Saturday, February 04, 2006

Jyllands-Posten

Hati bergidik rasanya ketika membaca ratusan tulisan yang bisa terfahami mengomentari karikatur nabi Muhammad SAW di harian Denmark Jyllands-Posten, yang juga bisa diakses melalui http://www.uriasposten.net/?p=2624. Ngeri rasa hati karena justru cemooh, ancaman dan kata kata kasar khas zaman jahiliyah ditayangkan sebagai polemik bebas. Orang berbagai ras dan pandangan , terutama keyakinan akan ketuhananya saling mengolok, mengancam bahkan mencela atau sekedar berkomentar.

Perbedaan agama kemudian dikemukakan lewat pemahaman logika, menempatkan agama dikepala yang muncul adalah perasaan hak azasi yang tertindas atau barangkali sampai kepada kehormatan yang terinjak injak. Tersinggung. Reaksi dari ketersinggungan itu sendiri muncul dengan vulgar, dan counter reaksinyapun tak kalah vulgarnya pula. Disini yang terlihat lagi lagi adalah bahwa orang seperti kehilangan makna dasar dari agama, bahkan keteladanan sang pemimpin telah diartikulasikan dengan cara yang impulsive.

Dimanapun agama mengajarkan sikap rendah hati, andap asor, dan bijaksana. Sikap sikap mulia untuk kehiduapan dunia yang akan menjamin ketenteraman bathin bagi siapapun yang menganggap diri sebagai manusia. Agama tentu tidak mengajarkan pembunuhan, pencelakaan, pembalasan dendam, dan segala bentuk kekerasan fisik maupun non fisik. Tetapi aneh, di uriaposten.com itu justru orang saling mengatasnamakan agama untuk memaki dan mencela.

Agama adalah faham, ajaran nurani, tatanan tingkah laku. Ujungnya adalah perilaku kebajikan dan permaafan. Membela agama idealnya adalah dengan mengamalkan ajaran luhurnya, dengan mempertontonkan keunggulan budi baiknya, dan itu dimulai dari diri sendiri, tanpa tendensi untuk memaksa orang untuk tunduk dengan kehendaknya, mengatasnamakan agama. Pembelaan dengan cara anarki maupun kasar justru akan memerosotkan nilai agama itu sendiri yang bagi orang dengan pemahaman (baca: agama) berbeda malah menjadi pembenaran dari keyakinan bahwa memang sikap si pembela yang anarkis itu mencerminkan ajaran yang sesungguhnya. Padahal hal itu tentu saja samasekali keliru.

Jyllands-Posten sudah meminta maaf, demikian juga pemerintah Denmark, namun reaksinya hampir diseluruh dunia belum lagi surut. Orang muslim tersinggung, sedangkan pers Denmark memandangnya sebagai kebebasan berekspresi tentang kondisi sosial dan menempatkan diri sebagai kontrol sosial. Denmark bukanlah negara Islam, dan si pembuat karikatur Kurt Westergaard juga belum tentu memahami kesakralan akan Nabi Muhammad SAW yang kemudian menyimpulkan bahwa memvisualisasikan Nabi Muhamad SAW dalam karikatur yang mungkin maksudnya adalah mengisyaratkan kepada sosial bahwa kaum muslim (digambarkan sebagai Nabi Muhammad sebagai symbol) adalah ancaman bagi kehancuran dunia dan kehancuranya sendiri (dilambangkan dengan Nabi Muhammad SAW yang diatas kepalanya membawa bom waktu). Kurt Westergaard barangkali memandang kaum muslim belakangan menjadi radikal yang menghalalkan kekerasan dan anarkisme. Kelompok kelompok radikal (atau bahasa orde barunya disebut sebagai ‘oknum’), dengan bendera Islam memang mengemukakan diri sebagai kelompok pencetus kekerasan meskipun barangkali hal itu terjadi karena reaksi atas tindakan yang dirasa sewenang wenang. Sebagai counter reaksinya, sebagian orang (barat) kemudian dengan skeptis menganggap bahwa memang begitulah Islam dicitrakan. Maklum, mereka bukan orang Islam.

Dimanapun, agama apapun, sekali lagi mengajarkan cinta kasih dan perdamaian, kebajikan dan kebijaksanaan nurani. Agama tercipta untuk memperbaiki keporak porandaan akhlak suatu kaum dan kemudian menjadi landasan filosofis paling sahih dimuka bumi. Dunia yang semakin ramai dengan kemajuanya menciptakan manusia manusia berpengetahuan yang kemudian memunculkan kesombongan ego, bahwa dirinyalah yang paling tahu tentang ajaran itu, kemudian menggunakan cara yang bertolak belakang dengan ajaran sebagai dalih kepentingan pembelaan agamanya sendiri. Sungguh kemerosotan moral yang digambarkan secara vulgar dan sangat telanjang oleh Jyllands-Posten pada September 2005 itu.

Jika agama hanya jadi ajang cemoohan dan ajang saling mencaci, juga alasan untuk menindas dan mengeliminasi, atau yang lebih parah sebagai dasar tindakan genocide, maka agama itu sendiri telah kehilangan esensinya, justru oleh pemeluk pemeluknya sendiri, bukan dari fihak luar. Seyogianya, cinta kasih, kebajikan, kebijaksanaan dan perdamaian menjadi dasar dan landasan moral bagi setiap sikap kita ketika orang menempatakan agama sebagai sebuah argumentasi. Sebab, sikap rendah hati dan perilaku cinta kasih karena ketulusan nuranilah yang adalah ajaran dasar setiap agama-lah yang bisa menciptakan kedamaian dimuka bumi.

Peace on earth!!

Gempol, 060204