Tuesday, January 02, 2007

Hujan Tahun Baru

Hujan turun mengurung diri, fikiran mengembara jauh ke luar ruangan kaca, menukik dan melayang diantara serpihan air, melanglang mencari pemiliknya, mengembara kehilangan pemiliknya. Diantara geraknya senandung mengalun menyelubungi jejak yang tersisa di hempasan tanah basah, nyenyanyian cinta dari negeri orang orang sempurna. Lalu rintik hujan di dinding kaca melukiskan betapa merananya rindu yang tak terjemahkan alamatnya. Hanya lautan rasa tawar sebagai ujung jawabanya.

Batu batu kenangan berbaur dengan mimpi mimpi masa depan, berebut kuasa untuk menjadi penghias angan yang sia sia. Segala rupa pengandaian berjibaku dengan kehidupan seolah olah, berlagak kukuh didera iblis yang datang setiap detiknya menikam dan mencabik jantung.

Rasa tertipu menjadi raja ketika tak ada sesal tampak dari sorot mata. Sesal atas kebodohan diri menerima perlakuan sedemikian rupa sekaligus mengandalkan ketaatan nurani sebagai pembimbing setiap sikap manusia; terkadang berakhir dengan sia sia. Sesal yang menjamurpun perlahan menjadi lumut pembungkus kesemestian, menghilangakan kesejatian dan menampilkan kehidupan seolah olah. Palsu belaka segalanya yang semestinya nyata.

Hujan meniupkan angin menghempas di kaca jendela, perlahan meleleh menafikan segala pemikiran, bahwa segala sesuatu adalah kuasa waktu. Perlahan bercak air akan mengering, perlahan lumpur di tanah merahpun akan menjadi butiran pasir. Begitulah pengalaman, yang mengemudikan alam fikiran manusia; merubah pandangan dan terkadang mengaburkanya. Pengalaman dan kuasa waktu membentuk jiwa yang immaterial dalam kungkungan peradaban dunia, menjadi bagian dari adat kebiasaan orang per orang dalam warna interaksi bumi.

Dibawah langit, segalanya bergerak dan berubah searah kehendak alam. Matahari yang terbit setiap pagi terkadang menghadirkan apa yang disebut hari baru, minggu baru, tahun baru dan harapan baru. Betapa mengada adanya optimisme manusia sedangkan segalanya tidak ada yang baru, semua adalah produk masa lalu belaka. Kegirangan sering dianggap sebagai semangat sedangkan kecemasan dibenamkan jauh seolah dimunafiki agar tak kentara betapa menghawatirkanya ketidak pastian mendatang yang bernama masa depan.

Dan hujanpun berhenti atas kuasa waktu. Tiba saatnya nanti tanah akan mengering menyisakan debu, dan matahari menggantung di ubun ubun membakar kulit ari. Metamorfosis hidup sungguh tidak pernah berhenti, berputar pada poros yang itu itu saja setiap waktunya.

Ah, hujan kali ini, begitu dalam menyisakan kenangan dan begitu buram menayangkan optimisme masadepan…

Nutricia, 070102