Friday, January 16, 2009

Rindu Ibu Sepanjang Jalan

Denting gitar akustik Gypsy King menghuni telinga, angin dan deru menenggelamkan waktu bersama hujan deras sepanjang pagi. Haru biru membanjiri hati, segala kenangan mengapung apung berparade dalam fikiran. Pohon pohon menggigil berlarian ditinggalkan jarak, cicit burung mati tanpa sempat singgah ditelinga kiri. Kasihan butir air hujan, yang tak sanggup menembus kukuh kaca jendela, hanya meleleh mencium bumi dan takluk pada kuasa alam.
…Amor mio
Amor mio por favor
Tu no te vas
Yo cuentare a las horas
Que nadia hoy

Vuelve,
No volvere
no volvere
no volvere…


Aku rindu nyamannya menjadi anak kecilmu, ibu. Menggelendot diantara ketiakmu tanpa harus cemaskan apapun dan menghirup wangi petuah dari suaramu yang selalu merdu merayu.”Jangan jadikan dirimu kerdil hanya oleh sebuah kerikil”. Terbasuh semua luka sepanjang pengembaraan, hanyutkan beban masalalu yang menyesatkan akal fikiran. Terobatilah semua luka hati yang dihasilkan oleh ketidak adilan yang harus dialami.

Sunyi ini menjadi gerbang kea rah lorong waktu, bersama catatan yang timbul tenggelam dipermainkan ramalan masa depan. Di langit hanya tersisa mendung, mengurung seluruh permukaanya yang gemerlapan; kini hilang dari pemandangan. Aku rindu ibu, ah..sudah lama tidak bertemu. Dari hari raya ke hari raya lainnya, dari hari libur ke hari libur lainnya, semua lewat dan tinggal menjadi angka mati dalam kalender di meja kerja. Ibu yang sakti, dengan mantra harapan tulusnya selalu menjadi payung dan pengawal langkah kaki.

Dalam hidup terkadang ego bersinggungan dalam pergaulan, tidak jarang pula luka bahkan remuk redam. Ketika ego teraniaya, anak lelaki kecilmu harus kuat menerimanya. Tak menjerit, tak juga memaki. Ia berdiam menghayati perihnya dikesampingkan. Terkadang ia terluka oleh pendapatnya sendiri, lalu diam moksa beberapa saat untuk mendefinisikan ulang lokasi keberadaanya. Sampai didapatnya keterangan, bahwa sesungguhnya salah dan benar tergantung dari sisi mana kita memandangnya.

Jalanan basah melengang, mata merah oleh gundah pikiran, hati gamang melangkah ke tujuan, entah hari ini apa lagi akan terjadi, setelah kemarin dan kemarinnya lagi tinggal menjadi sejarah beku catatan diary...

Ah, betapa aku rindu padamu...Ibu..


Bambuapus – BMC - 090106

Friday, January 09, 2009

Diatas Langit Masih Ada Langit…. Dibawah Tanah Masih Ada Banyak Tanah…

Keagungan langit menjadi perlambang atas hirarki kemuliaan dan keunggulan. Dari padanya tersusun rantai kekuasaan yang meskipun jauh dari absolut tetap sebagai bentuk kekuasaan, menguasai dan mengendalikan. Sejatinya kekuasaan adalah buah hasil dari inti kemuliaan dan keunggulan. Didalam kekuasaan berlimpahlah udara dan benda benda lainnya yang menopang ketinggian sebuah posisi. Orang bisa terbang kedalam megah dan nyamannya dunia kekuasaan dengan menggunakan tangga bernama ambisi, keberuntungan dan tentu nasib. Kekuasaan adalah bentuk yang menggiurkan, sebab didalalm koin kekuasaan terpatri juga angka hitungan materi pemudah kehidupan. Semakin tinggi jenjang kekuasaan dalam bentuk apapun, semakin baik pula penghargaan materi yang disediakan. Dan semakin tinggi shaf langit, semakin nyaman dan ringan saja kehidupan dijalani. Bukankah hal yang demikian sudah menjadi hukum alam duniawi?

