Thursday, April 26, 2007

Kompromi

Yang terpenting adalah mendukung tanpa menitip beban pengharapan apapun dari siapapun. Jika hidup telah mencair dan segalanya jadi mengalir, seperti angin laksana udara, langit perkasa pamerkan keperkasaan luasnya. Biru tanpa batas!

Hati memenangkan pertempuran diam diamnya, bertahun dalam kebisuanya. Segala cerita telah menjadi asap yang membumbung lalu lenyap ditelan angkasa. Tersisa gandengan logika dan hati dalam sebuah kompromi. Kompromi hati, memenangkan diri sendiri dalam pertempuran yang sendiri dan mengukur penderitaan yang hanya oleh sebab diri sendiri, pengharapan dan ketidak relaan diri sendiri dan hanya dirasa oleh diri sendiri. Sungguh hanya sebuah drama tragedi sebuah individual. Meletakkan jubah jadi naungan, kini bangkai iblis berserakan. Tak menyisakan rasa apa apa, api padam oleh setetes embun siang hari. Hati fikiran dan perasaan kini kebal oleh pedang dan silet masa lalu.

Tak ada kalah pun tiada menang sebab kekalahan dan kemenangan hanyalah kurungan kebahagiaan. Entah darimana datangnya, ada kompromi besar besaran dalam hati. Mungkin sakit hati yang terlalu lama bisa menyebabkan kebal? Atau mungkin angan jenuh dengan segala kemuraman yang membuat hanya berjalan di tempat saja. Suatu subuh ketika ribuan iblis menyiksa, sekuatnya diri untuk menyibak mendung tebal diatas atap bumi kecil, dan melongok kepada kecerahan diluar sana. Menghirup dalam dalam udara yang memberi kekuatan untuk berkompromi dengan hati sendiri, dan menterjemahkan damai dalam rasa yang tak tergambarkan dengan kata kata. Maka daganglah kompromi itu tiba tiba.

Bumi menjadi damai, api di padang gambut jiwa perlahan padam, menyisakan kesejukan disetiap hembusanya. Tenggelam dalam lirik lirik puitis yang ditimpah dengan permainan akustik The Eagles, menikmati lagi Gypsi King yang menghentak hentak penuh semangat, atau Ermy Kullit yang serak syahdu mendayu, juga Evie Tamala yang melambungkan pikiran rindu ke tempat yang jauh, ke tempat yang tidak pernah ada dalam gambar angan angan sekalipun. Kompromi ini melahirkan optimisme, kecerahan mata memandang jalanan tak tertebak kedepan, ke masa depan dengan keindahan pandangan di sepanjang kiri kanan jalan. Kehidupan lainya berjalan mengikuti arus, mengalir datar dan jauh dari letupan letupan amarah. Berkat doa yang bukan dari diri sendiri Tuhan mengirimkan malaikatNya untuk menumpas segala fikiran negatif yang melumpuhkanku.

Pengalaman pahit masa lalu, sakit hati yang tak kunjung hilang, atau rasa kecewa yang tak pernah bisa kompromi untuk menyingkir dari bilik hati, senantiasa menjadi beban hidup. Bahkan terbawa-bawa beban ini sepanjang hidup, kemana pun pergi, saat terpejam terlebih di saat sadar. Bayang-bayang orang-orang dari masa lalu yang pernah membuat hati tertusuk, tak pernah lenyap. Padahal segala upaya sudah dicoba untuk melupakannya, tetapi masih saja terus menggerayangi dan begitu dekat, menjadi iblis yang memporak porandakan tatanan jiwa.

Sakit hati, kecewa, perasaan bersalah, iri, kesal, benci, dan lain sebagainya muncul lantaran ego menstimulus otak untuk kemudian menyimpulkan bahwa keadaan sebagai masalah. Persepsi yang muncul setelah dipengaruhi ego jelas menyatakan bahwa keadaan yang tengah menimpa diri adalah masalah besar. Sehingga terus menerus pikiran terfokus pada dua hal; menghadapi masalah dan orang yang kita anggap telah menimbulkan masalah tersebut dan menempatkanya sebagai mahluk perusak hidup yang wajib untuk dimusuhi dan dilawan habis habisan, apapun caranya. Ah, ternyata teori ini hanya berujung kepada kebangkrutan dan kesia siaan besar.

