Sunday, August 19, 2012

Lebaran

Akhirnya euphoria lebaran datang lagi. Kali ini seperti tahun sebelumnya, dimulai dengan ketidak pastian oleh pajabat negeri. Pejabat di negeri ini memang semakin gemar membuat bingung rakyatnya. Semakin tidak bermutu. Dulu dulu, hari lebaran itu sudah bisa diketahui setahun sebelumnya, hingga dalam setahun itu semua orang bersiap siap untuk merayakannya hingga hari H.

Semangatnya sama, kegembiraan dan ritual fenomenalnya sama. Yang membedakan ada beberapa, diantaranya prestise dan rasa kewajiban untuk memberi kegembiraan. Sedangkan dulu sewaktu kecil moment lebaran adalah keadaan yang paling menggembirakan, datang dengan sendiirinya. Rupanya kebahagiaan anak anak itu disokong oleh para orang yang dewasa. Pakaian baru dan uang saku berrlimpah adalah identitas lebaran masa kecil, dan sekarang dirubah persepsinya menjadi sebaliknya; penyedia pakaian baru dan uang fitrah lebaran.

Diumumkan di tivi maupun tidak, lebaran tetap harus terjadi. Ritual pulang kampung para perantau sudah dimulai dua minggu sebelum hari lebaran sesuai dalam calendar. Ucapan ucapan selamat dan permaafan menjadi nuansa yang mendamaikan. Permintaan maaf dilahirkan dalam lafal kata kata serta diucapkan  didalam batin serta ditujukan untuk satu pribadi secara spesifik. Zaman berubah, orang sekarang lebih gemar menyebar pesan broadcast permintaan maaf secara massal dan di rapel dalam satu kali klik tombol send. Ucapan selamat dan permintaan maaf yang dilahirkan dari text di gadget menjadi kehilangan bobot makna. Hanya seremonial, tidak ada pendekatan secara up close and personal.  Jadi hambar rasanya.

Ini lafal lebaran yang diajarkan dari tahun ke tahun di masa kecil dulu:
Suasana kalal bikalal begitu sacral. Yang muda mendatangi yang tua secara berkelompok, dan yang tua membuka diri untuk yang muda. Si muda dengan sikap taklim akan menjabat tangan si tua dengan kedua tangan, dan menunduk (pantang menatap mata senior). Si muda lalu berucap “ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sedoyo kalepatan lair lan batos”suaranya harus lirih, khidmat seolah dengan segenap perasaan ucapan selamat dan permohonan maaf disampaikan.  Harus tertib, berurutan satu persatu. Si tua dengan santun dan berwibawa akan menjawab runtut :”Iyo, podo podo, semono ugo aku, wong tuwo akeh lupute mugo dilebur ing dino rioyo iki”. Ketika semua sudah selesai sungkeman, maka pecahlah suasana menjadi ceria. Si tuan rumah mempersilahkan tamu tamunya mencicipi hidangan. Dari rengginang, permen, kacang, tape, roti maupun kue kue aneka rupa.

Idealnya semangat seperti itu dipertahankan meskipun dengan cara yang jauh lebih modern. Pesan massal itu ibaratnya menempelkan secarik kertas berisi tulisan, ditujukan kepada siapapun yang membacanya. Sungguh tidak ada hormatnya. Akan sangat berarti jika pesan itu disampaikan seperti halnya pesan pribadi, ditujukan untuk pribadi si penerima. Indikasinya adalah panggilan atau nama si penerima disebutkan.

Diluar dari itu semua, lebaran selalu menghadirkan wajah wajah gembira penuh sukacita. Masing masing orang melewati dengan keadaan dan caranya sendiri sendiri. Sebagian besar berbagi bahagia bersama keluarga, kerabat dan sanak famili; pokoknya orang orang tercinta. Sebagian lagi melewatkan hari raya dengan tetap berada ditempatnya bekerja seolah lebaran tidak lewat di pos jaga. Yang lebih mengenaskan lagi adalah mereka yang mlewatkan hari raya di dalam penjara atau tergolek sakit di pembaringan. Tetapi lebaran tetap terjadi, menghadirkan kesan dan suka dukanya sendiri, untuk diperbandingkan dengan lebaran tahun mendatang. Itupun jika Tuhan masih mengizinkan kita ikut dalam peryaan lebaran tahun depan.

Selamat Idul Fitri 1433, semoga semua mahluk selalu berbahagia. Saling memaafkan tulus dari jiwa.


Bambuapus 120819