penguasa tunanetra mendasari keputusan keputusan yang dibuatnya dari apa yang ia rasakan dan ideal menurut parameter nuraninya.

Sedangkan dalam fungsi yang sama, pemi mpin yang tunagrahita memiliki kendala besar dalam mendengar dan menangkap suara suara yang timbul disekitarnya. Ia tidak bisa membedakan mana jerit kelaparan dan mana makian kemarahan. Penguasaan dan pemahaman atas alam kawula yang mendambakan kebijaksanaanya sudah melalui saringan saringan, individu individu penterjemah yang terkadang menginterprestasikan aspirasi kepada boss tunagrahita sesuai pesanan sponsor yang memberinya penghasilan sampingan. Keputusan penguasa tunagrahita cenderung tidak tepat sasaran, karena selain mengupayakan berfungsinya alat pendengarannya, kemegahan dunia telah mengurungnya dalam tembok tirani kekuasaan lewat bagaimana dia memandang orang membungkuk terhadapnya, tersenyum dan seolah olah selalu antusias untuk bertemu dengannya. Pandangan matanya dihiasi dengan kembang kembang plastik dan hal hal manis atribut penguasa. Karena ia mampu melihat, maka yang dinomorsatukan tidak lain adalah priviledge-nya sendiri. Karena dia penguasa, bukan karena dia tunagrahita. Sudah menjadi pembawaan alamnya, penguasa tunagrahita selalu pasti tamak sifatnya.

Bagi kawula, memang tidak ada pilihan lain kecuali menjadi kawula. Menjadi bagian kecil yang seolah olah diluar sistem kekuasaan yang hingar bingar. Porsi sikap dan kewajiban yang dimiliki adalah civil obedience. Ketaatan terhadap aturan aturan yang dibuat untuk menciptakan ketertiban, yang juga dikelola oleh penguasa atas tegak dan berlakunya peraturan itu berbasis rasa adil. Intinya, kawula tidak mempersoalkan penguasa yang tuli ataupun penguasa yang tunanetra selama penguasa dapat juga memenuhi kewajibanya sebagai pengayom dan pelayan kawula. Itu amanah mulia, bukan semata mata mata pencaharian, yang idealnya dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan bagi semua kaum kawula. Rasa adil harus menjadi jaminan untuk perlakuan yang sama sesuai porsinya. Jika penguasa baik yang tunanetra maupun yang tunagrahita tidak memiliki kepekaan terhadap rasa itu, maka doa kawula yang merasa terzalimi lambat laun akan dikabulkan Tuhan juga.

Tetapi penguasa tunagrahita maupun tunanetra tak jarang melahirkan tipe penguasa yang baru, yaitu penguasa tipe sendal. Ia belajar menjadi penguasan berbasiskan filsafat sendal jepit. Gaya kepemimpinan yang memanfaatkan anak buahnya ibarat sendal, alas kaki yang dipakai untuk keperluan2 remeh temeh dan receh, sebab jika keperluan penting tentunya orang menggunakan sepatu. Penguasa model ini membawa dirinya berdasarkan pandangan dan kepentingan pribadinya saja, dimana urusan performa organisasi atau kelompok menjadi bukan prioritas; apalagi bicara soal bakti negara.

Pada prakteknya, penguasa seperti ini sangat gemar memerintah dan sedikit memberi contoh, maka sulit juga dirinya dijadikan contoh bagi bawahannya. Bahkan hal sepele untuk keperluan pribadinya jika perlu harus menyuruh bawahannya. Lebih besar lagi, ia akan melimpahkan tanggung jawab yang berkenaan dengan citra dirinya kepada orang lain agar dia aman dari pandangan orang akan kekurangannya. Sifat egois yang menjadi pandangan hidupnya mengabaikan akibat akibat negatif yang terjadi pada kelompok yang dipimpinnya. Ia suka memberi perintah tanpa menjelaskan latar belakang perintah itu serta dengan mudah menungarahkan jari telunjuk kepada bawahannya jika sesuatu hal yang tidak dikehendaki terjadi. Penguasa sendal adalah type manusia yang gemar mengoleksi kambing hitam.

Idealnya seorang penguasa harus bisa menjadi contoh, bukan sekedar bisa memberi contoh. Agar maklum, penyandangan tunanetra dan tunagrahita disini yang dimaksud adalah nuraninya.

Selamat Natal,
Tuhan memberkati.

Jembatan Item 101224

Thursday, November 25, 2010

Tukang Monyet

Di tepi ruas ruas jalanan Jakarta belakangan ini kita banyak temui monyet monyet lucu yang tidak lucu. Berjam jam berdiri, atau mondar mandir dengan sepeda motor dari kayu, mengenakan topeng dari bekas boneka plastik, dikenakan baju kumal seolah manusia kerdil; dipaksa mengemis oleh tuannya yang duduk bersimpuh dibelakangnya. Berjam jam sang monyet menjalani pekerjaan yang bukan profesinya, tak kuasa melawan perkasanya tali kekang rantai baja yang melingkar di pinggang kurusnya. Nyeri dan linu terasa sampai ke ujung jari kaki kakinya setiap kali tuannya menyentakkan rantai itu jika sang monyet merasa bosan atau dianggap membandel dari kemauan sang majikan. Monyet itu menjadi mahluk yang sangat menderita di dalam hidupnya, terperkosa oleh kamauan duniawi manusia.

Sang tuan yang mengendalikan hidup si monyet, duduk ditanah seolah menengadah, mengharap derma. Baginya apa yang dilakukannya adalah sebuah pekerjaan, sebuah profesi yang menghasilkan materi. Hatinya kejam, jiwanya keji sehingga tidak mewakili karakter sebagai manusia yang berakal dan berbudi serta dianugerahi oleh Tuhannya dengan perasaan cinta kasih. Si tuan tidak mewakili hakikat manusia yang pengasih, bahkan mewakili karakter bangsa monyet pun tidak. Sebab seekor monyet tentu akan memperlakukan monyet lainnya sebagai sebagai monyet. Dan abang tukang monyet itu bukan mewakili kodrat bangsa manusia dan bukan pula mewakili kodrat bangsa monyet.

Sang monyet hanyalah alat tak berjiwa yang dijadikan sarana untuk seolah olah memberikan penghiburan selayak pengamen mengharapkan imbalan jasa. Monyet tidak butuh rasa iba dari manusia, dan seekor monyet tidak membutuhkan uang untuk kelangsungan hidupnya. Kesengsaraan yang dialaminya tidak ada hubunganya samasekali dengan kebutuhan hidupnya; kecuali kebutuhan hidup tuannya yang pemaksa. Sebagai binatang biasa ia hanya rindu kebebasanya akan berkehidupan di dunia monyet. Tapi sang monyet sungguh tidak berdaya dan tampaknya tidak ada satu manusiapun yang peduli atas nasib malangnya. Ia tetap akan berdiri menari, mengenakan topeng dari cuilan boneka plastik dengan sentakan rantai yang melingkar di pinggangnya yang suka datang menerjang tiap saat. Sang monyet sungguh tak akan pernah mengerti, mengapa manusia bisa berlaku keji.

Sang monyet juga tidak mengerti kenapa materi bisa menyebabkan manusia begitu rakus, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi lebih banyak dari orang lainnya. Iapun tidak mengerti jika ternyata bagi bangsa manusia, materi dapat dengan mudah mengalahkan nurani dan membunuh akal budi. Ternyata materi pulalah yang menyebabkan dunia menjadi penuh dengan kesewenang wenangan dan kekerasan. Diantara ketidak mengertiannya itu, sang monyet tidak berdaya memberontak dari penganiayaan panjang yang dialaminya. Gas beracun dari knalpot ribuan kendaraan yang melintasi dekat tubuh mungilnya seolah telah membaur dengan lapar haus yang ia tahankan dibawah panggang terik matahari didalam tirani tuannya; si Tukang Monyet. Ia sungguh tidak berdaya, tidak mampu mengakhiri penderitaanya sendiri. Sang monyet memang sial, hidup di negeri yang seolah tanpa kearifan penguasa, dimana tidak ada pejabat yang bersikap layaknya manusia; sebab manusia semestinya melindungi dan menyayangi binatang. Bukankah di negeri inipun sudah ada aparatur negara yang seharusnya melindungi bangsa monyet dan dari keganasan nafsu manusia? Aparatur negara yang digaji oleh rakyat untuk menegakkan undang undang yang miskin implementasi.

Lantas sebenarnya pertunjukan apa yang disajikan oleh Tukang Monyet kepada pengguna jalan? Pertunjukan topeng monyet tidak seperti itu meskipun sama sama mengeksploitasi binatang demi uang recehan. Topeng monyet yang asli membuat anak anak orang tersenyum bahkan anak anak bisa tertawa terbahak bahak oleh tingkah sang monyet melakukan aksi aksi yang diteriakkan oleh sang tuan. Musik sederhana mengiringi gerakannya, menambah meriah suasana. Orientasi Tukang Topeng Monyet lebih jelas, yaitu memberikan jasa hiburan keliling jalan kaki, dan berhenti jika tiba waktunya beraksi. Tukang Monyet tidak seperti itu; ia hanya duduk menunggu, dan sang monyet hanya bisa tertindas oleh rantai kekang dibawah terik matahari dan himpitan rasa bosan, lapar dan kesakitan.

Kalau saja abang Tukang Monyet mau kembali kepada kesejatian tujuan keberadaannya dipinggir jalan, yaitu demi derma dari para pejalan, sebenarnya saran ini layak untuk dicoba; balikkan keadaan. Dandani dan arahkan sang monyet untuk bertingkah seperti manusia, dan biar abang tukang monyet yang berperan menjadi monyetnya, bertingkah dan bergerak layaknya seekor monyet yang menghibur. Bertopeng, menari, dan berdiri dibawah matahari. Sementara buatkan sofa mini dan setelan jas sederhana untuk sang monyet yang berkacamata sambil memegang kekang rantai palsu ditangannya seolah mengendalikan si tukang monyet. Disitulah letak kelucuan sebuah ironi, suatu penampilan hal yang mudah dicerna dan bisa diterima oleh manusia yang katanya berakal budi. Penderma pasti akan menghampiri, memberi penghargaan atas kreatifitas berfikir untuk mendobrak kemiskinan dan mengesampingkan gengsi, tanpa harus menggunakan mahluk lain sebagai pijakan kaki. Niscaya, antara si monyet dan tuannya akan sama sama bisa menerimanya.

Tukang Monyet di jalanan Jakarta seolah mencerminkan kemerosotan akhlak bangsa. Dan lebih memprihatinkan lagi, tidak banyak yang menyadari degradasi moral akut negeri tercinta ini. Dan kita berhutang banyak kepada anak keturunan kita atas kekacauan nurani bangsa, yang tercipta dari apa yang kita lakukan hari ini.

