Wednesday, December 28, 2005

Risalah Sunyi


Bau khas sisa hujan masih menyerebak. Sisa ketakjuban atas kejadian alam yang kemudian menggenangi hati dengan rasa melolong lolong, hampa penuh keindahan sendirian, menjadi sang raja dikerajaan bernama sunyi. Menjadi raja atas bukan apa apa, atas bukan siapa siapa, sendiri!!

Sore tadi dikantor.
Mendapati hampir kepala semua orang dikantor sudah berhambur direncana mereka masing masing menyambut akhir minggu di akhir tahun, sebagian lagi natal, semua orang sebegitu sibuknya dengan keriangan masing masing, menunggu jam lima untuk segera berendam ke kehangatan keluarga masing masing. Ya, itu menyadarkan bahwa ketika mereka terbias dikehangatan keluarga masing masing, aku akan tenggelam dikedalaman lautan peradaban dikamar kost. Tidak ada siapa siapa yang tinggal dikedalaman itu. Semua orang dikantor nampaknya sudah terbius dengan atmosphere perayaan. Perayaan atas apa? Zaman yang semakin tua atau hidup yang baru tiba? Apa bedanya juga kalau keduanya sama sama tidak kita kenali? Masa depan dan masalalu, bukan?

Pikiran itu terus berpilin menggubal kemana mana, seperti percakapan antara mencari kesejatian dan sekedar memprotes keadaan. Seperti kedalaman lautan kehidupan, fikiran itu menempatkan aku menjadi selembar bulu elang yang gugur diangkasa dan terbang melayang layang, sementara sang elang dengan kepala diam dan mata buasnya gagah melanglang, sayapnya yang kehilangan satu lembar bulu tetap menjeprak lebar sesekali mengepak anggun menjelajahi ketinggian. Sang bulu tak lagi menjadi bagian dari sayap yang gagah mengaggumkan itu, ia luruh kebumi karena gaya gravitasi dan mengalami proses yang sangat membosankan sesuai kehendak angin dan udara. Sungguh dia tidak berdaya apa apa lagi. Menjadi permainan ketiadaan. Terkadang harus diikutinya jalan kekanan, kekiri, menukik, melambung dan berjumpalitan. Dia tidak berdaya, dan dia nikmati itu menjadi satu maneuver penuh estetika. Indah adanya!

Ketika jam lima betul betul akhirnya datang mengampiri bumi, kantor menjadi makin ramai orang mau pulang. Diluar gedung, gelap pekat menyelimuti rupanya. Dikepala terbayang kamar kost, libur akhir pekan dan warna abu abu yang maha luas. Dan angkasa menjadi kelam, hampir tanpa warna. Tak ada yang terlihat oleh mata, hanya angan yang mampu menerawang menembusi gelap, meraba raba apa bakal terjadinya nanti. Hidup menjadi kotak kotak kubus teka teki masadepan.

Melangkah keluar pintu lobby sesudah kantor terasa sepi, gerimis menciumi kepala dan muka dengan manja, sepatu kets hitam melangkah tenang menjejaki gerimis, menatap keatas dan terkesima oleh sebentuk pelangi, warnanya kabur melengkung ragu diatas graha simatupang yang menjulang. Pelangi itu…warnanya hambar ditikami mendung. Cerita nenek dulu, pelangi adalah kluwung jembatan bagi para bidadari dan putri kayangan turun ke bumi, mandi di telaga suci pilihan para dewa. Lalu dimanakah turunya bidadari2 itu? dimanakah telaga suci itu? Adakah bidadari berhati tuan putri yang turun kebumi dan menjadi penghuni? Ah, aku ingat cerita tentang Nawangwulan dan Joko Tarub. Legenda jawa yang akhirnya melahirkan ‘dogma’ jawa bahwa pantang bagi laki laki untuk membuka tutup dandang menanak nasi sang istri. Haihhhh…dunia demikian tuanya ternyata….!

