Saturday, September 29, 2007

Pulang

“Ternyata semua orang yang kita kenal punya rumah. Ada waktunya mereka pulang dan tenggelam dalam kehangatannya”

Jika hati yang mengembara, kemana pula hendak kan pulang? Satu hari menjelang subuh. Tidur digubal mimpi panjang, tentang romantisme, tentang tebalnya rasa mencinta, tentang asmara yang begitu kental memberi makna. Semua rasa yang pernah nyata dan terlewati dulu, hadir kembali di mimpi itu. Sungguh mimpi yang panjang dan menyenangkan mengajak kembali menjelajahi perasaan. Dan ketika pagi hampir menjelang, sebuah mimpi datangnya perpisahan melahirkan tangis tanpa sadar. Tangis yang benar benar tangisan dengan air mata dan sesenggukan, menyisakan kesedihan sepanjang harinya kemudian. Kesedihan sungguhan.

Ketika matahari membangunkan tidur, air mata masih menggenang, berita tertebarkan lewat setiap butir embun yang dicumbui hangat matahari. Biasanya akan hadirkan senyum bahagia, ketika sebelah hati nun jauh dibalik bebukitan membalas sapa dengan senyum di angan angan. Tapi pagi itu sepi bisu, udara mati beku. Tidak ada jawaban maupun kicau burung pemura mura alaminya alam. Sayang mata tak tembus pandang, sayang telinga tak sanggup memanjang. Hanya rasa menjadi andalan, hanya keyakinan percaya menjadikan panutan bahwa sebelah hati hanya sebentar tenggelam dalam riuh permainan dunia. Hukum materi selalu saja bisa membuat hati berkompromi, menumpas prasangka dan mengusung doa baik baik.

Hingga kebenaran menyuguhkan kejutan, maka padamlah matahari yang menyinarkan lelangit siang. Semestinya memang waktunya senja yang datang perkasa mengatur kejadian, memadaman matahari dan menenggelamkan harapan sehari penuh. Tiap tiap orang pulang, kerena tiap tiap orang punya rumah, atau setidaknya tempat hunian. Dan barisan harap pulang ke palung penjara, tempat dimana kesemestian terpaku pada batu, diam tak punya pilihan. Bahkan burung burung yang menjelajah angkasapun pada waktunya akan pulang kembali ke sarang yang pernah diangun dengan semangat juga tetesan ludah bahkan darah, kadang air mata. Rumah menjadi tempat segala sesuatu bermuara, kebahagiaan bersarang dan mimpi mimpi diberangkatkan.

Hingar bingar keramaian diseberang lautan, dan meriah pesta penyempurna kebahagiaan disuguhkan sebagai catatan, bahwa setiap orang memang punya rumah sendiri sendiri. demikian pula hati, masing masing telah punya alamatnya sendiri sendiri. Terang lampu lampu penghias ruangan dan atap rumah para mempelai malam, mengusung sunyi dibalik bukit yang hanya berisi batu cadas dan kelaparan.

Menyakiskan segala sesuatu pulang, seperti menyangsikan akan datangnya rasa yang selama ini dipercaya. Menghablur menjadi prasasti milik masa lalu belaka, tak tersentuh oleh mimpi maupun fantasi masa kini. Satu persatu daun mahoni di tepi jalan berguguran, menyambut setiap pejalan yang pulang melintasi petang. Memang tidak ada yang pantas disebut sebagai kejutan bagi hidup yang hanya melintasi garis dari titik kelahiran menuju finish di titik kematian. Kecuali kami yang memang tidak berhunian..

Dan matahari padam…padam karena memang waktunya senja datang. Waktunya kita pulang, kembali ke lubang tempat persembunyian...sebagian pulang ke kebahagiaan hidup, melupakan mereka yang sekarat ditikam kesedihan, atau terkekeh senang dengan perhiasan bertaburan; bukti sempurnanya kepalsuan!

Ditulis dengan air mata pada Sabtu sore, 070929

Tuesday, September 18, 2007

Laten

Topan dendam tiba tiba datang, mengoyak kebisuan yang tercipta sebagai perlindungan selama ini. Lima bulan yang tenang, setelah luka tenggelam dalam kabut yang mengkamuflasekan sesal. Prasangka menyeret diri ke tubir jurang, dan satu pemicu saja menghempaskan diri terpelanting, jatuh ke lubang jurang, gelap tanpa dasar.