Bambuapus 101125

Saturday, November 20, 2010

Indonesia Tertib

Kota purwokerto pada sembilanbelas november duaribu sepuluh pukul tujuh lewat empatpuluh dua menit malam menjadi seperti utopia mininy Indonesia. Jalan jalanan mulus melengang, berkendara bagaikan mengambang diatas genangan angan angan malam. Ketika semua orang ber deja vu dengan sepotong sepotong mozaik terbaik dalam hidup masing masing. Cinta dan orang lainlah yang membuatnya jadi terbaik, dan semua menjadi hak intelektualitas setiap individu. Kota ini menjadi bebas distorsi. Kota kecil yang sejuk dan makmur, dengan keakraban warganya layaknya tinggal di sebuah desa raksasa. Pengamen, pengemis, tukang pakir, pemulung, PKL dan pelanggar lalu lintas tentu ada, menjadi warna dinamika sebuah kota. Dan alun alunnya tetap menjalankan fungsi pokok setiap alun alun di setiap kota; tempat terbuka umum yang bebas diakses oleh siapapun dengan membawa sopan santun sebagai identitas sebagai orang yang berhak atas fasilitas komunal gratis; diatas hamparan rumput hijau sejuk, dibawah taburan sinar lampu berwarna biru muda serta kerdipan bintang yang menebarkan kegenitan. Sepasang sepasang manusia bedalingan diantara sela sela kegelapan, membagi hati membagi kehidupan.

Rumah rumah tua sisa peninggalan kejayaan Belanda berdiri kaku, menjadi saksi bisu atas arus zaman yang perlahan menggerogoti dinding dinding kearifan tanah Jawa. Gedung gedung batu selayak tanah makam tanpa pepohonan, menyembunyikan miliaran kisah hidup yang tertimbun oleh gundukan sang waktu. Dan diantara gang gangnya, nafas alam berliukan menukar siklus sejarah dalam catatan diam. Kehidupan kota ini datang dan pergi mengikuti adat dunia, selayaknya terwakili oleh stasiun tua bagaikan sungai baja yang mengangkuti kecemasan dan kebahagiaan yang datang dan pergi dalam kehidupan. Rasanya tak ada satupun orang yang akan sanggup menafikan eksotisme kota purwokerto di waktu malam. Terlalu sayang jika tak dilewatkan bersama pasangan. Cinta antar manusia telah memelihara kota kecil ini dari ganasnya globalisasi. Laksana oase ditengah carut marut dan semrawutnya ketertiban dan ketenteraman hidup di negeri subur makmur Indonesia.

Dewasa ini banyak pejabat negri menjadi maling, banyak mayat bayi terbuang di WC umum, banyak selebriti hamil nganggur, banyak kelompok menjadi jahilliyah homo homini lupus yang haus darah saudaranya sendiri. Mereka yang miskin dan bercita cita, terpaksa menjual diri menjadi babu di negeri orang., banyak sarjana berijazah tanpa menguasai ilmu pengetahuan. Negeri kita ini saudaraku, ibarat seonggok bangkai gajah yang dekerubuti ratusan juta belatung yang rakus akan kekuasaan dan harta benda. Aturan hukum yang menjamin ketertiban umum perlahan lahan menjadi retorika pemanis tujuan negara. Sesungguhnya tidak satupun kita merelakan jika aturan dan undang undang dihinakan dengan perbuatan laknat, dilecehkan dengan mengkomoditikan hukum menjadi barang dagangan yang dijual murah bagi mereka yang berkelimpahan jabatan. Sedangkan segalanya, bahkan Tuhan sekalipun seringnya dikalahkan demi kepentingan tahta dan harta oleh beberapa orang saja. Mereka menciptakan sejarah kelam, sebuah degradasi peradaban yang kelak akan diwariskan kepada anak keturunan. Generasi yang akan datang akan menjadi bentuk improvisasi dari kondisi integritas moral bangsa hari ini.

Bagi kita yang mungkin lupa akan bentuk kepribadian sebagai bangsa timur yang santun dan beradab, pengalah lagi relijius. Kondisi kejiwaan bangsa saat ini sudah semestinya menjadi alarm peringatan akan datangnya bencana politik yang akan dapat meluluh lantakkan citra bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Produk hukum bukan sekedar permainan tebak tafsir, tetapi harus kembali menjadi panglima bijaksana. Taat aturan serta tata tertib dimanapun bisa menjadi sebuah kampanye sikap perilaku dan obat mujarab bagi sakitnya bangsa. Kita sendiri yang harus mengupayakan kesembuhannya serta mengembalikanya menjadi sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, disegani negara manapun karena kesatuan dan persatuannya yang solid. Jika kita sudah bisa tertib tunduk terhadap aturan dan rambu larangan, maka pada gilirannya mereka yang gemar melakukan pelanggaran akan kesepian, menjadi pemain tunggal seperti topeng monyet di pasar malam.

Sikap sikap utama sebagai ksatria yang beretika hanya bisa dihayati oleh mereka yang terpelajar sebagai kaum intelektual. Itulah sebabnya sekolahan diadakan secara massive, supaya setiap warga negara sadar dan paham betapa pentingnya turut menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa dengan taat terhadap aturan hukum. Jika itu terjadi, Indonesia akan kembali menjadi surga dari timur. Setidaknya untuk anak cucu kita kelola kelak.

Pwt 101120

Wednesday, October 27, 2010

Bermuda

Mereka yang pernah mememberikan luka kepada hati orang lain, maka mereka sebenarnya tidak pernah bisa diusir pergi dari hati orang yang pernah disakitinya. Sakit hati ibarat tanaman parasit yang menyamar menjadi kehidupan manusia normal. Mengintai setiap saat ibarat kata tsunami tiba tiba di segitiga Bermuda. Segala yang dihadapan akan digulung lalu ditenggelamkan ke dasar penyesalan, lalu diseret seret oleh arus bawah gelombang bernama amarah. Bahkan diudara sekalipun berubah menjadi gelombang elektromagnetik dari listrik bumi masa lalu akan mampu menyesatkan jalur kehidupan, menghadirkan badai magnet yang mengacaukan sistem navigasi bernama nurani.

Praktek praktet kebohongan murahan, lalu tumpang tindih satu dusta dengan muslihat lainnya menyeruak bagaikan lava pijar yang menghambur ke angkasa. Badai masalalu menggilas begitu saja, puing puingnya menusuk kaki dan mata, membutakan keberadaan dan meniadakan keseimbangan. Kepala yang tegak menjadi rebah ke tanah dan semua cadangan kebaikan luluh lantak oleh datangnya dendam. Praktik praktik muslihat yang pernah menjajarkan langkah kaki di masa lalu hidup kembali tiba tiba, merampas kekuatan ikhlas yang ditabung susah payah.

Pendusta pendusta tetap tertawa, menganggap penghianatan tidak pernah ada. Intrik intrik murahan yang pernah ditampilkan kembali hidup dan tumbuh menyembul dari kepala, siksa diri yang tak sanggup untuk dihindari, sulit diterima dan tak mungkin ditolak datangnya. Kekuatan arus dendam telah menenggelamkan keyakinan diri bahwa badai sudah lewat dan tak mungkin akan datang lagi. Nyatanya memang hidup hanyalah peristiwa yang berulang ulang meskipun hanya dalam ingatan. Perihnya masih perih yang sama, amarahnya masih dengan rasa yang sama.

Ketika badai menggulung kepasrahan menjadi satu satunya pilihan. Amarah hanya ekspresi atas pembelaan dari luka yang lebih perih. Nyatanya tidak mungkin memungkiri penghianatan sebagai sesuatu yang bukan menyakitkan. Penyesalan datang terlambat, atas hati lembek yang tak sanggup menentukan langkah gagah; tinggalkan saja para penghianat yang hanya pintar menganak pinakkan duka! Telan saja kenyataan yang disembunyikan demi memelihara kesucian nama pribadi.

Ada kalanya diri menggigil sendiri melawan semua keadaan dunia meskipun yang nampak hanyalah nilai nilai negatif atas beban rasa. Tidak ada tempat untuk bersambat, tidak ada sesiapa untuk bermanja manja ketika bencana tak kasat mata meluluh lantakkan jiwa. Kesendirian adalah pilihan paling bijaksana ketika segala hal berubah menjadi musuh yang hanya punya dua pilihan; dihancurkan atau menghancurkan. Toh dua dua pilihan tersebut tetap menyisakan satu bentuk pasti; kehancuran diam diam.

Para penghianat memang bermuka ganda, terkadang hadir sebagai pribadi yang pantas untuk dicinta. Tetapi dibalik kepalanya, muslihat dan skenario dusta berjubal untuk dilahirkan dalam konsep pengelabuan yang paling kasar. Menjadi korban penghiantanpun tidak kalah sulitnya. Menerima perlakuan sedemikian buruk menjadi sejarah kejadian terkadang terasa bagai menelan beling ketika perut hanya berisi rasa lapar. Tetapi hidup harus terus berjalan, dan kenangan buruk akan tetap hidup sebagai iblis yang terpelihara jauh di dasar kesadaran. Hari hari yang porak poranda suka datang tiba tiba dan menusukkan pedang karatan bernama dendam.

Dari lumpur kepekatan pikiran terdengar lirih sumpah serapah bercampur doa; semoga semua penghianat di muka bumi ini dilaknat dan membusuk dalam hidupnya.

Serang 101027

Thursday, September 16, 2010

Lebaran 2010

Hiruk pikuk lebaran berlalu, hilir mudik pembelanja berangsur sepi. Jalanan Jakarta kembali berdenyut oleh klakson dan deru mesin kendaraan, ditimpahi cacian dan makian; ungkapan kemarahan yang meledak oleh sesaknya beban persoalan. Dan hari hari Jakarta akan kembali ‘normal’; macet, pengap, mahal dan angkuh. Jutaan penghuninya kemudian mencatat kenangan tentang lebaran tahun ini di dalam kepala masing masing, menghitung beban biaya yang telah dihabiskan selama perayaan , yang lalu dibawa kemana mana dan dirindukan kapan kapan saja khayalan tentang kegembiraan lebaran sebagai hiburan bagi kegetiran hari hari berat Jakarta.

Kampung kampung akan perlahan sepi oleh pendatang, sepi karena ditinggalkan para lelaki kembali ke dunia baru ciptaan mereka dalam bertahun tahun diperintah oleh semangat perantauan. Setahun sekali mereka, anak anak kampung itu pulang dengan bergunung kebanggaan atas ukuran pencapaian materi; bahwa tanah rantau sungguh melahirkan manusia baru yang kini menjadi asing di tanah tempat lahirnya sendiri. Tapak kaki telanjang tak lagi dapat dijumpai, berganti jejak jejak roda kendaraan yang meliuk dan melilit jalanan tanah merah bagaikan ribuan ular yang sedang berbirahi. Itulah jejak jejak kaki baru manusia baru yang datang setahun sekali untuk ritual tilik deso, merayakan hari raya dengan memelihara filsafat pohon yang tidak pernah menceraikan akarnya.

Para pendatang itu pergi meninggalkan dongeng kehebatan diri maupun kisahnya masing masing yang diteruskan oleh para orang tua dan keluarga sebagai cerita wajib pengisi obrolan setiap ada perjumpaan dengan tetangga maupun kenalan. Kisah kisah tentang keberhasilan, tentang kehebatan di tanah perantauan diceritakan dengan lantang penuh kebanggaan sebagai bukti bahwa buah tak akan jauh dari pohon. Masing masing mengadu hebat atas apa yang sanak keluarga mereka dapat. Kisah kisah kegetiran dan kegagalan diceritakan dengan bisikan, bergulung gulung bagai kentut yang menyebar sesuka arah dan lalu berubah menjadi topik dalam rahasia umum. Setiap tahun para orang tua memiliki kisah tentang anak anak mereka yang dikonfirmasi oleh penampilan dan nilai kebendaan dapat ditunjukkan pada waktu lebaran. Setiap tahun setiap keluarga memiliki kisah hidup sanak famili mereka yang juga berbeda beda dan selalu berubah ubah. Bukankah demikian hakikat kehidupan; berubah. (?!)