Sedangkan tanah melambangkan kenyataan, hal hal real yang terjadi dan dijalani oleh sebagian besar penduduk bumi. Kita yang kebetulan menjadi penghuninya hanya diberi secuil kekuasaan (terutama kekuasaan atas individu), tak memiliki cukup power untuk mematuhi apa yang dinamakan sebagai kemewahan privacy. Dari individu yang berjejalan itulah dunia diramaikan dengan barter kekuasaan kekuasaan satu dan lainnya, semua bernama kebutuhan. Jika langit berlapis meninggi, maka sebaliknya tanah berlapis menurun. Seperti pyramid, semakin rendah hak kuasa seseorang, maka semakin kecil pulalah hak materinya dan semakin berat pula beban hidup yang dipikulnya. Dibawah lapisan permukaan tanah justru kaya dengan intisari kehidupan itu sendiri. Dari tanah pulalah kehidupan berwal, gravitasi bertumpu, dan kekuasaan langit tercipta. Batu, cacing, septic tank, dan segala bentuk yang tinggal dibawah permukaan tanah menjalani takdirnya sendiri sendiri penuh kesadaran, serta faham betul apa yang dapat diperbuat oleh ruh apapun yang mewakili langit. Bukankah pula itu semua sudah menjadi hukum alam duniawi?

Nuansanya jadi lain ketika kekuasaan digabungkan dengan kebutuhan, langit dan tanah, hidup dinamis dan udara. Langit dan tanah, udara dan mayapada sayangnya tak bias hidup bersendirian. Kekuasaan tidak akan pernah jadi tanpa serangkaian pelaku dan pelaksana yang merumah rayap memperkokohnya. Kebutuhan materi mengikat serangkaian besar kelompok kewenangan, kewajiban dan hak. Yang membedakan antara strata tertinggi dengan strata terendahnya adalah hak untuk menikmati hidup dengan cara yang berbeda. Kontradiksi kekuatan daya beli diantara keduanya sering di gambarkan dengan perbedaan langit dan bumi! Semakin tinggi strata kekuasaan, semakin nyaman hidup dijalankan. Sebaliknya, semakin rendah strata kekuasaan, maka semakin beratlah mengakali keadaan agar tetap bertahan hidup dan layak dengan berpenghasilan. Orang harus pintar pintar membelanjakan hasil gadaian usia jika hak kuasa yang dimilikinya hanya satu garis dibawah rata rata, atau salah salah bisa menebarkan sengasara berkepanjangan nanti.

Dan mereka yang terlahir dalam kubangan kekuasaan, berharap matipun berkalang kekuasaan; hidup dalam pelayanan orang orang sekeliling tanpa harus kaki menyentuh tanah, menjuntai saja di angkasa. Menjadi raja kecil yang tidak faham bagaimana rasanya menjadi penghuni tanah, memvisualisasikan diri sebagai dewa. Kekuasaan berkepanjangan bisa menyebabkan kebutaan hati dan melempemnya kepekaan sosial, menjauhkan hakikat sebagai penguasa terhadap manusia lainnya. Yang paling fatal adalah kekuasaanpun dapat meracuni hati nurani, bahkan tidak memberikan kebijaksanaan sikap meskipun umur telah mendekati liang kubur. Hati hati, salah bersikap saja, kekuasaan dapat bermakna penzaliman terhadap harkat hidup manusia lain, yang berada di lapis bawahnya tentunya!

(Bahwa diatas sesuatu yang tinggi ada yang lebih tinggi, kemudian hukum itu juga berlaku bahwa dibawah yang rendah ada yang lebih rendah lagi…bahwa seberatnya masalah yang kita hadapi, tetap ada orang lain yang tertimpa masalah lebih berat lagi. Alangkah berharap, hati bisa menjadi ikhlas dan legowo dan berhenti terus mengeluh. Mari saling mendoakan, apapun masalah yang kita hadapi, semoga terlalui dengan baik. Amin)


Bambu Apus – BMC 090109