Mengizinkan hati nurani mengambil peran lebih dalam diri, untuk merencana, mengambil sikap, membuat keputusan, dan menentukan kemana arah akhir hidup. Masalahnya, selama ini ego yang terus menerus mendominasi diri. Hati nurani lebih berperan layaknya pahlawan kesiangan yang muncul belakangan, tepat satu langkah di belakang penyesalan. Kebenaran dan kesadaran dari nurani baru muncul setelah kita menyesal telah melakukan sebuah kesalahan. Dialog dua diri, antara ego dan hati nurani, bukan bicara kalah atau menang sebab seringkali hati nurani begitu mudah terkalahkan. Karena ego tidak datang sendirian, ia seringkali ditemani oleh kawan-kawannya antara lain, nafsu, ambisi, keserakahan, dan ketidakpuasan. Karenanya, dialognya hanya berupa penyelarasan mana yang lebih baik untuk diri; kompromi hati nurani…

Ternyata tidak ada yang lebih nikmat daripada menyadari bahwa hidup amatlah indah untuk dilewatkan dalam kemuraman…

Gempol - Nutricia 070426

Thursday, April 12, 2007

Tujuan

Ingat selembar bulu elang yang gugur dari tancapan sayap perkasa sang binatang di angkasa tak berraja? Selembar bulu itu terbang mengitari mayapada, menyapai embun gunung, awan pantai dan dan udara perbukitan, sejenak tunduk pada lembab hawa belantara yang mempermainkannya dalam tetarian dan membumbungkannya melewati langit ke tujuh nun jauh diatas batas perkiraan akal mahluk hidup. Gerakanya tak berarah hanya mengikuti keinginan sang angin membawanya mengembara, dan tak satupun pijakan untuk berhenti tersedia di pucuk langit sana. Ia kehilangan alamnya, kehilangan kesejatiannya sendiri. Sebuah kehilangan yang tak bisa digambarkan kecuali dirasakanya sendiri.

Dunianya yang kosong melompong dipagari oleh pikirannya sendiri, dan ia terkurung didalam tempurung ciptaanya sendiri, menciptakan lawan atas ketidak inginan serta keinginannya sendiri. Ia petarung yang kehilangan lawan kecuali dirinya sendiri. Ah sungguh tak banyak orang yang menemukan kebaikan dalam hidupnya, sedangkan semestinya hidup adalah berisi segala kebaikan seperti yang selalu dimintakan dalam mantera mantera pengobat jiwa bagi mereka yang terluka. Ia melanglang dari kehampaan demi kehampaan, merindukan sebuah tujuan.

Betapa bisu dan diam dunia yang ditinggalinya, betapa sunyi dan luasnya alam tempatnya mengambang dan tenggelam di ketinggian. Seluruh monolog ditorehnya di dinding langit, menjadi warna warna yang lekas saja pudar ketika suhu berganti lalu hilang ditelan keheningan lain lagi. Terkadang ucapan terbaik dari kata katanya adalah kebisuan yang membalut kecamuk angan angan.

Ia rindu kebahagiaan. Rindu rasa bahagia. Rasa mencintai. Ia bahagia bisa mencintai keseluruhan pokok hidupnya dulu. Dan ketika cinta yang diagungkan perlahan mati, maka membusuk pulalah akar kehidupanya. Waktu telah menjerang semua persediaan harapanya, hingga yang tersedia hanya wadah pemanis tanpa isi, bolong bolong dan compang camping ditingkahi musim yang datang pergi silih berganti. Tapi di kehampaan ini kebahagiaanpun ikut mati rasa. Mengharap kebahagiaan sedangkan itu bukan hal layak untuk didapatkan. Ketika hidup berjalan dengan baik, itulah hadiah yang mengejutkan dari hidup, dan kebahagiaan melekat pada sifatnya yang sementara.

Hatinya mati, sebuah kematian yang perlahan dan jauh dari kerumunan. Tak ada kabar tentang kematiannya kecuali kesunyian yang menjadi saksinya. Kematian yang menggugurkan setiap harapan satu demi satu bagai daun hingga tak tersisa lagi samasekali. Telah dipoles wajahnya dengan gincu untuk menyembunyikan wajahnya yang kuyu yang kehilangan tempat di bumi tempatnya berada. Kepada udara ia pasrahkan cerita, menekuri jejak demi jejak baru tanpa ia tahu akan tiba dimana. Kesunyian hanya pembungkus alam fikirannya, sedangkan yang dikandungkannya kekacauan keadaan serta masa lalu dan masa depanya yang berhamburan.