Waktu juga yang menciptakan pemahaman pemahaman baru yang membentuk arah lajunya kehidupan. Ibu ibu yang melahirkan para perantau menjadi semakin keriput dijajah usia. Ibu ibu yang menyusui para perantau perkasa yang sanggup menggenggam dunia, mendamaikan jagad raya, atau menjadi bangsat atas sesamanya. Dari air susu yang mengalir dari dada mereka yang kini mengeriputlah keperkasaan dan kehebatan itu lahir oleh sebab dari sanalah hidup seorang manusia bermula. Dan ketika bau kota anak anak mereka pergi meninggalkan bilik rumah, doa doa mengalir sepanjang nafas yang tersisa agar Tuhan menjaga dan membimbing anak anaknya untuk menjadi berguna bagi sesamanya, doa agar kelak tak lama lagi anak anaknya akan kembali menemuinya untuk memetik buah dadanya, untuk mengunduh buah dari doanya.

Di kampung halaman, setahun sekali ritual mudik kolosal mengawali kontes perantauan di kampung halaman. Slogan mangan orang mangan sing penting kumpul dijadikan justifikasi agar sekali dalam setahun, setidaknya pada hari raya lebaran anak anak kampung pada kembali pulang, membagi kisah dengan teman sepermainan diatas tanah penuh kenangan indah masa kecil. Setahun sekali di kampung halaman, kebahagiaan masa kecil semua orang kembali membuncah sepanjang hari...

Selamat lebaran kepada saudara saudara pemudik.

Bambuapus 100911

Wednesday, July 21, 2010

Keajaiban Barang Baru

Benda itu selalu terbayang di mata dan menggubal di pikirannya hampir di setiap saat. Rasanya benda itu adalah benda paling penting yang ada di dunia ini. Maka dengan setengah merengek dan dengan kekuatan sepenuh hati, suatu hari di tepi sungai dia beranikan kepada emaknya untuk meminta “ Mak, belikan Agus kaos hitam gambar sepatu, mak!”

Agus kecil tak mengerti betapa susah emaknya mengumpulkan uang barang duapuluh ribu hanya untuk membeli kaos oblong impiannya itu. Emaknya harus rela menjadi buruh panen bawang ketika bawang usai di jemur dan siap untuk dijual. Bawang bawang itu bukanlah punya emaknya, melainkan punya tetangga yang kebetulan mempekerjakan emaknya dan beberapa orang lagi untuk mengurus hasil panen bawang Brebes yang terkenal itu. Agus kecil tidak pernah tahu dan tidak mau tahu bagaimana emaknya mendapatkan uang untuk membeli kaos idaman itu, yang ia tahu adalah kaos itu adalah kaos terbaik yang ada di planet bumi; berwarna hitam, bergambar sepatu dengan tali menjuntai. Gambar sepatu itu sendiri berwarna putih, kontras dengan warna hitam si kaos oblong. Sungguh indah dan gagahnya dan kerennya jika kaos itu ia kenakan. Hanip sudah punya kaos seperti itu, dan dia tampak ganteng seperti orang kota jika mengenakan kaos itu.

Dimintai barang yang tidak penting seperti itu, emaknya jelas menjawab dengan nada tinggi. Dianggapnya Agus anak tak tahu diri dan tidak bisa berpikir soal realita keluarganya. Uang sebanyak itu mendingan dibelikan beras buat makan ketimbang dipakai buat beli kaos yang tidak enak dimakan. Jika mau yang bermanfaat lagi, mendingan dibelikan baju seragam sekolah untuk menggantikan seragamnya yang sejak kelas tiga hingga kelas lima sekarang belum pernah berganti baru itu. Emaknya jelas jelas keberatan membelanjakan uang yang didapatkanya susah payah hanya untuk menuruti kepinginan si bocah gemblung. Agus gigit jari, mimpinya tidak terbeli!

Barang baru memang memiliki keajaibannya sendiri. Apalagi jika barang baru itu sudah disimpan dalam kepala untuk waktu yang lumayan lama, tersembunyi diantara deru hidup sehari hari. Jika barang baru tiba, maka yang lain akan menjadi loak semata, barang usang yang tidak pantas lagi mendapat penghargaan setinggi barang baru. Hukum kebendaan seperti itu berlaku juga terhadap manusia, rupanya. Ketika orang baru yang disimpan dalam pikiran kemudian menjulang didepan mata dengan tangan terbuka siap memberikan pelukan terhangat, maka ia menjadi barang baru yang memesona. Orang baru yang memesona maksudnya. Sementara nasib si orang lama tentu tidak ubahnya menjadi rombeng, butut dan tidak berharga. Untuk hal demikian, segala cara diupayakan agar orang lama dapat tersingkir dengan halus. Sekedar menjaga perasaan selagi bisa. Cara yang dipakai tidak perlu elegan, toh sekali disingkirkan juga tidak akan berdampak apa apa lagi terhadap kehidupan. Dia sudah tidak punya daya pesona, kehilangan chemistry dan tinggal ampas tak berguna.

Orang baru jauh lebih menjanjikan dan memenuhi segala kriteria ideal, persis sama dengan Agus dan kaos oblong warna hitam dengan gambar sepatu bertali menjuntai yang berwarna putih tepat di tengah dada.

(Sepasang ibu anak di tepi jalan, mengantar kaki pikiran untuk menapak di bumi melihat kenyataan diri)

Antara Songgom - Prupuk 100720

Tuesday, July 20, 2010

Uban

Hendak dilawan bagaimana ketika sang waktu menjalankan tugasnya; mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati, menetapkan yang bergerak dan menggerakkan yang tetap. Merubah, itulah tugas sang waktu yang sebenarnya. Segala hal yang terkandung dalam hidup dan kehidupan dilindasnya tanpa kenal ampun dan benar benar tidak pandang bulu. Sang wktu juga yang menentukan segala sesuatu menjadi tua, demikianlah kita menghitung kerja alam dalam dimensi waktu.

Menjadi tua sungguh tidak ada buku panduannya. Setiap orang secara otodidak harus mengalami keadaan menjadi tua, atau sebuah kemerosotan setelah melampaui titik tertinggi fase produktif dalam hidup. Dimulai dari lipatan lipatan di kulit tubuh yang disertai dengan kemunduran daya ingat serta kemunduran ketahanan otot badan, perlahan lahan proses pelapukan terjadi. Uban yang tumbuh di kepala seperti mengingatkan betapa tinggal sedikitnya usia, dan sudah waktunya lebih teliti lagi memandang diri di kaca benggala.

Usia yang menipis membawa juga banyak dampak psikis. Magnet yang dahulu bekerja normal terhadap manusia lain perlahan memudar dan menjadi hambar. Yang lebih nestapa lagi, usia yang menua bisa menyebabkan seseorang didepak keluar dari lingkaran sosial, bahkan lingkaran kehidupan pribadi. Padahal sungguh waktu tidak bisa dilawan; menuakan yang muda dan mematikan yang tua. Tidak etis memang mengemukakan alasan usia sebagai penyebab kemuakan, tetapi secara eksplisit pesan tersebut dapat diterjemahkan dalam sikap yang cenderung mencari cari alasan. Bergaul dan berkehidupan dengan yang muda muda tentunya lebih energik, lebih dinamis dan tentu memiliki banyak fantasi kebebasan yang bisa diekspresikan dalam perbuatan secara bersama sama. Sedangkan semakin menua usia, maka sudah sepantasnya disertai juga dengan sikap bijaksana. Kebijaksanaan sikap merupakan bukti kematangan emosional seseorang.

Sehelai uban yang tercabut dari kepala memberi jawaban atas pertanyaan dan ketidak mengertian akan makna kejadian. Sehelai uban dari kepala memberi kesaksian tanpa bantahan bahwa hidup tidak ubahnya satu eksemplar surat kabar sore, teronggok sunyi ketika hari berganti pagi. Sehelai uban tercabut dari kepala bersama dengan segerombol kesombongan diri. Sehelai uban dari kepala menjadi angka pertama hitungan mundur hingga ajal kan tiba. Sehelai uban yang tercabut dari kepala, membawa hamba bersatu dengan bumi, memasrahkan diri pada grafitasi.

Purwokerto 100720

Sunday, July 18, 2010

Legowo

:Crawfy

Lepas artinya menerima, ketika kata lepas berada dalam konteks perhubungan antara manusia, bisa beda jenis atau sama jenis kelaminnya. Namanya berhubungan, tentunya diikuti oleh muatan emosi. Ketika seseorang yang selama ini begitu dekat dan ada dalam kehidupan sehari hari kita secara tiba tiba menunjukkan ekspresi negatif bahwa hubungan itu sudah tidak produktif lagi dan layak untuk dipangkas tuntas seperti mencabut batang talas, maka sama artinya kita kehilangan penghargaan atas hubungan yang diawali dan diniati dengan penuh kebaikan itu. Segala hal yang berhubungan dengan proses kejadian itu patutlah disayangkan, sebab mestinya rusaknya hubungan selalu saja bisa direkonstruksi kembali, dengan cara mawas diri dan sedikit intospeksi.

Tetapi namanya hidup, terkadang terjadi juga peristiwa diluar kondisi normal ideal. Misalnya, ketika seseorang mengatakan untuk menjauh dari orang lainnya, kondisi yang terjadi adalah sudah tidak diinginkanya lagi apapun bentuk hubungan itu. Hal seperti itu terkesan subyektif, karena hanya satu pihak yang memutuskan berdasarkan kepentingan emosi pribadinya. Bukankah idealnya sebuah keputusan untuk mengakhiri sebuah hubungan dilakukan oleh dua pihak yang sama sama membangunnya? Jika keputusan sepihak itu terjadi pada sepasang penganut hati, maka alasannya bisa berupa rupa antara lain; salah satu menemukan partner baru, salah satu mengalami kebosanan akut, salah satu berbuat hal tercela yang menciderai kepercayaan (karena kepercayaan adalah modal tunggal dalam segala bentuk hubungan positif) sehingga ia takut dan malu apabila hal tercela yang disembunyikan itu terbongkar, dan ribuan motif lainnya. Mengekspresikan sikap seperti itupun bisa berbagai cara, tapi yang paling mudah dan murah tentunya adalah menempatkan kejadian di masa lalu (bahkan kejadian sebelum masa dimulainya perhubungan) sebagai kapak usang pemutus tali hubungan. Modus seperti itu sudah sangat jamak, sesuatu yang dicari cari supaya bisa ada justifikasi penyebab putusnya tali hubungan. Yang penting putus, untuk mendapatkan kebebasan dalam pengertian yang sangat pribadi. That’s a cheap talk!

