Monday, March 05, 2007

Senin

Senin selepas fajar, serasa jutaan sepasukan iblis ikut melepas bersama bendungan yang pecah penahan segala gundah yang tertipui pada dua hari bernama akhir pekan. Segalanya ikut membuncah menyerbu meja kerja, mengacak acak isi kepala bahkan mencabik cabik ingatan lama. Mereka semena mena membangkitkan lagi kawah angkara murka yang dengan berat dan melelahkan tertimbuni oleh detik demi detik yang berlalu, meniti jalan menuju ketuaan.

Langit hati tidaklah secerah penampilan, dan menunggu hanya menyia nyiakan waktu. Hujan badai tak menghentikan gerak sedangkan menunggu adalah satu satunya jalan melempang di hadapan. Apa yang harus ditunggu untuk berubah? Dan apa yang bisa diperbuat selama ini kecuali menunggu? Iblis iblis telah menganiaya otak hingga tak mampu lagi menghitung hitung hambatan untuk dilalui. Jiwa yang cacat berjalan timpang, melukai siapapun yang dijumpai di jalanan. Memperhitungkan setiap kemungkinan, tebing jalan buntu menjulang menjadi jawaban.

Penyesalan telah mematikan rencana langkah, tutup buku sudah untuk rencana cuci darah. Menjadi pahlawan kesiangan sungguh sia sia saja, berbangga bahwa hidup cukup bararti untuk menutup aib penghianatan. Inilah hidup normal manusia bumi yang hanya menjalani segala sesuatu yang besar dalam dunia tersembunyi, dunia kalbu. Arah sudah berubah, dan langkah tak lagi gagah saudara. Malaikat hati hanya mencatati setiap kejadian yang melelehkan rasa. Berdamai dengan diri sendiri adalah jawaban filosofis, sedangkan upaya membuatnya berdamai sungguh telah mencacatkan jiwa yang semata wayang, yang berdiri diatas kebanggaan semata. Sepanjang hidup diri telah berjuang melawan dendam, mencekokinya dengan penawar sakit hanya biar sekedar bedamai dengan perang diam diam yang meluluh lantakkan.

Mestinya ia bisa tinggal menjadi harta, benda mati dalam rumah tangga. Tapi apakah pantas sesuatu disebut harta bila tak lagi bernilai apa lagi bermakna? Ribuan nasehat menjadi hilang guna, sebab segala bentuk bimbingan hanya dianggap selingan, bahkan segala bentuk pengorbanan hanyalah bahan guyonan bagi pengertianya yang sedangkal mata kaki. Ketidak sempurnaan memang menjadi sifat umat manusia, tetapi tidak tahu diri tentu berbeda lagi definisinya. Idealisme tentang hidup bersama telah berbuah kepahitan yang tak terlihat ujungnya, menawarkan kenangan kecut di setiap incinya. Hingga usia melumpuhkan sekalipun tak akan mampu energi terkumpul untuk membangun kembali istana pasir yang telah hancur diamuk ombak. Barangkali hidup telah kehilangan manfaatnya…

Bagi seorang laki laki, ada sesuatu yang lebih buruk dari kematian dalam kehidupan…Dan benar, bagi seorang laki laki, seharusnya dirasakan sendiri lalu disembunyikannya dalam diam segala yang menggejolak meremukkan hati, menunggu sampai Senin berlalu pergi… Menunggu sampai kan mati...

Nutricia, 070305