Sungguh ia hanya ingin perjalanan terakhirnya, dari kekosongan dan kehampaan berubah menjadi punya tujuan…


Gempol, menjelang subuh 070412

Wednesday, April 11, 2007

Sebuah drama duka seorang pecinta

: W
Ia merasa menjadi seorang pemain sandiwara yang paling kejam, tanpa hati dan perasaan. Lima tahun usia perkawinan yang menghasilkan seorang bocah hiperaktif ternyata tak cukup menghasilkan sebuah resolusi yang ditunggu tunggu, bahwa cinta takan timbul seiring dengan kebersamaan. Sepuluh tahun sudah bibit pemberontakan disemaikan dalam jiwanya, bukti penolakannya atas kenyataan tak nyaman tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan; membentur udara hampa.

Orang yang kini menjadi teman hidup dalam status suami istri yang semestinya berazaskan cinta, sebenarnya hanyalah salah satu kewajibanya menjalankan adat dunia; kecil, tumbuh, berumah tangga dan memiliki keturunan. Maka kewajibanya lunas sudah. Semalam ia menangis sendirian, merasa telah meracuni pasangan hidupnya dengan kepura puraan yang sempurna. Ia telah lakukan semuanya tanpa rasa, bahkan cinta yang sering diagung agungkan baginya hanya isapan jempol belaka.

Di dalam tangis sunyinya ia berdoa, semoga sang teman hidup dipertemukan dengan seseorang yang benar benar akan mencintai, mengabdikan hidup hanya kepada pribadinya. Ia percaya bahwa cinta adalah bentuk pengabdian penuh dari hidup seseorang kepada orang lain. Dan ia tidak memiliki itu untuk pasangan hidupnya. Lima tahun telah membuatnya miskin dan tersesat dari hikmah hidup bersama maupun hakekat investasi sosial. Mengurai penyesalannya yang panjang dan melelahkan, ia menemukan dirinya terjebak dalam himpitan masa lalu dan kesuraman masa depan. “Aku ingin pergi jauh sekali, ke tempat dimana tak seorangpun mengenali…” katanya suatu ketika. Ia ingin menghindari hidupnya sendiri.

Dikeringkannya air mata dengan ujung lengan bajunya, namun tetap saja butiran baru datang bertubi tubi mengaburkan pandangannya di remang lampu ruang tengah tempat tinggalnya. Dunia menjadi begitu luas tanpa batas, dan ia hanya sendiri saja duduk ditengahnya. Apa yang didapatkanya bukan apa yang diinginkannya, sedangkan waktu terus saja melaju meninggalkan cerita cerita tentang kesia siaan yang ia tanggungkan sendirian. Tak seorangpun tahu tentang apa yang berkecamuk didalam dirinya. Sering ia khayalkan tentang teman teman sebayanya yang hidup normal dengan rumah tangga mereka, dengan kehidupan cinta mereka. Kehiudupan normal? Apa definisi kehidupan normal itu sebenarnya? Ia menjadi bingung dengan apa yang diarasakannya sendiri.

Apa yang tidak membahagiakanya, ia tidak mampu mangurainya. Ia bahkan tidak mengerti apa itu bahagia kecuali ketika masa sebelum sepuluh tahun lalu, ketika seorang figure manusia sejati masuk dan menjadi panutannya diam diam. Tanpa sadar lalu ia leburkan khayalan dan harapan kepada manusai idaman ini, sementara sang idaman sendiri mengepakkan sayapnya tinggi tinggi, jauh jauh menjelajahi alam ketidak tahuanya, meninggalkan dirinya dalam peraman rasa cinta yang makin hari makin menggungung tanpa terekspresikan sempurna. Itulah masa masa bahagianya, ketika ia bisa melihat orang yang dikasihinya berlelehan keringat berkelahi dengan mimpi masa depanya. Menjadi dekat dengannya merupakan sebuah azimat bagi optimisme masadepanya, sampai suatu saat ia harus menerima kodrat bahwa sang idamanya bukanlah kandidat peneman hidupnya.