Ketika seseorang melakukan itu kepada orang lain, maka akan ada pihak yang merasa divonis meskipun vonis itu lebih pantas terdengar sebagai sebuah pamitan untuk mati. Pikiran negatif bisa saja memprovokasi jiwa untuk membela haknya, melakukan hal hal agresif untuk sekedar mengekspresikan emosi dan menunjukkan kepada dunia bahwa seseorang baru saja menjadikannya sebagai korban. Jika itu dipilih untuk dijalani, maka yang akan terjadi kemudian adalah perang panjang secara diam yang akan membawa dampak kerusakan untuk waktu yang mungkin lama. Kondisi seperti itu akan menyuburkan kepentingan kepentingan negatif, imajinasi negatif, dan tanpa sadar seseorang akan terseret pada sikap negatif dan berubah menjadi asosial. Sebuah keadaan berbahaya yang besar kemungkinan akan melahirkan sikap negatif baru bernama dendam. Dan, segala yang berbentuk dan berupa peperangan hanya akan memproduksi kerugian, memproduksi korban. Untuk konteks peperangan dengan hati sendiri, tentu yang akan kita dapatkan hanyalah merana dan sakit hati. Urusan hati sungguh hanya penderita sendiri yang mampu merasakannya itupun tanpa bisa menjabarkan dengan kata kata.

Mungkin akan lebih bijakasana jika memandangnya dengan pikiran positif saja. Umpamakan kita berada di pihak tervonis itu, kita gunakan cara pandang manusia madani yang beradab dengan mengangapnya sebagai hal yang memang sudah semestinya terjadi. Bukankah kepastian yang dijanjikan oleh hidup adalah kematian, dan kepastian yang dijanjikan oleh sebuah pertemuan adalah sebuah perpisahan? Aturan baku kehidupan itu bersanding dengan aturan aturan baku lainnya, seperti adanya siang dan malam, hitam dan putih, positif dan negatif. Serta segala hal yang berkontradiksi lainnya sebagai perwakilan dua kutup yang menggerakkan dinamika kehidupan di planet bumi.

Ketika kita sudah tidak diinginkan lagi oleh orang lain, sesungguhnya akan sia sia jika kita memprotesnya. Sebuah hubungan terbentuk selain karena azas kepercayaan tentunya juga adalah azas sukarela. Rasa suka dan rasa rela untuk membentuk dunia kecil pribadi diatas lahan subur bernama hati dan perasaan! Proses sebuah hubungan dapat dianalogikan sebagai sebatang pohon yang tertanam di ladang subur itu, dimana atas kuasa maksud kemudian menjadi tumbuh besar dan kekar, akarnya menancap dan kokoh menghidupi, akar yang menjalar sampai jauh ke sumsum jiwa dan mungkin ke setiap sendi pikiran.

Melepaskan sama halnya dengan menerima. Sebuah sikap yang tidak mudah untuk dilakukan di dunia yang kacau ini. Ketika seseorang menjatuhkan kapak usang ke tali hati yang mengikat jiwa dan menyebabkan rantas seketika, kita menerima rasa sakitnya. Melepaskan berarti menerima kejadian itu sebagai hal yang memang sudah saatnya harus terjadi. Sumeleh legowo kata Bu’e suatu ketika, bahwa sikap merendah dan menerima adalah sikapnya seorang ksatria. Meletakkan semua keinginan dan patron patron ego ideal tanpa beban grafitasi, serta melepaskan diri dari keinginan serta ketidak inginan, dari harapan maupun prasangka buruk. Samasekali tidak ada hubungannya dengan profesi penulis lepas atau fotografer lepas atau profesi profesi lepas lainnya tentunya!

Sungguh tidaklah akan mudah untuk dapat mengelola emosi untuk bisa sampai kepada kondisi melepaskan dan menerima itu. Kesabaran, usaha keras, tekad dan kekuatan hati untuk menahankan segala efek buruk dari peristiwa yang menyakitkanlah yang menjadi penentunya. Kekuatan hati untuk dapat menerima rasa sakit, rasa perih dan mentransformasikannya menjadi energi baru dalam memperbaiki diri untuk persiapan penjemputan goncangan yang lebih dahsyat lagi di kemudian hari. Tuhan memberi kita air mata, Tuhan menganugerahi kita dengan perasaan dukacita. Maka, jika hatimu sedang terluka, mengangispun akan lebih baik untuk mengadukan kesengsaraan hati kepada sang pemilik hidup. Luka yang menganga di dalam dada akan sembuh meskipun tidak kembali pulih, getir dan rasa benci akan perlahan terkubur oleh waktu. Tidak ada yang bisa memperkirakan berapa banyak persediaan usia yang harus dipakai untuk menyembuhkan hati yang sakit. Memilih menghayati rasa sakit itu, memilih untuk mengasihani diri hanya akan membawa kita ke sebuah dimensi khayali, sebuah theater megah di atas langit dimana kita menjadi penonton tunggal yang juga sutradara penggerak segala bentuk karakter pertunjukan muram di awang awang.

Lepaskan saja dendam biar membias ke udara menjadi awan yang akan menaungi jalan terjal kedepan. Hayati saja sakit hati sebagai bunga bunga bermekaran di kebun harapan. Simpan saja pembelaan untuk pupuk semangat diri. Nikmati saja dukacita laksana merdu gendhing tlutur sinden keraton. Jalani saja semua dengan diam, biarkan jejak jejak peristiwa menjadi batu mustika masa depan. Percayakan semuanya kepadaNya segala urusan dunia. Legowo, tak menarik juga tak mendorong, tak mengangkat juga tak menahan, serahkan semua kepada grafitasi nasib, ikhlas menerima, seberat dan sesakit apapun efeknya akan menguatkan jiwa.

Padang 100717

Friday, July 16, 2010

Rindu

: embun


Semalam aku ditikam siksa oleh merindukanmu. Ketika hati galau oleh pikiran sendiri dan ketika kepercayaan dipermainkan laksana layang layang. Ya, aku merindukan sejukmu yang tak pernah menyakiti dan tak pernah memberiku cemas. Aku sungguh sungguh merindukanmu, ketika awan gemawan dan kabut menghadang pandangan, cahaya memburam dan aku terkurung oleh lengkung langit langit pikiran. Terkadang engkau tetap menjadi cahanyaku, meskipun tak kujumpai lagi adamu.

Sepuluh tahun lagi dari waktu itu - engkau masih ingat kata kata itu bukan? - akan seperti apa kita di kehidupan fana ini? Sekarang kita telah menjadi, dua lembaga yang terpisahkan oleh aturan peradaban. Sedangkan kenangan mengakar tumbuh laksana batang raflesia didalam kuburan. Jejak jejak kakimu menjadi nisan, yang kujilati penuh dendam ketika rindu kembali menikam. Aku rindu caramu mengurai dungkul dungkul duka yang menghimpit dadaku.

Aku rindu tangan halusmu, yang memperlakukanku serapuh telur. Menjagaku dari keliaran yang mungkin menghancurkan. Memelihara luka lukaku dengan penuh ketabahan.

Engkau ingat pohon teduhan itu? Telah kugali sampai ke akarnya, lalu kuboyong pulang jadikan paru paru jiwa. Hidup kokoh di jambangan kaca, kurawat dan kujaga dalam kamar rahasia. Ia pohon yang berjasa, memberi keteduhan ketika kita hampir mati dianiaya kenyataan masa silam. Pada lapis demi lapis kulit batangya tercatat sejarah tentang perjalanan dua manusia beda segala. Dan sebuah kisah indah tentang pertemuan kita.

Ketika musim menghempaskan cahayaku, sejukmu menjadi pemandu. Meskipun kaki kaki terterlikung oleh jarak dan waktu, dibelah belah oleh dimensi ruang yang sama seperti jutaan tahun silam sebelum kita bertemu. Namun langit kita tetap sama, udarapun tetap yang itu itu juga. Demikian juga kodrat alam, yang mengharuskan kita legowo menerima setiap goncangan dan hempasannya.

Masihkah engkau kini, menjadi pengikut setia arus hati? Ah, aku rindu tatapanmu yang menyejukkan kalbu...


OPP 100716

Wednesday, June 09, 2010

Korupsi Rasa Malu

Ketika kemalasan dibawa ke kantor, maka yang akan lahir dari produktifitas yang dibeli oleh majikan dengan alatnya yang bernama perusahaan adalah kourpsi. Produk kontra produksi yang melawan semua prinsip kebaikan bahkan mengabaikan konsep balas budi dan rasa terima kasih kepada majikan pemberi kerja, kepada individu pribadi yang telah mempercayakan lestarinya pohon kehidupan bagi karyawannya. Meskipun pikiran sinis menganggapnya hanya rangkaian mekanis dari sebuah sistem perekonomian liberal (?!). Pikiran sinis seperti itu akan rubuh jadi debu begitu saja jika dihadapkan pada kenyataan logis bahwa keberadaan kita di lingkungan pekerjaan adalah manfestasi kita kepada kehidupan, kepada orang orang yang ada dalam kehidupan pribadi kita. Kita menafkahi, merangkai impian dan rencana membeli kesenangan dari gaji yang kita terima rutin setiap bulannya. Dari sanalah kesejahteraan bersumber. Sebuah kenyataan sederhana dan mudah dicerna logika. Maka sudah semestinya rasa terima kasih itu kita wujudkan dalam upaya memberikan yang terbaik kepada tuan majikan pemberi kita pekerjaan dan rezeki.

Pekerjaan dan profesi yang kita miliki saat ini sebenarnya adalah merupakan anugerah yang wajib kita syukuri. Terlalu banyak orang yang tidak seberuntung kita. Mereka tidak memiliki kesempatan seperti kita saat ini. Dan keberuntungan yang kita miliki saat ini juga hanya bisa berwujud impian siang bolong bagi terlalu banyak saudara kita di Indonesia. Sebagai sumber kehidupan sudah selayaknya kita memperlakukan profesi kita dengan hormat sebagai wujud dari pengabdian kita kepada Tuhan, keluarga dan kehidupan.

Kita sering lupa apa yang kita bawa di kepala dan hati kita juga harapan dan ketakutan kita ketika untuk pertama kali mengetuk pintu hati tuan majikan; wawancara lamaran pekerjaan! Menawarkan diri untuk menjadi bagian dari sebuah koloni besar yang mengelola uang untuk menghasilkan uang. Apabila kita mengingat masa itu maka kita akan teringat betapa hati kecil kita berjanji kepada diri sendiri untuk berbakti, memberikan yang terbaik sebagai bukti balas budi atas perjanjian kerja yang diberikan dengan sejumlah imbalan materi serta berjanji dalam hati untuk mematuhi segala kebijakan perusahaan. Tidak terlintas dalam pikiran kita untuk memanfaatkan kesempatan dan kelonggaran yang diberikan oleh kantor untuk bermain catur pada jam kerja atau sekedar ngobrol ngalor ngidul menghabiskan waktu sampai saatnya patut meninggalkan tempat pekerjaan. Diluar dari hirarki dan struktur yang ada, maka semua berpangkal kepada kebijakan setiap individu untuk bertanggung jawab penuh terhadap porsi tugas yang diberikan oleh tuan majikan. Oleh karena pentingnya tanggung jawab yang harus diembankan kepada karyawan, perusahaan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan kemudahan, termasuk tersedianya peralatan kerja yang memadai bahkan membanggakan. Tapi karena kita manusia, kita sering lupa apa yang ada didalam hati kita ketika kita menghadapi wawancara kerja dulu.