Tiba tiba iblis mengelilingi dengan seringai dan tatapan mata merah semerah api membara. Masa lalu telah menarik dan mengikat ingatan menjadi kejadian yang sebenarnya. Titik didih yang selama ini diabaikan telah menjelma menjadi nafas dan butiran darah, membentur dinding, membentur lantai, membentur langit langit dan membentur jiwa. Kerdil seketika, lemah lunglai tak berdaya. Ribuan tali diikatkan pada setiap otot yang bekerja dan yang mati. Lumpuh diri bagaikan hari hari gelap berbadai kembali.

Ternyata luka hati tidak pernah selamanya sembuh. Selalu saja ada pemicu untuk bisa kambuh. Ketika sakit yang dipura purai dan ditutupi dengan kulit tipis penipu pandang tertusuk oleh pedang berkarat milik masalalu yang ditakutkan, sakitnya sungguh seribu kali sakit yang pertama datang. Dibawah permukaan kulit tipis yang nampak mengering pertanda kebaikan, nanah dan darah terus bergumul memperebutkan kuasa atas segumpal hati yang compang camping disana sini.

Tangisanpun tak mengentikan sesal yang meraja, demikian juga makian tak akan bisa meredam perih yang meradang. Ingatan dikelabui sana sini hanya dengan jawaban yang sama setiap kali gundah melahirkan tanya. Isi kepala yang pecah terbawa menyusur jalanan di pagi buta, berharap menemukan pintu batu dimana didalamnya tersedia ruang tempat bagi diri untuk bersembunyi dari dunia, bersembunyi dari diri sendiri. Air mata yang meleleh enggan berhenti menadai batin yang belah oleh penghianatan. Diam menjadi pilihan, sebagai symbol pelindung bagi sesiapapun yang memiliki perkataan. Diam tidak akan melukai siapapun, dan diam hanya memutar mutar potongan kaca disekitar dada sendiri saja.

Betapa rapuhnya hati manusia, ketika kelam masalalu datang menyerbu, meruntuhkan setiap pilar penyangga sementara dari keretakan oleh datangnya prahara. Sakit hati sebenarnya tidak pernah mati, ia ada mengintip setiap celah untuk saatnya mengeksploitasi diri. Gunung Berapi, demikian seseorang pernah menamai dahulu. Indah dari kejauhan, sensasional untuk didaki dan menyimpan kawah penghancur setiap aspek alam, mematikan yang hidup dan menhancurkan yang mati. Gunung berapi yang berkawah hanya didalam angan angan, menjadi property ekslusif dari si pengangan sendiri, tidak terbagi dengan siapapun meski seseorang akan selalu mengirimkan ekspresi keprihatinan dalam konsep empati.

Kiranya waktu bisa menyembuhkan luka, perlahan dan sangat berkala. Rupanya sekali kambuh, segala jeda rasa sakit menghablur menjadi satu jelujur kesakitan yang panjang, keperihan yang sungguh kan mengabadi. Luka telah dipersembahkan kepada hati yang rapuh, maka ia akan menjadi warna bagi si rapuh, sepintar apapun sanggup tertutupi hanya dengan sikap maupun kepura puraan kuat. Pembusukan hanya dirasakan oleh mereka yang mengalami, tak terbagi. Satu satunya kehendak adalah menemukan sebuah hati untuk teduhan, sekedar menyandarkan kepala yang bergetar tanpa kendali, kehilangan segala yang dikumpulkan diam diam; kekuatan.

(Dimana engkau ketika pintumu kuketuk pagi buta tadi?
Lihatlah…untuk kesekian kali diri tebunuh oleh tajamnya masa lalu…)


Sepanjang jalan aspal Jakarta, pada weekend 070916

Monday, September 10, 2007

Belasungkawa

(Sebuah ungkapan duka, kepada semua yang menyimpan kenangan atas Susiawan Wijaya - 1 Maret 1975 – 2 September 2007 - )

Dan ketika duka datang sekuat cinta yang terhalang, lepaskan semua pikiran ke udara, ke langit tanpa bunga. Memang disanalah tempatnya pikiran bersinggasana, berpermaisuri duka dan sukacita. Hidup penuhlah kejutan, dan tidak ada yang terlalu cepat datang kecuali kita menyesali perpisahan yang tiba tiba. Selebihnya, hanyalah tentang bagaimana menjalani hidup, tentang bagaimana kedewasaan diukur dari cara menyikapi prahara yang datang seketika.

Sewaktu tubuh melumpuh, syaraf berhenti bekerja dan yang tersisa hanya kelenjar air mata, menulislah dengan air mata, tentang kepedihan dalam rangkaian kata yang indah. Akan menjadi monumen pengingat masa depan, dimana kekuatan dan pesona hidup selalu terpupuk setiap kali kita menoleh mengenangnya. Selamat mencicipi satu dari miliaran rasa hidup, kejutan yang tidak menyenangkan yang datang seolah hanya gurauan. Batas antara harapan dan kenyataan cuma setebal selaput mata, sedangkan tidak ada cara lain kecuali menerimannya.