Cintanya mati, di jiwanya hanya ada satu nama dan terus subur mengakar mengabaikan kenyataan sehari hari. Betapa keras dan berat ia berusaha untuk mengingkarinya, menolaknya dan membenturkan dahi kepada kenyataan sekeras batu karang dihadapanya, bahwa ia sendirian kini. Cengkeraman pesona tak sanggup ia lawan, dan ia kepayahan menanggungkan nestapa sepanjang jalan hidupnya. Ia berkelana dari neraka ke lorong lorong pengab, mengharap kematian datang menjemput dan pahlawannya terlambat menemukan kesadaran akan betapa besar cinta yang harus ia kandungkan sendirian.

Ketika malam melewati ujung bumi, tangisnya tak jua berhenti. Sang buah hati tergolek dengan mimpi mimpi di dipan kayu sebelah kanannya, di bibirnya tersungging senyum ceria, tanda bahwa ia tengah berada dialam surga kecilnya. Tiba tiba ia merasa menjadi egois dan sangat keji kepada bocah kecil buah pernikahanya, yang tidak mengerti apa apa urusan orang dewasa. Bocah kecil yang muncul dari akibat keputusan yang ia buat sendiri, sedangkan hidup hanyalah menjalani apapun keputusan yang ia buat. Sorot mata lugu bocah itu mengikat langkah kaki hatinya, dan celotehnya membelenggu jiwanya untuk berontak dan pergi dari alam kenyataan yang mengkerdilkan.

Ia jadi lemah, tak berdaya, tak bisa memutuskan apa apa, bahkan sesudah sepuluh tahun perjalanan cinta yang sia sia…ia bertambah bingung, hanya menunggu usia melintas di atas kepala...


Andong, 070408

Friday, April 06, 2007

Mengantar Matahari Pulang

Ruhku pulang, meniti sepanjang pematang sawah dan melewati pepohonan Gude yang hitam, wijen hijau kekuningan diantara pokok pokok jagung muda bermahkotakan kembang warna jingga. Bahkan bayi bayi belalangpun berloncatan menyingkir memberi jalan ketika kaki telanjang menapak tanah kering berbau wangi aroma rumput. Kemarau masih belia, dan tanah menjadi induk bagi segala kehidupan dipermukaanya, bersolek mempersiapkan persembahan kepada musim yang menimangnya sepanjang masa. Dan biji biji kentang yang tertinggal merana sendirian di musim lalu, memberontak dari keberadaanya dengan tunas hijau kekuningan, menyembul dari sisi sisi pematang; sebentar lagi ambrol digerus anak gembala mencari teduhan, diantara rimbun daun ubi kayu sang penguasa pematang kini.

Matahari di barat laut sayu, dilangkahi satu dua burung kontul yang terbang bermalas malasan mencari sisa sisa kubangan dimana bayi bayi wader, lele, gobi, uceng dan udang sempat menikmati hidup mereka yang pendek. Bahkan perkutut dan kutilangpun berpasang pasangan menghinggapi ranting turi bergantian. Suara burung srikatan bercerecet renyah menikam sunyi sore menjelang senja diantara pekatnya rumpun bambu ori, pagar hidup kampung. Setiap kampung di Jawa konon berasal dari satu kelompok yang dipimpin satu individu, kebanyakan ceceran dari prajurit prajurit kerajaan yang mungkin tersesat entah memberontak, mengadakan kehidupanya sendiri dengan membentuk kelompok kecil, membangun sebuah komunitas dalam sebuah kampung dan mengkonsep system perlindungan dengan menanam bambu ori (oren) keliling kampung, dan memasang gardu perondaan disetiap jalan masuknya.

Deru angin seperti mengikuti, mengelilingi dan tak henti menciumi membelai wajah. Di tanah ini angin tak pernah pergi, tidak seperti setiap lelaki isi kampung itu yang berlarian mengejar mimpi setelah akil baliq. Angin seperti mengalir langsung dari langit, tanpa muatan debu maupun karbon dioksida, hanya butiran embun di malam hari dan mengantar hangat sinar matahari di siangnya. Segar hawa persawahan mengantar bergegas mencapai puncak gumuk, menanjak pada sejuk rumput setiap kali kaki ditapakkan. Dan segala pepohonan berdaun berayun menyambut seolah mengabarkan tentang kerinduan yang telah ditanggungkan beratus ratus tahun sendirian. Angge angge di belik kecil barair kecoklatan dipuncak gumuk berenangan kesana kemari seperti kegirangan yang tak bisa berhenti. Batu cadas dinding belik membasah dengan lumut hijau tua menggelayut, ujungnya menari dipermukaan air belik.