Menjadi pekerja yang baik adalah satu satunya hal yang layak kita lakukan kepada perusahaan, sebab kita berada didalam rangkaian organisasi itu, kita akan menjadi organ pendukung bagi produktifitas mesin rezeki itu. Pengabdian optimal niscaya akan menjelma menjadi dedikasi tinggi sebagai wujud dari kebijakan pribadi kita sebagai karyawan. Untuk menjadi seperti apa frase muluk muluk diatas tadi sesungguhnya tidaklah serumit yang terbaca dalam tulisan ini. Kita cukup memulai untuk peduli terhadap hal hal yang selama ini kita abai dan diam diam menjadi kebiasaan buruk di kantor. Berhenti melemparkan tanggung jawab seperti bola panas yang harus segera menyingkir dari telapak tangan kita, dan berubah menjadi memberikan kemudahan sebanyak banyaknya kepada semua rekan kerja dan tunduk patuh pada code of business conduct maupun kaidah dan norma sosial orang beradab. Dengan menjunjung tinggi kesopanan maupun tatakrama, kita masih bisa menjalankan sebuah operasi dengan taktis dan profesional.
Setiap tugas baru sama halnya dengan ilmu baru yang kita pelajari sambil digaji. Itu tandanya bahwa masih terlalu banyak yang tidak kita kuasai dalam bidang pekerjaan kita. Jika hal itu terdengar utopis, kita sebenarnya bisa menemukan jawabannya kepada nurani kita, sebuah jawaban yang sangat sederhana yaitu mengembalikan rasa hormat dan mengingat kembali tekad untuk patuh terhadap kebijakan ketika wawancara pekerjaan dulu. Sekecil apapun larangan yang dibuat oleh para pengelola perusahaan adalah aturan baku yang harus kita jaga dan kita hormati dengan mentaatinya.

Larangan dan aturan dibuat untuk menciptakan keseimbangan dan ketertiban; bukan untuk mempersulit keadaan. Aturan dan larangan di pekerjaan adalah sesuatu yang sangat mudah untuk kita langgar atau kita abaikan. Rambu rambu dipasang untuk ditaati, tidak untuk dilanggar dengan justifikasi pribadi. Kita tidak mewakili individu pribadi kita di kantor itu, tetapi hanyalan sebuah fungsi sistematis persemaian modal. Malulah jika larangan sederhana sekalipun kita langgar, sedangkan kita tahu dan sadar bahwa yang kita lakukan tersebut adalah pelanggaran meskipun tidak ada sanksi administrarisnya atau meskipun tidak diketahui orang lain perbuatan itu. Malulah kita yang tidak disiplin pada waktu, dan dengan sombong menganggap diri sebagai yang paling penting dan menentukan dalam bidang pekerjaan kita. Malulah kita jika tugas terabaikan demi sesuatu hal yang bersifat pribadi. Maka malulah kita yang menerima sejumlah uang setiap akhir bulan dan sebagaiannya adalah pemberian cuma cuma sebagai gaji buta atas waktu yang kita korupsi. Maka malulah hidup kita yang dibiayai dari sikap sikap tidak perwira itu.


Ketidak disiplinan dan kebiasaan kebiasaan buruk lainnya sudah selayaknya tidak kita bawa ke pekerjaan. Banyak kebiasaan baik yang bisa kita budayakan; menjaga kebersihan dan kerapihan lingkungan kerja, taat dan patuh terhadap tata tertib, menghormati waktu kerja, meninjau kembali ukuran tata krama terhadap kolega, melakukan sendiri hal hal pribadi yang bisa kita lakukan sendiri, adalah contoh hal hal sederhana yang bisa kita lakukan mulai dari sekarang.

Dan yang paling penting dari semua itu adalah; tidak perlu menjadi penjilat demi sebuah pangkat!

OPP - 100608

Friday, April 30, 2010

Dusta


Dalam urusan hati, ketika rasanya tidak ada satu orangpun yang layak untuk dipercayai, maka pertanyaan seharusnya dialamatkan kepada diri sendiri, mempertanyakan kredibilitas diri pribadi sebagai orang yang layak dipercaya untuk menganalisa lalu memilih keputusan untuk mempercayai seseorang. Yang menjadi parimeternya adalah penagalaman empiris pribadi yang melindas batin di masa lalu, dimana pernah dijejali dengan dusta secara berulang ulang dalam interval waktu yang acak. Sedangkan rasa sakit karena dibohongi yang sejatinya adalah karena si korban dianggap tidak cukup punya pengetahuan untuk mengungkap jawaban atas kejadian yang berniat disembunyikan. Si korban cukup diberikan skenario yang meyakinkan, untuk hiburan, seperti layaknya menonton bioskop plaza anu, yang isi ceritanya adalah bukan kenyataan; hanya hiburan sesaat. Mengkamuflasekan kejadian yang sebenarnya hanyalah akal akalan untuk berburuk laku sekaligus melindungi diri si pembohong sendiri dari pandangan negatif dalam mengejar kesenangan hati. Sedangkan kesenangan hati tidaklah berbatas, serakah dan tidak ada ukuran pencapaian yang bisa dijadikan skala penghitungan. Intinya, jika mengejar kesenangan hati maka kita tidak akan pernah menemukan ujungnya.

Ketika nafsu meneguk kesenangan disandingkan dengan miskinnya penghargaan atas pasangan, maka lahirlah apa yang dinamakan sebagai dusta atau kebohongan. Sebuah sikap mendua yang terkuak, menyebabkan luka yang akan perlu waktu sangat lama untuk sembuhnya, sebab yang terluka sebenarnya adalah kepercayaan. Kebohongan akan perlahan menjadi kebenaran apabila tidak terkuak, tetapi ketika kebohongan itu terungkap, judulnya menjadi kebenaran yang menyakitkan. Rasa tidak enak sekali ini sering diartikan sebagai ekspresi seorang pencemburu berat. Pemaknaan itu umumnya hanya dilakukan oleh mereka yang tidak dapat mengenal dengan baik pasangannya yang semestinya dapat dipercaya sepenuhnya, tanpa keraguan atas kepercayaan itu. Maka ketika kepercayaan itu menjadi cacat, maka segala makna yang terkandung dalam hubungan itupun lantas dipertanyakan kembali, dipertimbangkan kembali, dan semua membalik kepada diri sendiri.

Reaksi dari seorang yang merasa kepercayaannya telah dikhianati karena pasangannya berbuat dusta tidak lain tidak adalah kembali kepada diri sendiri. Semacam serangan balik bertubi tubi yang menghajar telak ke ulu hati, beraroma api yang membakar dada hingga seluruh isi kepala; meledak berkeping keping. Kepingan kepingan itu menjelma menjadi iblis, dengan masing masing dua belati karatan di kedua belah tangannya. Matanya mendelik, merah menyala, suaranya parau seperti badai dan segala tindakanya mencerminkan sikap yang destruktif. Sebenarnya orang yang mengalami hal seperti itu, ia sedang berada di titik didih kekecewaan hati yang menghancurkan. Ia akan merasa sendirian karena ternyata ia dikelilingi oleh orang orang kepercayaannya, yang ternyata berbuat bohong; sedangkan ia sendirilah yang menemukan kebenaran yang disembunyikan dengan berbagai modus.

Karena lelah jiwanya menahan perih, ia menjadi gila. Menjadi mahluk aneh penghuni bumi, selayaknya ia tersesat di planet yang asing dengan segala sesuatu yang memusuhi. Ia memilih menentang dunia diam diam, dengan sikap diam. Perkelahian demi perkelahian batin melahirkan perang besar berkepanjangan yang hanya melahirkan korban demi korban hingga menyisakan kehancuran. Jika sudah demikian, maka penyesalan datang ibarat matahari jam lima pagi yang membawa harapan. Ya, penyesalan yang beranak pinak dan terus berputar pada lekukan dan kelokan yang sama dalam angan angan. Hanya penyesalan yang bisa memadamkan bara pertanyaan anomali bagi hati yang tercabik cabik oleh dusta. Namanya penyesalan, tentu adalah perwujudan dari sikap menyalahkan diri sendiri karena ini itu atau karena tidak ini itu di masa lalu sehingga kejadian yang sama harus ia terima dari orang yang sama pula.

Bukankah yang menjadi landasan dari hubungan manusia antar manusia sebenarnya adalah sukarela (?!). Maka dengan pengertian seperti itu, setiap orang sebenarnya berhak untuk menentukan dengan siapa dan tidak dengan siapa seseorang boleh membangun hubungan; sukur sukur menjadi tempat saling menambatkan hati, menyandarkan kepercayan. Menjadi rumus alam paling hakiki, dimanapun pendusta sebenarnya tidak bisa dipercayai. Dan memilih orang yang tidak dipercayai sebagai tempat untuk mempercayai sungguh perbuatan bodoh. Kadang kadang perbutan bodoh itu datang dari pengambilan sikap yang ambigu, hanya karena cita cita untuk menjadi orang baik, memelihara damai dan membagi kebahagiaan. Menerima perbuatan dusta dari orang yang sama secara berturut turut, ternyata mengandung juga sisi lain, dimana sebenarnya si penerima dusta itu memiliki kekuatan hati yang memadai sehingga mampu memberikan kesempatan berulang ulang kepada si pendusta untuk mengkoreksi diri, agar menjadi orang yang benar benar bisa dipercaya, sebab hanya itu yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Berkali kali ia tanggungkan lara hati karena telah didustai, tetapi berkali kali pula hatinya yang patah tumbuh kembali.

Jika kemudian urusan dusta mendustai itu menjadi kebiasaan dan tidak menunjukkan kemajuan pada perilaku pasangan, maka memang sudah demikianlah sifat si pasangan. Dan sialnya, sifat seseorang tidak bisa dirubah oleh orang lain. Sifat dasar dari setiap orang hanya bisa dikontrol oleh si pemiliknya sendiri. Dan ketika si pemilik sifat itu merasa ’yakin benar’ dengan tindakan tindakan dustanya dan nyaman dengan itu, apa mau dikata? Mengasihani diri sendiri hanya agar dikasihanipun percuma. Sedangkan berharap untuk tidak dijejali dusta lagi di kemudian hari oleh orang yang sekarangpun ragu. Akal pikiran logika seakan mati, tercekik oleh kebingungan atas pertanyaan dan ketakukutan sendiri. Mengambang seperti tai hanyut di tepian kali. Tinggal bagaimana ia menyesuaikan diri dengan benturan dan ayunan dendamnya.

Gempol 100430

Friday, March 19, 2010

Balada Nawangwulan

Alkisah, serombongan bidadari dari khayangan, meniti pelangi turun ke bumi, menuju telaga dimana mereka akan berbasah basah penuh sukacita. Jaka Tarub yang beruntung, mengendap dari balik rerimbunan semak belukar, terbangkitkan gejolak alam, panggilan paling purba akan kesempurnaan lawan jenisnya. Pada waktu itu, hari mulai senja. Jaka Tarub yang nakal mencuri sehelai selendang warna ungu, milik salah satu bidadari diantara tujuh. Entah yang mana, sekenanya saja sebab semua begitu elok rupawan, molek bagai boneka. Ternyata selendang ungu itu milik Nawangwulan, bidadari malang yang tak sanggup terbang tanpa selendang, sementara yang lain telah kembali ke khayangan, tempat dimana tidak ada kesulitan dan kekesalan. Dunia tanpa batas dimana dulu ia bebas untuk menjelma jadi manusia, kemudian memilih lelaki yang disuka untuk dikencani dan dibawa pulang, tidur dalam pelukan sampai matahari membangunkan. Nawangwulan tak punya pilihan, diucapkannya janji kepada diri sendiri untuk mengabdi bagi sesiapa yang menolongnya pergi dari telaga yang menggigilkan dan menjanjikan keamanan. Maka jadilah Jaka Tarub sang pahlawan, mempersunting bidadari seumpama tertimpa rembulan. Dan Nawangwulan menerima nasibnya, dijauhkan dari ingar bingar dunia angkasa, setia menjalani kehidupan artificial yang sebenarnya bukan dunianya. Dipakasakannya hati demi memenuhi janji yang ia ucapkan sendiri ketika rasanya tak akan ada satu orangpun akan mampu menolongnya dulu. Dilupakanya statusnya sebagai selebriti angkasa, yang dikerumuni oleh pemuja pemujanya.