Mata yang sembab perlambang dari hati yang tersayat luka oleh goresan duka. Kenyataan telah mematahkan semua bentuk keyakinan dan ketidak percayaan. Dan dengan cara apapun duka dipadamkan, tetap akan menggiring pengakuan kepada kejujuran terakhir bahwa kenyataan pahit adalah harta milik hidup manusia dan kesakitan yang diakibatkan olehnya hanya bisa disembuhkan oleh sang waktu. Janganlah dilawan sedih yang menghimpit, sebab akan sia sia belaka jika terus diingkari. Biarkan tangis pecah diudara, mengalirlah bersama nada protes yang kita tahu akan percuma.

Kelopak mata yang menggenang akan dikeringkan oleh waktu, dan hati yang berlubang akan tertutup pula oleh masa dan peristiwa kehidupan. Matahari yang datang setiap pagi tanpa terlambat sedetikpun akan setia menjadi teman, penumbuh segala yang mati dalam ingatan dan penguak segala yang tersembunyi di kegelapan. Dan hidup tetaplah menjadi sumber ilmu pelajaran tertinggi, sedangkan mereka yang tinggal dalam hati akan tetap hidup mengabadi.

Doa doa dihamburkan ke udara, lewat hati dan juga rasa. Tangisan kehilangan dan rintihan kesedihan hanya ekspresi mengasihani diri karena harus menerima apa yang tidak diharapkan untuk diterima. Kepala kepala tertunduk mengiringi kepergian sang pengisi hati, kepergian untuk menjelajah ke kehidupan yang jauh lebih panjang dari sekarang. Karangan bunga ungkapkan belasungkawa, menghiasi kereta yang mengantar sang pahlawan pulang ke rumah sang Pencipta. Langit yang hitam, mendung kelam dan hati yang bungkam akan berganti oleh datangnya matahari yang setia menghangatkan.

Dia yang pergi, akan tetap tinggal dan hidup di palung hati, menempati ruang istimewa laksana raja maya bagi permaisuri, menunggu sang penduka tersenyum bangga mengenang hidup atasnya…


Gempol, 070908

Wednesday, September 05, 2007

Teman

Seorang teman adalah malaikat yang tidak bersayap. Seorang teman memperlakukan kita dengan hormat, menempatkan tenggang rasa sebagai landasan sikap berinteraksi. Jika sampai terlontar kata makian dan mulai menyelipkan beling disetiap perkataan, maka makna teman semestinya dikaji ulang.

Memang semestinya hubungan tidak harus terpatri pada perbedaan gender. Tetapi memang kita hidup ditengah banyak orang dengan pola pemikiran dan latar belakang yang beda, yang mau tidak mau menuntut kita kadang kadang memaklumi orang lain dengan tingkat pengeertian dan cara bersikap mereka sendiri sendiri. Tidak semua hubungan dengan lain jenis akan sama dengan satu pola tertentu saja. Tetapi prinsip hubungan yang sehat adalah sama, menjunjung tinggi kesopanan, hormat dan tenggang rasa, merelakan diri terlibat dalam kehiudupan orang lain. Soal hubungan yang berkembang lebih dalam dan akrab itu urusan alam dan waktu saja, selama berjalan sesuai dengan hati maka semestinya terjalani dengan totalitas.

Mengenal seorang baru dan kemudian mengarahkan pembicaraan ke soal soal yang sangat pribadi sungguh sesuatu yang tidak nyaman. Komunikasi yang sopan, yang mengedepankan rasa hormat dan menunjukkan penghargaan terhadap teman baru adalah lebih bermutu ketimbang chit chat yang mengarah ke seputar kebutuhan kejenisan. Mengenal seseorang adalah anugerah, apalagi boleh terlibat secara pribadi dengan invidu orang lain. Setiap individu itu unik, dan kita bisa belajar dari pengalaman orang lain, belajar dari cara orang lain menyikapi atau menghadapi sesuatu dalam hidupnya. Dari cara pandang orang lain kita juga bisa belajar memandang kehidupan dengan cara lain. Tidak selamanya hubungan lelaki perempuan itu berakhir di tempat tidur, meskipun kemungkinan ke arah sanapun terbuka tergantung bagaimana hati memintanya.