Kaki kecilku melangkah tenang meninggalkan bayangan tentang kehidupan keluarga, dimana hangat terasa karena ada cinta yang saling mengikat jiwa jiwa penghuninya, karena berisi hati yang saling menyelimuti dan melindungi, dan menjadi tempat dimana segala urusan dunia berpulang. Dalam belaian gerimis, menuju kamar kost dunia angan angan, dunia kedalaman lautan hati. Bikini bottom tanpa Sponge Bob!! Didasar kedalaman dimana hanya berteman putri duyung yang kesepian dan nyai roro kidul yang cantik jelita. Dunia dongeng semata!

Tentang sebuah negeri bikini bottom yang maha luas dan sunyi. Berisi lembah lembah yang luas penuh harapan, berisi jurang jurang curam yang mengerikan, berisi hutan belantara penuh kemisterian, namun semuanya teduh dan indah. Hawanya sejuk dan menyamankan, menandakan memang seluruh negeri adalah istana bagi kesunyian itu sendiri.

Keindahan sunyi, sebetulnya tercipta secara alami oleh ketidak berdayaan melawan, improvisasi dari keadaan yang buruk menyedihkan menjadi cantik dan menyenangkan. Kemudian menjadi warna dunia yang terasa bagi jiwa. Aku jadi menyukai hening dan teduhnya. Ruang privacy yang luas bagaikan rimba . Demikianlah diri berusaha menempatkan dengan layaknya pasrah kepada kondisi bernama kesendirian itu.

Episode Kepasrahan


Ada rasa tiba-tiba tergantung hampa di dasar hati saat hentakan kisah terbaik datang dari sebuah jiwa yang terabaikan. Senyuman manis dan doa gembira yang di paksakan di persembahkan untuk meramaikan suasana jiwa pengharapan. Sebuah kecupan sinis mendarat lembut dan belati kenyataan menikam sopan di relung lubuk yg terdalam. Kesadaran yang terlambat datangnya (atau sengaja di tahan lajunya) bahwa ini semua metamorfosa dimana kenyataan sebenarnya disembunyikan untuk menghidupkan logika.

Ah..logika , sudah lama dia pingsan berkepanjangan(sebetulnya paling pantas kalau dibilang mati tapi sebuah jiwa yang lain meyakinkan bahwa logikaku hanya pingsan dan menunggu 'waktu' untuk sadar) sejak beberapa waktu yang lalu, ketika lembaran berharga menjadi penentu pergaulan nista. Begitu besar keinginan untuk terus bermimpi dan bermain dengan kealpaan jiwa yang terlonjak-lonjak mengharapkan perhatian. Jiwa yang pongah dan selalu menengadah ke atas mempermanis dosa yang di abadikan sebagai kejadian hidup yang patut di pecundangi . Belum ada sengatan lebah pengingat yang bisa mencubit hati yang melamun.

Ah...lagi-lagi soal hati, lagi-lagi soal jiwa, beruntun soal nurani. Kapan bisa tulisan ini dialihkan menjadi sebuah berita universal ? Berita tentang hidup orang lain,tentang hajat orang banyak, terbitan empati yang tulus kepada sesama dan bukan merumpikan tentang hati yang sudah hilang warna merahnya.

Ya..ini bukan tulisan , ini percakapan batin yang rusak, penuh dengan kuasa atas kebohongan yang tertanam rapi, harum bangkai dan terlaknatkan yang terbaca oleh manusia pemikir. Lebih dari seribu kali dicoba untuk menghalalkan pikiran kalau kebohongan hanyalah kejujuran yang tertunda tapi tetap terharamkan oleh olengan simpati dan rasa kesenasiban. Dan yang terpenting, karena saat kebohongan bermain peran, justru kejujuran dengan setia menontonnya berakting bahkan terkadang sebagai pemeran pembantu di layar hidup.

....
Dan lara masih bergemuruh nyaring di lubuk kosong merompong, tidak ada sedikit pun keinginan untuk pemenuhan hati yg stabil. hal yang paling salut adalah dia bisa menempatkan diri sebagai sebuah tiang sanggahan kepedihan,sebagai wadah penampung...dan sebagai terompet kematian rasa bersalah...

Mungkin ini saatnya untuk bercermin, memoles diri dengan kepasrahan dan tawakkal, memuluskan kulit wajah dari cacian duniawi, membungkus erat kekecewaan dengan keikhlasan batiniah. Tutup episode kuasa atas kebohongan dengan pembinasaan karakter surgawi dunia.