Maka, sudah menjadi aturan kehidupan, bahwa segala yang ada di dunia pasti akan ada akhirnya. Segala yang menyertai kehidupan akan berubah, waktu memberi pengertian pengertian yang berbeda, terkadang memberi makna lewat proses keseharian yang terkadang direncana, namun lebih sering tak terduga. Jaka Tarub menganggap keberuntunganya akan abadi, sedangkan Nawangwulan yakin suatu saat kemalangannya akan berakhir. Mereka berdua menjalani hidup saling terikat oleh tali hati berusaha saling menjaga hati yang rapuh agar tak retak ataupun hancur oleh terlukanya perasaan. Waktu berjalan, melahirkan kebosanan di perasaan. Bagi Nawangwulan, menjadi manusia sudah terasa tidak nyaman lagi. Hidupnya jadi monoton, hanya hitam dan putih warna yang ada, hanya kedepan pandangannya dapat diarahkan. Terkadang ia rindu kemeriahan khayangan, tempat dimana para pemujanya sengaja mengelu elukan, memuja mujanya sebagai yang paling istimewa. Yang paling ia rindui adalah rasa bebasnya dari segala bentuk kewajiban, keharusan dan aturan kepantasan yang harus ditaati. Di khayangan, semua hal adalah pantas. Sedangkan di mayapada, pemuja satu satunya hanyalah Jaka Tarub, lelaki biasa yang oleh keberuntungan nasibnya telah memperistrinya. Rasa beraninya bangkit untuk memberontak, bahwa bukan di mayapadalah tempatnya yang sejati. Tetapi apa daya, ke khayangan hanya bisa ditempuh dengan meniti pelangi, dibantu dengan selendang warna ungu miliknya yang telah hilang tercuri.

Suatu pagi berkabut, seperti biasanya Nawangwulan berpesan kepada suaminya untuk tidak pernah membukan kekep penutup kukusan menanak nasi sembari pergi ke telaga untuk cuci mencuci. Rasa penasaran lelaki Jaka Tarub mendorongnya untuk melanggar larangan itu, sekedar menjajaki apa yang bakalan terjadi kemudian. Rupanya didalam kukusan yang terpanggang diatas tungku dari batu cadas, Jaka Tarub hanya menemukan satu biji beras. Ia baru sadar, bahwa selama ini lumbungnya selalu penuh oleh pundi pundi padi, seolah tidak berkurang meskipun setiap hari ia tahunya makan nasi berkecukupan. Ia takjub dan terkejut oleh keajaiban yang tidak disadarinya itu. Larangannya begitu sederhana, dan ia melanggarnya dengan cara yang sederhana pula. Sepulangnya Nawangwulan dari mencuci, Jaka Tarub menceritakan pengalaman hebatnya, dan luluh lantaklah tulang belulang Nawangwulan. Pantangan yang dilanggar Jaka Tarub itulah satu satunya kekuatan ajaib yang dimiliki sebagai seorang bidadari, dan sekarang ia harus rela lagi menerima kehidupan sebagai manusia seratus persen, dia akan harus menumbuk padi di lesung, menampinya dan memilah milahnya supaya ia bisa memasak nasi yang cukup bagi keluarganya. Hidupnya tidak lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya, yaitu ketika segalanya masih baru. Jaka Tarub menyesal setengah mati telah mengungkap larangan sederhana, ia tahu kini bahwa hal yang terlalu sederhana terkadang menyembunyikan kenyataan yang mengerikan, dan hanya akan membuahkan penyesalan. Keduanya kini bekerja keras untuk dapat menjaga supaya langkah mereka tetap akan sama, menuju ke arah yang sama.

Sewaktu tumpukan padi di lumbung menipis, sewaktu perasaan cinta mulai terkikis, suatu hari Nawangwulan menemukan hari keberuntungannya. Ditemukannya selendang ungu yang ia sudah cari cari sejak terakhir bercengkerama dengan saudari saudarinya dari angkasa. Ya, selendang ungu itu miliknya pribadi, kendaraan satu satunya yang bisa mengantarkannya pulang kembali ke alam angkasa, kembali menjadi selebriti dunia maya. Maka ia tak menemui Jaka Tarub, pada selembar daun pandan ia tulisakan pesan, menumpahkan kesalahan kepada sikap abai Jaka Tarub yang telah berani melanggar laranganya, yang telah menyepelekanya sebagai keturunan bidadari dari khayangan. Jaka Tarub juga dianggap bersalah telah mencuri selendang ungunya, yang menyebabkannya kemudian harus hidup terikat, terkekang dan menderita bersama Jaka Tarub. Ditumpahkannya segala bentuk kesalahan dan kejadian buruk masa lalu kepada Jaka Tarub yang kehilangan hak jawab, diungkitnya lagi sakit hati yang pernah dideritakan dulu sewaktu masih seperjalanan. Selendang itu memberinya kekuatan baru untuk melawan, sebab ia akan menjejak bumi, meninggalkan Jaka Tarub tanpa peduli. Suka cita dan canda tawa yang pernah terjadi kemudian menjadi pucat pasi, layu dan mati bersama kenang kenangan dan sejarah yang rasanya tidak perlu untuk dikenangkan lagi. Nawangwulan tidak peduli meskipun ia tahu segala kata kata yang diucapkan kepada Jaka Tarub adalah mengada ada, toh ia akan pergi, menjejak bumi meninggalkan mayapada yang penuh tipuan dan kebohongan ini. Ia akan kembali kepada kehidupan aslinya di sudut langit bernama khayangan, dimana segala hasrat manusiawi dapat ia tebuskan hanya dengan menjentikkan jari. Ia sudah terlalu lama terpenjara di bumi, terpisah jauh dari para pemujanya.

Jika hati sudah tidak menghendaki dan jika rasa nyaman sudah tidak ada lagi, maka hal sederhanapun bisa menjadi suatu penyebab berakhirnya sebuah hubungan antar manusia. Kesalahan dijadikan senjata, sedangkan niat baik telah berubah menjadi prasangka, maka waktunya mengukir cerita menjadi prasasti, catatan perjalanan yang mati di dinding candi...

Gempol, 100318

Friday, February 19, 2010

Lawatan Khayali

Tidur adalah berkah mewah dan istimewa bagi hidup yang terus bergerak mendaki makin terjal kurva cembung kulminasi usia. Ketika raga dan otot sensorik terbius mati, maka sebuah perjalanan lawatan ke dunia mimpi dimulai. Pada detik pertama tertidur, maka detik yang sama juga menjadi langkah perjalanan petualangan ruh ke alam mimpi, angan angan; alam bawah sadar yang memiliki keniscayaan mutlak, yang tidak punya batas, garis, aturan maupun bentuk yang bisa digambarkan. Alam itu begitu sempurnanya, sehingga sanggup mematahkan semua konsep ketidak mungkinan. Setiap petualangan mengandung pesan dan keindahannya sendiri, sesuatu yang hanya akan terjadi satu kali dalam seumur hidup. Baik petualangan di alam nyata maupun di planet mimpi, baik dilakukan bersama ataupun sendiri.

Cerita kejadian sepanjang perjalanan petualangan mimpi tidak pernah bisa diramalkan sebelumnya oleh akal sehat di dunia nyata, atau dilahirkan oleh pikiran pikiran taktis dan pragmatis dalam bentuk teori ilmiah. Katanya dunia mimpi berisi kehidupan yang timbul dari kebingungan nalar dalam memahami atau menyimpulkan sesuatu kejadian (siang harinya), tetapi terkadang mimpi berisi kisah berkesan yang tidak ada hubunganya dengan buah pikiran sesiang hari. Mimpi yang buruk tidak bisa dicegah datang dan perginya, serta tidak peduli separah apa akibatnya bagi gangguan kewarasan perilaku bijaksana ketika berpergaulan. Mimpi buruk adalah kehidupan muram versi alam bawah sadar, yang mengartikulasikan setiap detail penderitaan yang diakibatkan oleh kesialan. Bahkan definisi kesialan itu pula lahir dari pikiran yang subyektif serta negatif. Ingatan yang dihindari, pikiran yang diupayakan untuk dipungkiri di siang hari sering menimbulkan balas dendam berupa terjadinya kembali episode paling getir dalam hidup yang pernah terjadi di masa silam. Itupun umum disebut sebagai mimpi buruk. Indahnya, segala kesedihan dan nestapa yang memilukan itu terjadi tanpa memakan energi dari badan kasar, melainkan hanya libatan emosi semata.

Mimpi yang ndah sebaliknya, adalah harapan dan cita cita semua manusia waras. Bahkan saking warasnya, terkadang dibuat sebagai pesan sebelum tidur kepada orang yang kita sayangi agar bermimpi yang indah. Terdengar romantis, hanya saja tidak logis. Mimpi bukan barang bikinan yang bisa dipesan seenak udel, apalagi porsekot pemesanan mimpi itu hanya sebuah basa basi atau malah bahkan rayuan maut si penjahat kelamin. Petualangan yang terjadi didalamnya adalah utopia sejati. Segala hal yang ada dan yang hidup didalam kisah mimpi indah memiliki kemutlakan hakiki. Mimpi yang indah sesungguhnya adalah gugusan jawaban atas hal yang sulit dicerna di siang hari. Bermimpi bertemu dengan kekasih yang dirindui, misalnya, adalah buah dari rasa rindu itu sendiri yang mendarah daging sampai ke syaraf otak bahkan tanpa disadari. Bathin yang merindu mengharapkan pertemuan yang sulit dilakukan karena tatanan peradaban dan aturan kepantasan, dan mimpi tentang pertemuan yang meniadakan dimensi ruang dan waktu adalah jawaban manis melebihi khayalan. Mari berharap saja, dapat tertawa atau tersenyum dalam tidur.

Ah, jangan jangan....mimpi adalah refleksi kebalikan dari keadaan alam fikiran kita di dunia nyata?! Atau mimpi adalah sebuah kanal terusan yang menghubungkan alam pikiran pada detik terakhir terjaga dan detik pertama terlelap? Oleh karena mimpi adalah lawatan pikiran yang misterius; unpredictable, mungkin ada baiknya mengantisipasinya sebelum tidur dengan hal hal baik sebagai ritual pergi tidur. Badan yang bersih oleh mandi yang baik, satu semprotan kecil Eclat Sport for Man di dada akan baik, baju tidur yang baik, tempat tidur yang baik, selimut yang baik, persiapan yang baik untuk hal hal pertama ketika terbangun besok, doa yang baik, pikiran yang tenang nyaman dan baik, lalu harapan akan datangnya mimpi yang baik adalah persiapan yang baik untuk menyerahkan badan wadag kepada ketidak berdayaan sebaik baiknya, sebagai bentuk penghargaan terhadap rasa syukur atas karunia hidup yang masih diberikanNya kepada kita dengan cuma cuma. Sebuah ekspresi terimakasih kepada hidup karena keadaan yang baik baik saja sampai hari ini.