Dan selama perkenalan itu hal yang selalu membuat pertemanan merasa bermakna adalah perhatian dan kepedulian yang datang dari hati yang tulus. Ketulusan untuk peduli dan mengetahui apa yang terjadi dengan hidup seorang teman sungguh merupakan sesuatu yang amat berharga. Sungguh akan sangat memalukan jika seorang teman baru mendapat predikat norak, kurang ajar karena sikap dan perkataanya yang vulgar. Bagaimanapun pertengkaran harus dihindari sebisa mungkin. Pertengkaran itu hanya punya satu tujuan, yaitu menyakiti dan menghancurkan, sebuah kondisi kontra produktif yang sengaja diciptakan demi kepuasan ego semata dan samasekali bertentangan dengan prinsip prinsip pertemanan.

Berteman dengan orang yang beda jenis, memang terkadang terhalang pandangan umum yang menyamaratakan bahwa ujungnya adalah bed relationship. Huh, dangkal itu, itu picik.. Pertemanan yang sehat bisa menjadi ajang curahan hati soal apa saja, dari pekerjaan sampai urusan rumah tangga. Dekat jarak hati, meskipun kedekatan itu tidak otomatis menimbulkan keinginan untuk ke hubungan badan secara fisik. Bukan itu, karena hubungan timbal balik secara batiniah itu jauh lebih bermutu dan bermakna ketimbang kedekatan fisik semata. Sebutan ‘sahabat hati’ memang benar adanya, bahwa memang sahabat hati adalah teman; malaikat tanpa sayap. Saling berusaha selalu ada dalam raihan ketika hati sedang membutuhkan telinga untuk mendengarkan meskipun hanya lewat perangkat tehnologi.

(malaikat itu ada, tetapi kadang kadang ketika mereka tidak punya sayap kita menyebutnya teman – sh)


Ciracas 070905

Tuesday, September 04, 2007

Filsafat Gagu

(Sebuah beban tambahan bagi yang sedang patah hati)

Cinta memang membutakan logika, mematikan akal sehat. Ketika itu terjadi, kepala ke dua, telinga ke dua dan pemikiran kedua dari luar lingkaran bumi pemikiran sendiri dibutuhkan untuk membangkitkan pengertian baru. Ketika kita terpuruk dan hancur, maka kita juga kehilangan kekuatan untuk berfikir objektif dan factual. Akibatnya adalah negativisme ke segala sendi kehidupan. Bahakan bagi orang yang sensitive, ketika terpuruk, mendengarkan lagu saja dianggap sebagai menyindir dan menyakitkan hati.
Pengalaman mengajarkan bahwa kekecewaan yang berlebih lahir dari pengharapan yang berlebih pula. Kita sering kali kecewa dan sedih karena harapan kita tidak terwujud dalam kenyataan. Kekecewaan itu akhirnya melemahkan pemikiran dan menghasilkan akumulasi penyesalan dan bahkan mempersalahkan diri sendiri. Semuanya sama saja, adalah bentuk batuan dari masa lalu yang tidak bisa kita rubah menjadi angin atau udara. Prinsipnya begini, bahwa apa yang sudah terjadi tidak bisa dirubah lagi. Semakin keras kita mengingkarinya, semakin berat pula beban yang akan terasa. Yang terbaik adalah kompromi. Kompromi adalah menerima kenyataan dengan dada lapang dan melanjutkan hidup tanpa harus menjadikan masa lalu sebagai beban. Nanti suatu saat waktu juga yang akan menunjukkan bahwa memang Tuhan telah menentukan yang terbaik. Jika akhirnya cerita cinta kandas dan kita sulit bisa menerimanya, maka suara protes akan terus ada didalam dada, dan semakin hari suara protes itu akan menjadi pemberontakan yang merusakkan hidup. Diri sendiri yang akan rugi, tidak ada orang lain lagi yang bisa merasakan kerugian itu.

Tidak ada yang kekal di dalam hidup. Demikian pula dengan cinta dan rasa. Tidak akan ada yang kekal. Semua sementara, dan pada saatnya nanti akan bergeser menjadi makna baru. Orang orang lajang percaya bahwa perkawinan mengikat dan mengabadikan cinta, tetapi perkawinan adalah media untuk mengikat cinta dan merubahnya menjadi bentuk tanggung jawab dan kewajiban. Makna cinta yang tadinya modal awal akan bergeser menjadi sebuah nilai investasi sosial yang juga berpengaruh terhadap perilaku si pemilik rumahtangga tersebut. Disekitar kita terlalu banyak orang orang yang mengalami ketidak bahagiaan dari hasil hubungan cinta yang berubah bentuk jadi rumah tangga. Bukan maksud menakut nakuti, hanya ingin kita sedikit realistis bahwa kita tidak hidup di Timbuktu, negeri dongeng, tetapi di kehidupan real yang keras dan penuh intrik. Dan yang pasti hidup adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita. Menyia nyiakannya dalam penyesalan dan keterpurukan hanya akan menghasilkan sesal kelak dikemudian hari nanti.