Membasuh muka lalu duduk takjub memandangi matahari yang sebentar lagi tenggelam dibalik rimbun kampung Tegal Rejo seberang sawah, dimana rimbun pohon Cepokal menjadi gerbang jalan masuknya. Warnanya memerah saga, besar dan terang benderang bagaikan cermin berkilauan ditengah hamparan langit melembayung syahdu. Hangat tanah pematang membawa kenangan tentang masa kecil dimana masadepan bagaikan langit tak bertuan, tempat dimana penjelajahan bisa terpuaskan sampai ke ujung kekuatan. Cerita tentang negeri negeri penuh kejayaan terlukis jelas disetiap gumpalan mendung yang melintas atau pada petak petak bayangan yang tergambar dilangit tak bergaris. Diseberang sana, diujung sana, dibalik sana, dibawah langit sana, sebuah tempat telah menanti siapa saja yang datang dengan keberanian untuk pulang membawa medali kebanggaan; ke kampung halaman, tempat masa kecil diciptakan hanya sekali dalam seumur hidup. Semilir hawa gumuk selalu menenteramkan fikiran, memberikan asupan gizi bagi nurani sebagai hikmah dari kesahajaan.

Terimakasih wahai sang matahari yang telah menjadi mata bagi hari ini. Luruhlah luruh ke balik bumi dengan catatan tentang apa yang kau hidupkan dan kau matikan di mayapada. Terimakasih karena kau telah memberi hidup dari yang mati, dan memberi terang bagi yang gelap hati. Terimakasih atas hidup, yang mengajarkan bahwa sendiri bukanlah berarti kesepian. Orang orang tercinta tinggal dan hidup, menghangatkan setiap ruangan dalam lorong hati senja ini, dengan unggun cinta yang selalu terpelihara oleh alam.

Damainya gumuk senja ini, serasa mengikat kaki untuk tidak melangkah pergi; kembali ke dunia plastik, negeri impian masa kecil dulu…dan sebelah hati rebah di bahu kiri, melafalkan percakapan hati tanpa kata kata…

(…aku ingin,
rebah di sejuk tanah berdebu kampungku,
di bawah rimbun pohon bambu…)

Gempol, 070405

Thursday, April 05, 2007

Anak ayam di lubang kakus

Pandanganya yang buram mengikuti gerak awan berarak menjelajahi angkasa yang luas dan kosong. Disana dulu tempatnya bercengkerama dan memandang hidup dari sisi ketinggian akal nurani. Umpama anak ayam yang tercebur diantara kubangan kotoran, berteriak teriak hanya kepada dinding tanah bisu membeku, tempat para baksil beranak pinak bersimaharajalela. Di lubang kakus yang menjegalnya dia terjebak kini dengan sayap yang dipincangkan dan kehilangan kehalusan fikiran. Bahkan tak kadang dia kehilangan arah fikiran dan apa yang musti difikirkan.

Ia terkenang sayap kecilnya dulu, yang mengajarkan mimpi memburu matahari sampai ke negeri dongeng dimana pepohonan tumbuh berakar kabut. Dimana pernah dijumpainya tangkai demi tangkai buah pengalaman yang ia susun jadi mahkota kebanggaan. Bersama awan pula ia mengembara menembus batas batas kemustahilan atas dirinya yang kecil, menempuh lebih jauh hanya karena dia sendirian saja. Negeri negeri yang ditinggalkan kini datang berjubal dalam rindunya, menyuguhkan pengandaian pengandaian yang memabukkan kebosanan. Negeri negeri itu, akankah mereka juga mengenang jejak yang pernah ditinggalkan serta menyimpan kehadiranya sebagai sebuah catatan?