Sleep tight...


Bambuapus 100219

Tuesday, February 02, 2010

Siapa Punya Siapa Kita

: PYO
Dari angka satu sampai ke angka sepuluh, siapakan orang yang paling kita sayangi saat ini?

Maka segala ingatan, kesadaran dan kemutlakan subyektifitas penilaian akan memanggil nama nama orang yang saat ini masih hidup dan berpengaruh besar dalam memanusiakan diri kita; yang pengaruhnya paling besar, menimbulkan empati paling kuat, dan paling ingin kita bahagiakan, itulah penyandang predikat orang tersayang. Mengingat ataupun menyebut namanya bisa menggetarkan seluruh jalinan perasaan, sebab dia yang mampu menyumberkan kasih sayang dan memang paling layak untuk menjadi orang yang paling kita sayangi.

Orang tua, ibunda adalah sosok yang semestinya paling layak mendapatkan gelar orang tersayang karena beliaulah yang membuat kita menjadi manusia, kemudian yang mengajari kita tentang tata tertib dunia, mengenalkan kepada hidup dengan caranya, menuntun sikap untuk selalu menuruti cahaya hati. Cintanya sebesar rongga antara bumi dan langit, sedangkan kasih sayangnya seluas ukuran dunia. Suci dan juga sepenuh hati. Tidak akan pernah ada cinta yang menyamai keagungan cinta seorang ibu yang bercita cita memuliakan anaknya dalam kehidupan dunia. Begitu besar cinta kasihnya sehingga ruh seorang ibu selalu tertitis kepada anak anaknya. Tidak peduli hal apapun yang kita anggap sebagai hal buruk yang diberikan oleh seorang ibu, maka ibu tetaplah seorang malaikat utusan Tuhan untuk menjadi perantara keberadaan kita di dunia dalam keadaan hidup. Nah, bukankah hidup adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan melalui tubuh ibunda? Tidak ada kemuliaan yang melebihi hal itu.

Lalu bapak yang baik kepada anaknya sendiri. Menempatkan diri dalam kehormatan seorang bapak yang ikhlas rela menjaga dan ngawat awati sang anak dari orok hingga meninggal dunia kalau mungkin. Seorang bapak yang mampu memanjakan anaknya, menjadikan kebutuhan lahir batin sang anak sebagai prioritas utama, bertanggung jawab mengumpani sekaligus melindungi anaknya dari segala bentuk kesusahan. Sang bapak yang menyuapi anaknya dengan pengalaman pengalaman hidup yang berharga, sebagai mata pelajaran bagi sang anak dalam mengayunkan langkah kakinya yang hijau. Kelahiran seorang manusia sesungguhnya tidak pernah akan terjadi tanpa campur tangan seorang bapak.

Bapak yang juga manusia biasa, ibu yang juga manusia biasa merekapun terkadang terjebak dalam sifat hewani kemanusiaanya, buta terhadap betapa mulianya menjadi orang tua; memperlakukan anak sebagai komoditas pengumpul materi semata. Tetapi mereka tetaplah orang tua yang membuat kita ada didunia dan menjadi salah satu renik yang membuat kehidupan dunia bergerak.

Kemudian anak. Titisan ruh, titisan darah dan daging dua manusia, dua individu asing yang beda jenis yang kemudian membentuk menjadi manusia baru. Anak memberikan pelajaran paling berharga bagi setiap manusia dewasa untuk memahami bagaimana dulu dibesarkan oleh orang tua. Kepadanya, orang tua membangun rambu rambu dan menyalakan cahaya, meratakan tanah pijakan untuk dilewati sang anak supaya aman sentausa di masa depannya, supaya mampu menghidupi dirinya sendiri dan menciptakan kehidupan bagi orang lain pada saatnya kelak orang sang orang tua termakan usia. Kehadiran seorang anak adalah penyadaran terbesar akan siklus silsilah panjang sekaligus memberikan harapan bahwa tentakel silsilah dijamin semakin meraksasa dan panjang. Kepada anak, orang tua menitipkan warisan berupa zaman, yang terus bergerak dan berubah mengikuti kehendak kehidupan. Anak selayaknya adalah symbol kebahagiaan hidup, buah cinta dan tumpahan kasih sayang sepanjang hayat dikandung badan.

Baru kemudian orang asing, si individu asing yang bersarang di dalam batin, dimana dengan suka rela dan maksud yang sama telah menjadi teman hati, terikat dengan talihati yang tidak terlihat oleh mata. Kita menyayanginya karena kita disayang olehnya. Simbiosis mutualisme batin yang tidak mungkin untuk dijabarkan hanya dengan serentetan kata kata. Sebuah hubungan aneh atas kuasa rasa yang sama, yang memberikan sensasi sensasi hipnotis bagi siapapun yang mengalaminya. Namanya asmara. Oleh sebab faktor waktu dan lain sebagainya, posisi ini sering terjadi pergeseran nama dan zaman ke zaman. Orang asing yang kita sayangi saat ini bisa jadi bukanlah orang yang sama seperti sepuluh tahun, lima tahun, tiga tahun, atau enam bulan yang lalu. Kepadanyalah kita menemukan potongan puzzle yang lalu membentuk keutuhan sketsa impresi sebagai sebuah pribadi, sebagai seorang manusia dalam level mutunya.

Deretan angka selebihnya diwakili oleh nama nama yang sangat kita kenal dan kita fahami keadaanya, atau oleh ikatan darah yang tidak bisa diceraikan dengan apapun. Namanya juga subyektif, jadi masing masing orang bebas menentukan siapa berada pada urutan peringkat berapa dalam posisi orang tersayang dalam hidup kita. Samasekali bukan soal pembandingan kualitas, akan tetapi hanya sekedar skala prioritas. Sesungguhnya setiap orang adalah orang tersayang bagi seseorang. Bagi seseorang yang beruntung, dia bisa menjadi orang tersayang bagi lebih dari satu orang, sedangkan dia si orang beruntung hanya punya satu orang tersayang dalam hidupnya saat ini.

Sayangnya, kita tidak pernah tahu orang tersayang urutan ke berapakah kita bagi orang lain, tetapi kita tahu pasti siapa orang orang yang kita sayangi dalam hidup kita.


Surabaya 100202

Tuesday, January 26, 2010

Suami Istri

Dua individu asing yang bertemu lalu menyatu menjadi satu individu baru? Atau dua individu asing yang bertemu dan lalu bergandengan tangan melangkah bersama dengan langkah yang sama tetapi tetap dalam perbedaanya? Atau mungkin dua individu asing yang atas dasar perbedaanya kemudian sepakat untuk melebur menjadi individu baru yang dilengkapi dengan dokumen sah yang menyatakan bahwa mereka pasangan yang terikat oleh kewajiban mentaati hukum sipil peradaban dan bersumpah atas nama Tuhan. Sedangkan sumpah atas nama Tuhan adalah sumpah tertinggi yang bisa dijadikan ukuran sumpah apapun. Itu semua tebusan untuk legalisasi perbuatan yang tadinya tidak boleh untuk dilakukan sebelum sumpah dan akta nikah mengikat pasangan itu.

Menjadi suami istri adalah langkah pertama untuk terikat dalam aturan aturan yang ketat terutama tentang tenggang rasa, hormat dan bagaimana memelihara cinta dengan saling menghargai dan mempercayai. Soal rasa sayang tentu tidak masuk akal lagi untuk diperbincangkan disini, oleh sebab setiap pernikahan pasti diawali dengan rasa kasih sayang atau rasa cinta, atau asmara. Hubungan suami istri - ritual paling purba sepanjang serjarah peradaban manusia, warisan dari sifat mahluk hidup yang dilengkapi dengan akal rangsang dan nurani - menjadi barang legal yang boleh dilakukan kapan saja dan dimana saja sesukanya. Sedangkan persetubuhan adalah ekspresi tertinggi dari nilai kasih sayang yang divisualisasikan dengan segenap perasaan terdalam bernama nafsu. Buah terlarang yang semestinya tidak boleh dimiliki pada orang yang tidak terikat pernikahan, sebab pernikahan memang adalah legalisasi hubungan badan suami istri! Selebihnya adalah pembagian kewajiban dan hak sebagai sebuah lembaga bersama.

Surat nikah hanyalah kertas, pengikat lembaga itu yang sejatinya adalah itikad nurani untuk setia menjaga komitmen perkawinan dan memberi nilai positif terhadap diri sendiri. Orang yang berbuat baik akan menilai dirinya baik dan itu baik untuk memotivasi diri untuk menjadi orang yang baik. Kaki kiri dan kaki kanan bisa tidak simetris pada saat kita berjalan, tetapi toh keduanya membawa tubuh ke arah dan tujuan yang sama. Dua individu asing tetap menjadi dua individu asing, menjaga kerahasiaanya masing masing demi membela arah dan tujuan yang sama pula. Bentuk hubungan akan berkembang mengikuti kemauan zaman, mengikuti arus takdir kedua individu asing tersebut. Rapuhnya akta nikah dan sumpah dihadapan Tuhan sebagai tali pengikat hubungan dibuktikan dengan banyaknya pasangan yang mendaftarkan diri mereka di pengadilan untuk proses perceraian. Sebuah penyelesaian yang elegan dari ketidak sesuaian yang ditemukan kemudian setelah sebelumnya hakul yakin bahwa pasangannya adalah jodoh yang dikrimkan Tuhan. Bukan soal salah memilih orang sebagai pasangan, tetapi lebih kepada arogansi ego masing masing yang terlalu tinggi sehingga menutupi sumpah maupun komitmen yang ditandatangani hitam diatas putih. Akta nikah tidak bisa menjadi pengikat dua keinginan, sebab tali hatilah yang sebenarnya menjadi satu satunya pengikat dua individu asing untuk menjalani sesuatu bersasma sama dengan rasa yang sama dan semangat yang sama.

Mungkin dulu alasan sepasang manusia menikah adalah karena mereka sama sama terlalu takut untuk kehilangan pasangannya (menjadi bukan pasanganya lagi). Lalu berikrar dengan disaksikan orang lain bahwa mereka sepakat untuk menjalani hidup bersama selamanya. Dalam suka dan duka, susah senang, sehat dan sakit. Amboyy...betapa indahnya kata kata utopia yang membuai. Itulah nilai tertinggi dari hubungan dua individu asing yang kemudian menjadi suami istri; menjalani hidup bersama, merencanakan dan mengalaminya bersama sama. Karena itulah sebabnya disetiap peradaban manusia suku manapun pasti ada ritual pernikahan meskipun cara yang dilakukan berbeda beda. Dan setiap perkawinan menghasilkan cerita peradaban yang berbeda beda. Dan, cerita perkawinan terindah hanya bisa terbentuk oleh hubungan dua individu berbeda jenis kelamin untuk saling menyenanangkan, saling menjaga, serta saling membiarkan pasangan menjadi diri sendiri. Maybe!