Kadang kala hati jatuh terjebak kedalam lubang dalam yang membingungkan. Itulah cinta, yang mengendalikan kita pada masa tertentu. Mengendalikan kita dengan semena mena sementara kita dibuat tidak berdaya. Hanya saja, jangan lupa syarat utama cinta yang membahagiakan adalah bahwa harus ada dua fihak yang sepakat dan sepaham dengan bentuk hubungan. Jika hanya satu orang yang mengucurkan rasa simpati atau kasih, maka namanya menjadi pemujaan. Nah, apakah kita rela memuja seseorang yang tidak peduli dengan apa yang kita rasa?

Jika terus menyesali keadaan seperti itu, sama saja kita mengumpulkan keburukan demi keburukan yang kita dapat dalam hidup, yang nantinya bisa menyeret kita menjadi orang yang tidak pintar bersyukur. Apa yang terjadi memang harus terjadi sebagai rantai peristiwa kehidupan, demikian juga apa yang terjadi sebelum sebelumnya. Kalau hanya hal hal jelek yang kita inventarisir, nantinya malah akan membuat langkah kita tertancap di batu karang, tidak bergerak maju. Dan itu sangat merugikan.

Disekeliling kita hidup melaju kencang. Kita bisa saja mengimbangi lajunya, atau tertinggal jauh dan menjadi asing dengan diri kita sendiri. Optimisme, kebahagiaan hanya datang dari diri sendiri, sebab kekecewaan maupun kesedihan adalah buah fikiran kita sendiri. Kompromikan hati, terima semua sebagai kejadian yang harus diterima. Jangan menyalahkan dan menambahi beban dengan mengharap teralalu banyak dari apapun, tetapi syukuri dan terima apapun yang kita dapatkan. Percayalah, sekali kita sanggup mengangkat dagu dan memandang lurus ke depan, meninggalkan kemuraman sebagai catatan hitam masa lalu, maka kita akan sadar bahwa hikmah dari peristiwa buruk yang kita alami justru membuat kita manjadi pribadi yang matang, kuat dan dewasa.

Melupakan setiap detail yang berhubungan dengan pengalaman emosional kita memang mustahil selama hayat masih di kandung badan. Maka tidak dianjurkan untuk melupakan semua. Tidak gampang dan tidak mungkin untuk dilakukan. Semakin keras kita berusaha melupakan, maka semakin erat dan berat kenyataan pahit yang kita rasakan. Jangan dilawan, rasai saja semua dan jadikan itu sebagai imunisasi kekebalan terhadap rasa sakit, rasa sedih dan kecewa. Akan sia sia melawan atau mengingkarinya, karena semuanya ada didalam jalinan ruh, otot, darah, otak, daging dan tulang. Semuanya ada didalam diri kita sendiri, maka ketika kita memutuskan melawan, kita akan melawan diri sendiri, seperti perang tangan kiri melawan tangan kanan. Dan jika seseorang telah begitu mengecewakan kita, membuat kita merasa kecil dan tertinggal atau kalah, hanya dengan tidak memberikan beban pengharapan maupun keinginan terhadap hidupnya, berarti kita sudah mengalahkan musuh terbesar dalam diri kita sendiri. Suatu saat kelak akan datang seseorang yang baik meskipun tidak sesempurna. Orang yang akan dengan rela melibatkan hati dan dirinya dalam kehidupan. Jangan dicari dan jangan ditunggu, jalani hidup dengan datar lewati semua dan ambil hikmah dari setiap intisari peristiwa. Nanti tanpa sadar, orang yang kita idamkan akan berada disana, didalam hati. Ia yang akan menghangatkan kebekuan, akan menerangi gelapmu. Tetap yakini itu, bahwa Tuhan bekerja dengan cara misterius dan tanpa cacat.

Setiap hari disekitar kita, masih banyak sekali orang yang lebih menderita dari kita, dan banyak diantara mereka menjalani hidup mereka dengan tenang. Kekaguman patut diberikan bagi orang orang seperti mereka, yang mengabdikan setiap momen menjadi sangat berharga. Be tough, hidup adalah anugerah terbesar yang diberikanNya cuma cuma. Jangan sia siakan, jangan disesalkan. Jalani saja lewati saja, maka semua akan muncul menjadi makna; bahwa hidup memang sangatlah berharga.

Ciracas, 070904