Berpasrhahpun bahkan ia tak tahu caranya kini. Hatinya menolak dan membentuk menjadi sebuah pemberontakan eskalatif diam diam yang panjang. Sebuah pertempuran bathin yang merontokkan bulu bulu kebanggaan. Sungguh iapun berharap seseorang akan datang dengan irus bergagang, dan mengentaskanya dari jurang kenestapaan yang dipilihnya untuk berkubang dulu. Ia menolak menjadi korban sesaat setelah ia relakan sayapnya dipatahkan, berasa buah pengalaman dan mahkota kebanggaan menjadi obat penenang dari segala jenis kekacauan alam fikiran.

Seandainya saja ia ikuti logika yang menyisihkan idealisme, mungkin kini ia akan sudah berada diantara gumpalan awan di negeri lain lagi, memunguti serpihan kejadian menjadi bekal hidupnya sebelum usia merapuhkan. Penyesalanya datang tanpa dilawannya, sebagai symbol kepasrahan yang dipaksakan; musuh musuh baru bagi segala jenis contoh kepahlawanan. Mungkin juga ia tidak akan pernah bertemu dengan lubang kakus celaka ini, dimana ia hanya menyaksikan kisah lembar demi lembar daun bambu kering yang luruh dari tangkai kemegahan, lalu membaur jadi zat ketidak bergunaan.

Satu kali seorang malaikat datang didalam gelap dan pengap dunianya, mengajarkan hikmah tentang menjadi pejantan. Bahwa kekuatan yang besar sama artinya dengan tanggung jawab yang besar pula. Dan telah digadaikan kekuatanya yang besar itu kepada waktu yang memakan tubuhnya tenang tenang, yang ditukarkan dengan kebingungan sebagai anak keturunan dari ketersesatan. Ia termenung sejenak oleh sebab dunia di angkasa tak berisi apa apa. Tak ada temannya bicara meskipun dalam hati sekalipun. Mengaca kepada pengetahuanya tentang dirinya sendiri, ia simpulkan bahwa dirinya memang lemah, bahkan hanya karena tatapan mata bocah.

Sebutir embun luruh dari pucuk daun bambu dihadapanya. Ia tertunduk menanyakan kabar masa lalu…

Gempol, 070405

* tulisan ini sebagai pengingat masa kecil, dimana seekor anak ayam acap kali tercebur ke lubang kakus Mbak Sujak, dibawah rimbun pohon bambu sebelah rumah. Bingung dan lemah di dasar kakus, berlumur kotoran yang jadi beban keseluruhan hidupnya sampai seseorang akan mendengar jeritannya lalu mengangkatnya dari sana dengan irus (sendok besar yang cekung, terbuat dari tempurung kelapa dsb untuk menyendok sayur dsb dari kuali, belanga, periuk atau panci) bergagang genter (galah).

Tuesday, April 03, 2007

Modal Cinta

Cinta bisa diterjemahkan sesuka hati dari miliaran aspek dan dimensi, sejalan dengan pengalaman, dengan pengharapan dan tentunya perasaan. Tidak pelak lagi, seperti jumlah yang tidak terbatas untuk menggambarkan kaidah maupun kedahsyatan positif dan jenis perhubungan antara lelaki dan perempuan ini, sampai segala halpun bisa disangkut sangkutkan sekenanya dan mengena. Awan, langit, udara, hujan matahari bahkan mimpi sekalipun akan jadi sahih pulen dengan bumbu cinta secukupnya. Kisah kisah asmara yang menggila, melumpuhkan logika dimana cinta menjadi tameng sekaligus penuntun jalan bagi berjalanya dunia tak bertuan milik dua orang yang sedang kasmaran.

Modal cinta kadangkala juga membuat manusia keblinger, kehilangan ketajaman akal sehat bahkan otak warasnya. Dengan cinta maka segalanya berubah menjadi materi optimistic, penuh kepastian dan tak punya ruang untuk yang namanya kekhawatiran dan kecemasan. Cinta menjadi wadah dari kepercayaan yang tak memiliki batas kapasitas tampungan, tak terhingga hitunganya. Bahkan seluruh aspek hidup dari kemelaratan dan kesakitan pun lenyap ditelan kedahsyatan kamuflase cinta. Dan itu sudah dimulai sejak planet bumi pertama diciptakan, sejak manusia pertama diturunkan. Cinta juga yang menyebabkan dunia menjadi sedemikian ramai seperti sekarang, bukan?