Tasikmalaya – Garut - Jakarta 100124

Friday, January 15, 2010

Usai Perang

Pesta iblis akhirnya usai. Perang telah selesai. Luka luka diteliti dengan seksama. Korban ditaksir berdasarkan bobot penghargaan atas sebuah hubungan; tak ternilai dengan materi. Duapuluh enam hari musuh mengamuk didalam selimut yang melelahkan berlalu, menyisakan serpihan kebahagiaan yang berserakan pecah berantakan. Air mata kering, sumbernya mati karena dikuras setiap hari. Panas dendam telah menghanguskan hampir ke seluruh aspek kehidupan, bahkan yang tidak berhubungan dengan peperangan. Dimana mana, perang hanyalah memproduksi korban. Sedangkan perang, selalu dimulai dari sebuah pengkhianatan sederhana.

Perempuan yang khianat, laki laki yang khianat. Khianat terhadap janji, khianat terhadap diri sendiri. Manipulasi perasaan atas kuasa nafsu. Dan sudah menjadi ciri wanci, bahwa setiap penghianat pastilah akan di laknat. Laknat dunia akherat sebagai bentuk pemaksaan pertanggung jawaban atas perbuatan yang khianat. Perbuatan khianat yang melahirkan perang, yang menyisakan kerusakan parah untuk waktu yang panjang. Kecacatan permanen terhadap kemapanan emosi yang menganggap sebuah kebahagiaan akan bisa abadi. Sungguh sebuah perang yang mengerikan, ketika ribuan pedang menghambur dari kegelapan; sebuah upaya pengelabuan yang gagal. Itikad yang terkandung didalamnya sudah menunjukkan nilai negatif atas komitmen tali hati.

Sambil menunggu asap gelap tersibak dan terang menjelang, perih perih dihitung dan dirasakan sekali lagi. Badan yang tercacah dengan luka menganga masih bisa ditahankan, tak seberapa sakit dibandingkan dengan nilai harga diri yang dirampok si durjana. Di dalam sepi setelah musuh pergi dengan membawa selimutnya sekalian, sebuah catatan perang ditulis sebagai eksplorasi atas gores demi gores luka yang diderita. Kisah yang akan menceritakan panjang lebar tentang sebuah kepingan peristiwa atas persekutuan yang cidera. Sudah waktunya mengemas impian dan lalu memasang nisan diatas kubur kenangan. Dunia yang beku dan muram menancap di liat dan pekatnya lumpur kekalahan.

Luka luka harus segera disembuhkan dan sisa perang harus segera dibersihkan, keadaan harus segera bisa dipulihkan. Kekalahan harus diterima, sebab para pengacau telah pergi bersembunyi; saling melindungi dan tidak pernah ada tanggungan yang mereka jawab. Pengecut memang selamanya demikian dan akan terus menjadi pengecut sampai akhir zaman. Memang sebaiknya mereka pergi dan tidak kembali, menjauh dari segala bentuk tanggung jawab untuk hidup yang lebih enak, dan untuk dunia yang lebih tenteram dalam persembunyian. Sayangnya, mereka bersembunyi hanya persis didepan mata!

Akhirnya pesta perang para iblis harus selesai. Saatnya menunggu sang waktu menyembuhkan luka, merestorasi hati kemudian membersihkannya dari serpihan beling yang menancap di didnding langit pikiran. Jalan kedepan akan penuh dengan tantangan yang harus dapat diretas sendirian. Tidak akan mudah dan memerlukan kekuatan melebihi rata rata, bahkan hanya untuk sekedar menerima kekalahan. Butuh hati berukuran raksasa untuk dapat menghayati indahnya dikhianati. Toh semua sudah terjadi dan berlalu, menjadi masalalu yang benda mati. Setidaknya manis dan getir perjalanan yang pernah terlewati memberi pelajaran baru tentang isi hidup. Pengalaman memperkaya pemahaman atas nilai sebuah hubungan serta ukuran ketaatan azas tenggang rasa.

Maka ketika perang iblis usai, perang barupun dimulai. Satu kelas lebih tinggi dari perang sebelumnya, karena perang baru adalah bentuk perlawanan dari kebangkrutan nurani oleh sebab terkurasnya cadangan kesabaran. Perang yang lebih bermartabat karena misinya adalah mengembalikan nilai kehidupan kedalam norma peradaban berdasarkan kebijaksanaan. Meneruskan cita cita sederhana; menjadi orang baik dan memenjara dendam yang ibarat Da;jjal. Merapikan kembali segala yang porak poranda, mengenangkan peristiwa ini sebagai satu episode yang telah selesai penayangannya. Sampai hari hari akan berjalan seperti sedia kala...

Bambuapus, 100115 - 0238

Thursday, January 14, 2010

Membaca Luka

When love goes wrong, nothing goes right.

Membacai catatan tentang luka, seperti membangkitkan iblis dari kuburnya. Berhamburan menyerbu muka, dada dan kepala. Kenangan menikam perih seperti jantung tertancap kujang karatan. Memang benar, hanya karena nila yang setitik, susu sebelangapun bisa tercemar. Hanya dengan hujan yang sehari orang lantas bisa begitu saja melupakan kemarau yang setahun penuh. Satu luka bacokan yang tepat ditengah bahagia niscaya akan sanggup melumpuhkan sisa jatah kehidupan. Ia menjadi bibit dari semua jenis malapetaka di alam batin. Luka luka yang menyusul sesudahnya tidak lebih dari siraman air cuka diatas luka lama. Menyebabkan lupa atas rasa segala bentuk kesenangan dunia.

Membacai lagi catatan catatan lama, seolah olah menemukan lagi pribadi baru yang menipu jiwa. Semuanya menjadi asing, bahkan terhadap wajah sendiri yang terpantul dari genangan air mata. Riwayat yang tercatata di altar langit berjatuhan laksana hujan dari jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang tetap menjadi rahasia sendiri. Kaki dan tangan seolah terikat ketika gerombolan iblis bertamu pada malam penuh kegelapan. Mereka telah menyeret mata menuju subuh lalu tertawa pergi menyembunyikan keji ketika matahari tiba menuntut pertanggung jawaban aktualisasi diri. Iblis iblis itu mereka persis seperti orang orang pengecut yang kelak akan mati membusuk dimakan belatung.

Seharusnya hati bisa menjadi kuat setelah melalui beribu malam dalam perkelahian bisu. Semestinya semuanya menjadi lebih terang setelah reda sang hujan. Tidak seharusnya memang luka yang sama terjadi berulang kali. Tidak seharusnya juga orang yang dipercaya menikamkan belati pengelabuan di dipunggung yang tersandar. Seharusnya memang tali pengikat hati dilepaskan, direlakan sang putri menjadi selebritis laris di langit maya tempatnya memuja rasa. Tempat manusia memang di bumi, di dunia nyata dengan manusia nyata; tempat bahagia dan duka yang nyata.

Keikhlasan laksana seberkas cahaya yang mampu menuntun diri untuk selalu ingat pada sesama ketika mata hati gelap oleh badai khianat. Seharusnya!!
Kuta Bali - 100114

Wednesday, January 13, 2010

Dunia Maya

Dunia maya adalah padang kehidupan dengan orang oroang virtual, saling berteman tanpa harus merasakan menjadi teman yang sejatinya. Teman yang sebagai malaikat tidak bersayap itu. Dunia maya juga adalah kehidupan tak nyata yang didasarkan atas angkasa tak bertuan, tak berpagar dan tak berambu. Disana manusia saling tampilkan nafsu. Jalinan sosial yang terbentuk dari interaksi nafsu berupa lorong lorong labirin penuh kejutan menyakitkan. Sebagian pengecut di dunia nyata bersembunyi rapi jali di dunia maya, mempertontonkan kepengecutannya yang sejati di dunia yang bahkan tidak nyata.

Sebagai wahana angkasa, orang yang maju akal pikirannya tidaklah bisa menolak daya tariknya. Sebuah lapangan besar berisi permainan hayal rupa rupa dan sangat rahasia. Seperti pasar tradisional dimana setiap sesama boleh memilih dan dipilih untuk dimanterakan supaya menjadi nyata, seorang yang menyentuh dan teraba. Kita tidak bisa memagarinya supaya kita tidak ada didalam pengaruh kesaktiannya ketika kita ada di bagian luarnya, akan tetapi kita juga tidak bisa melindungi diri dari niat itikad untuk masuk dan berselancar didalamnya ketika kita sendiri sudah menjadi bagian darinya.

Jejaring sosial, ludah laba laba yang menjerat peradaban dengan kebiasaan baru dan seolah olah dunia baru; mempertemukan, menyatukan dan juga mampu menceraikan bahkan menghancurkan hidup nyata. Sebuah kehidupan nyata yang dipunggah ke atas panggung khayali manusia dirangkai dengan tali hati. Kehidupan ’seolah olah’, kisah kisah cinta atas kuasa bohong hingga segala pencitraan nafsu binatang niscaya ada disana, tidak diakui oleh pemiliknya sendiri; si empunya diri. Acap kali gesesekan antara dunia maya dan dunia nyata menimbulkan gempa yang menggemparkan. Bahkan mematikan matahari di dunia nyata!

Bentuk bentuk pengingkaran atas kebenaran serta kehilangan logika sederhana tentang tatanan hidup di dunia nyata merupakan akibat dari pengaruh buruk yang ditimbulkan dunia maya. Sikap naif yang palsu, jiwa yang mendua, dunia yang mendua, hati yang mendua, lelaki yang mendua, perempuan yang mendua, tapi tidak dengan perih rasa akibat lukanya. Perih dan luka hanya milik individu yang tidak mendua. Perihnya terasa di dunia nyata, sebagai pantulan keras dari cermin dunia maya yang tak sanggup untuk ditentang untuk selalu memandang. Udara yang mengisi dunia maya bisa meracuni otak orang sedemikian rupa hingga lupa bahwa berbohongpun memerlukan logika. Membohongkan dunia nyata di dunia maya atau sebaliknya sesunggunya adalah perkara bodoh dan berbahaya. Akibatnya bisa membuat orang celaka. Benar benar celaka dalam arti harafiah di dunia nyata. Celaka tigabelas namanya!


Oleh karena teknologi memberi kita sayap untuk terbang sesuka hati kedalam dunia maya, ada saatnya mencabuti sayap, turun perlahan dan berpijak pada bumi, pada panas tanah merah sesudah dijerang matahari. Di atas bukit tak bertuan kaki dipijakkan, memandang mengeliling untuk menentukan tujuan sesuka hati. Tak apa jika sesekali kaki kita terantuk, toh sakitnya hanya sementara. Bukankah segala yang ada dalam hidup kita ini sementara?! Tetapi jika batin kita yang tertusuk, amboy..lukanya akan terasa perih abadi. Dunia maya hanya tinggal menjadi hantu yang patut untuk dibelakangi. Menemukan orang yang nyata dalam dunia nyata, apapun itu bentuk dan karakternya, adalah nyata dan sederhana. Memang demikianlah seharusnya kehidupan berjalan. Tenggang rasa maupun segala upaya bersosialisasi adalah yang senyatanya menentukan nilai dari seseorang. Didunia maya semua hanya kata kata di angkasa.

Kiranya aku rindu matahari ketika pagi dan langit senja di kala sore.

Kuta Bali - lewat tengah malam 100113