Ketika seorang lelaki dan perempuan bertemu entah bagaimana ceritanya, kemudian sepakat untuk saling mengikatkan hati dalam sebuah sumpah perkawinan dan lalu dipatri dengan selembar akta nikah, maka cinta menjadi modalnya. "gegarane wong akrami, dudu bondo dudu rupo,amung ati pawitane" Yang menyebabkan orang untuk menikah, bukan harta benda dan wajah, hanya cinta modalnya. Sebait tembang mocopat jawa yang ada sejak zaman kuno makuno itu terbukti masih berlaku efektif hingga zaman sekarang. Nyata. Modal cinta yang diagung agungkan bahkan dalam kata kata bisa digambarkan dengan sangat sentimental, melebihi kemampuan alam berpikir logis untuk mencernanya “ when we hungry, love will keep us alive” (Eagles – Love Will Keep Us Alive). Bagaimana mungkin cinta bisa mengalahkan rasa lapar, sedangkan domain-nya adalah beda? Yang satu urusan perut dan pencernaan, energi dan bahan bakar yang membuat mempertahankan berfungsinya organ tubuh dan tetap berkembang, sedangkan yang satu urusan emosi yang notabene tanpa kelir apa apa, hanya rasa. Ya, hanya rasa.

Penghargaan dan kepedulian sepenuh hati, rela ‘mengorbankan’ hidup untuk orang yang dicintai (padahal istilah korban mengorban semestinya tidak dipakai dalam urusan cinta sebab azas cinta yang sesungguhnya adalah tenggang rasa dan kesukarelaan). Rasa menyayangi penuh adalah semata keinginan sederhana untuk membuat orang yang dicintai berbahagia, senang dan terlindungi lahir dan bathinya, serta memperoleh penghargaan yang wajar atas upaya itu. Penghargaanyapun sederhana, hanya cukup berupa perlakuan istimewa. Nah, ketika cinta masih menjadi raja, maka dua orang akan menjadi sangat istimewa dimata masing masing, diperlakukan dengan istimewa dan memperoleh hak hak istimewa secara penuh sebagai bentuk penghargaan atas hubungan yang ada. Kamabukan yang sempurna seperti ini sering meninabobokan orang, dan melupakan satu hokum alam yang sampai sekarang tak terbantahkan; bahwa tidak ada apapun yang abadi dan tetap diatas bumi, selama bersangkutan dengan keadaan mahluk hidup, dan cinta hanya milik para mahluk hidup.

Segala hal yang menenggelamkan orang ke negeri dongeng tak bertuan itu bisa dimungkinkan berlangsung selama cinta belum bergeser makna ataupun mengalami degradasi nilai. Dan ketika pergeseran makna (inipun bisa terjadi karena miliaran sebab, sengaja maupun tidak sengaja) maka masing masing individu akan berjuang keras menemukan kesejatian dirinya yang ditenggelamkan dalam lumpur cinta dulu. Sama sama menghidupkan kembali ego yang disembunyikan dahulu untuk diasah menjadi senjata pemberi rasa sakit bagi pasangan. Dan ketika harubiru cinta semakin memudar, maka yang tersisa adalah tali hati yang perih mengikat dengan rantai kewajiban semata, kehilangan samasekali makna dasar dari cinta. Sakit hati yang berlebih dan meradang bertahun tahun bisa menjadi kawah lava yang sangat berbahaya yang bisa melumat dan meluluh lantakkan apapun yang tersangkut dalam perhubungan itu. Sakit hati menahunpun bisa mematikan kepekaan terhadap rasa, menjadikan si manusia cacat mental untuk waktu yang mungkin bisa sangat lama. Hidup bisa menjadi sangat muram dan pesimistik untuk waktu yang lama, ketika cinta berbalik makna menjadi benalu sesal dalam jiwa yang menggerogoti perlahan lahan dari dalam kesejatian diri dalam memberlakukan cinta.

Demikianlah cinta, penjelmaan dari ruh maha rasa, wujud imateri paling dahsyat yang bisa demikian membahagiakan sekaligus membunuh secara perlahan. Ia bisa berubah dari kabut indah penghias kelopak mata menjadi racun gas tak kentara yang mematikan setiap sel dalam darah satu perasatu dengan sangat lamban. Silahkan mengakui juga, bahwa cintapun bisa mentransformasikan bentuknya menjadi perang besar dan panjang yang hanya menjadi pabrikasi atas…korban!

Gempol, 070403